Jumat, 28 Agustus 2015

APBN Jokowi dan Dilema Pertumbuhan

APBN Jokowi dan Dilema Pertumbuhan

Sofyan Hendra  ;   Wartawan Jawa Pos
                                                      JAWA POS, 14 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KINI kita tahu senjata yang akan digunakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam melawan perlambatan ekonomi. Lewat Nota Keuangan RAPBN 2016, dengan sangat berani, Jokowi melebarkan defisit anggaran menjadi 2,1 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau sekitar Rp 273,2 triliun. Jumlah itu jauh lebih jumbo daripada APBN Perubahan 2015 yang Rp 212 triliun atau sekitar 1,9 persen dari kue ekonomi nasional.

Para ekonom biasanya menyebut APBN seperti itu sebagai anggaran yang ekspansif. Namun, sebenarnya itu adalah bahasa lugas dari: Ayo belanja sebanyak-banyaknya dan jika duitnya masih kurang mari berutang sebesar-besarnya. Yang penting masih mampu bayar cicilan.

Doktrin lawas Keynesianisme yang percaya bahwa pemerintah bisa melawan kelesuan ekonomi dengan belanja sebanyak-banyaknya memang masih relevan diamalkan. Namun, jika dihadapkan pada situasi sekarang di mana terjadi turbulensi di pasar keuangan, tempat banyak pihak (termasuk negara) mencari utangan, persoalannya menjadi amat ruwet.

Dengan defisit Rp 273,2 triliun, pemerintah mesti memperoleh utang baru sejumlah itu. Tetapi, itu belum cukup. Harus ada utang anyar lagi guna membayar obligasi yang jatuh tempo serta untuk melakukan buyback (beli balik) surat utang. Kebutuhan untuk itu sengaja ditutup rapat agar tidak di- corner investor serakah yang ingin imbal hasil tinggi. Biasanya, jumlahnya puluhan triliun.

Dengan demikian, dipastikan tahun depan pemerintah butuh tambahan utang lebih dari Rp 300 triliun. Jumlah yang cukup besar. Tidak hanya dilihat dari postur APBN, melainkan juga ketika kita masih ingat bahwa presiden yang sekarang adalah kader PDI Perjuangan, partai yang bertahuntahun menolak banyaknya utang.

Ketika pasar keuangan belum menentu, langkah tersebut bisa menimbulkan rantai persoalan baru. Saat pemerintah terlalu banyak mencari utang di pasar modal, yield atau imbal hasil yang diminta investor akan cenderung tinggi. Beban fiskal pun meningkat karena ongkos bayar utang yang bertambah.

Anehnya, dalam RAPBN 2016, pemerintah mengasumsikan suku bunga SBN (surat berharga negara) tenor 3 bulan cukup rendah di level 5,5 persen atau lebih kecil dari APBNP 2015 yang 6,2 persen. Kemarin imbal hasil suku bunga pemerintah dengan tenor yang sama juga masih menembus 6,3 persen. Nah, jika pengukur beban utang lebih rendah jika dibandingkan angka aktual, sangat mungkin uang yang dikeluarkan untuk membayar bunga menjadi lebih besar. 
Anggaran Rp 183 triliun yang disiapkan untuk membayar rente utang bisa membengkak. Tentu, hal itu bisa mengurangi kredibilitas fiskal pemerintah.

Yang paling dikhawatirkan adalah jika muncul efek crowding-out di pasar. Itu adalah dampak ketika perusahaan swasta ikut kelimpungan karena bunga di market menanjak sebagai ulah pemerintah yang gila-gilaan mencari pinjaman. Dalam situasi itu, korporasi yang mencari dana di pasar akan ikut menanggung beban bunga tinggi.

Alhasil, investasi swasta yang sudah seret bisa makin mampet. Padahal, tujuan utama anggaran yang ekspansif adalah agar investasi swasta ikut terderek dengan besarnya dana pembangunan yang digelontorkan pemerintah.
Memang, pembiayaan tidak melulu dari pasar. Ada utang luar negeri yang juga menjadi andalan pemerintah. Namun, jumlahnya tetap kalah jauh jika dibandingkan dengan yang akan didulang dari market. Lagi pula, sesungguhnya tidak ada bedanya. Negara yang kita utangi, Jepang misalnya, juga mencari dana di pasar.

Pertumbuhan vs Stabilitas

Jokowi saat ini dihadapkan pada dilema antara mengejar pertumbuhan setinggi-tingginya atau memperkukuh stabilitas ekonomi. Jika dipidatokan, dua hal itu bisa dengan enteng dijanjikan akan diseimbangkan.

Namun, hal itu tidak mudah diwujudkan. RAPBN 2016, anggaran pertama yang didesain sejak awal oleh pemerintahan saat ini, telah membuktikan bahwa Jokowi telah memilih jalan mengutamakan pertumbuhan dengan risiko mengorbankan stabilitas.

Dengan pertaruhan yang cukup besar itu, efektivitas anggaran harus menjadi jaminan. Jangan sampai risiko datang duluan, namun keuntungan yang di angan masih mengawang. Misalnya, anggaran Rp 313 triliun untuk infrastruktur. Tidak boleh menjadi angka di atas kertas.

Memang butuh kerja keras un tuk membelanjakan modal sebanyak itu. Butuh penuntasan masalah-masalah klasik seperti persoalan tender, pembebasan tanah, tumpang-tindih perizinan, dan setumpuk problem struktural lainnya.

Agar senjatanya ampuh dan risikonya minimal, Jokowi bisa berharap banyak pada sosok Darmin Nasution. Menko Perekonomian yang baru itu terkenal bukan sosok yang melulu terpaku pada teori. Saat menjadi gubernur BI, misalnya, dengan berani dia membuat terobosan seperti melenyapkan sertifikat Bank Indonesia (SBI) jangka pendek demi meningkatkan kualitas arus modal masuk.

Dalam menstabilkan rupiah, Darmin dengan bernas melakukan operasi pasar dengan menggunakan instrumen SBN. Tidak hanya secara konvensional menggerojok dolar di pasar.

Terobosan-terobosan cerdik yang lain diharapkan muncul sehingga bisa membuat APBN Jokowi lebih berdaya dalam menggerakkan perekonomian. Dengan demikian, bisa ada peluang untuk mengejar ambisi pertumbuhan ekonomi 5,5 persen dengan risiko yang paling minimal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar