Sabtu, 29 Agustus 2015

Bahasa Indonesia untuk Pekerja Asing, Kenapa Tidak?

Bahasa Indonesia untuk Pekerja Asing, Kenapa Tidak?

Prima Vidya Asteria  ;  Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Surabaya
                                                      JAWA POS, 24 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SAYA begitu terharu membaca ulasan seminar internasional bertajuk Enrichment of Career by Knowledge of Language and Literature ke-3 yang dilaksanakan di Unitomo di Jawa Pos edisi 21 Agustus 2015 lalu. Dalam berita itu ditulis bagaimana Prof Urano Takao dari Setsunan University mendorong anak-anak muda Indonesia untuk mencintai bahasa Indonesia.

’’Bagaimana bangsa lain bisa mencintai bahasa Indonesia jika pemuda-pemudinya tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar? Malah berlomba-lomba belajar bahasa asing,’’ kata Takao.

Saya terharu karena justru orang asing yang menekankan betapa penting belajar dan mencintai bahasa ibu, bahasa negara, dibandingkan bahasa asing. Orang asing yang justru memberi nasihat untuk mencintai tanah air yang dapat dilakukan juga dengan mencintai bahasa Indonesia.

Apalagi, sehari kemudian (22/8), juga di Jawa Pos, ada berita berjudul Naker Asing Tak Wajib Berbahasa Indonesia. Luruh rasanya. Padahal, Kemenaker (Kementerian Tenaga Kerja) serius mematangkan aturan soal bahasa Indonesia sejak 2015.

Penyusunan materi uji kemampuan bahasa Indonesia juga telah disiapkan dengan menunjuk Binapenta dan menggandeng Lembaga Pengembangan Bahasa UI. Namun, presiden membatalkan per syaratan berbahasa Indonesia untuk pekerja asing di Indonesia. Untung, Kemenaker masih melakukan upaya dengan menyiapkan SK agar TKA menjalani pelatihan bahasa Indonesia saat tiba di sini (Indonesia).

Pernyataan Ketua Serikat Pekerja Nasional Iwan Kusmawan saya kira patut menjadi cerminan. Menurut Iwan, kalau tenaga kerja Indonesia yang ingin berangkat ke Taiwan diwajibkan belajar bahasa setempat, kenapa tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia malah di bebaskan? Bagi dia, alasan untuk mempermudah investor tak masuk akal.

Globalisasi memang membuat batas negara nyaris hilang. Perkembangan teknologi semakin pesat untuk mendukung gerak polah manusia lintas perbatasan negara. Berbagai perjanjian perdagangan bebas, ekonomi, pendidikan, budaya, semua dapat melintas dari satu negara ke negara lain dengan gampang.

Dan, Indonesia memang pasar yang menarik di era globalisasi tersebut. Banyak korporasi asing yang melirik negara ini. Artinya, akan banyak sekali orang asing yang terus berdatangan ke Indonesia. Tidak ada masalah dengan itu.

Namun, jika mereka akan datang, berinvestasi dan mencari ’’untung’’ dari bangsa ini, setidaknya mereka juga perlu melakukan pengorbanan dan perjuangan untuk itu. Salah satunya, belajar bahasa Indonesia. Apakah orang Indonesia yang harus ’’rela’’ menggunakan bahasa asing yang disebut bahasa internasional? Mungkin boleh, tapi tidak selalu.

Globalisasi, perdagangan bebas, atau apa saja penyebutannya tak selayaknya menggoyahkan rasa cinta tanah air kita. Kita tak perlu silau dengan semua yang ’’berbau’’ asing. Ketika hal itu membawa kebaikan, tak apa dilakukan.
Pertukaran mahasiswa, studi banding, kerja sama bisnis, investasi, atau kegiatan positif lainnya harus tetap dilakukan. Namun, jangan sampai kegiatan positif itu justru membawa ’’dampak negatif’’ bagi bangsa sendiri.

Bahasa juga merupakan alat untuk mempertahankan dan melindungi bangsa. Lihat saja kebijakan yang mengharuskan kita menguasai level tertentu dari bahasa asing jika kita hendak melanjutkan pendidikan ke luar negeri.
Untuk apa itu dilakukan? Untuk mempermudah kita berkomunikasi dengan dosen, mahasiswa, dan lingkungan sekitar ketika berada di sana. Untuk mempermudah kita menimba ilmu dan menyelesaikan pendidikan di sana.

Apakah sebatas itu? Rasanya tidak. Hal itu juga digunakan untuk mengukuhkan bahasa tempat universitas itu berada. Sehingga, siapa pun yang hendak belajar di negara mereka, menimba ilmu di negara mereka, orang tersebut harus menghargai bahasa mereka.

Sampai kapan pun, rasanya tak pantas bagi kita untuk meremehkan sederet sejarah perjuangan kebahasaan di Nusantara hingga bahasa Indonesia dikukuhkan menjadi ba hasa persatuan pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan menjadi bahasa nasional sesuai UUD 45 pasal 36. Seyogyanya, kita justru menjadikan globalisasi sebagai sarana yang strategis untuk mengin-ternasionalkan bahasa Indonesia.

Jika kita sadar bahwa bangsa Indonesia adalah pasar menggiurkan bagi bangsa lain untuk datang dan berinvestasi, globalisasi semestinya juga menjadi peluang emas untuk mengembangkan bahasa Indonesia. Bahasa yang mempersatukan kita, bangsa yang terdiri dari 17 ribu pulau dengan ratusan bahasa daerah itu, harus dengan bangga kita perkenalkan ke pada sebanyak- ba nyaknya orang asing dari berbagai negara. Bukankah begitu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar