Senin, 24 Agustus 2015

Bunuh Diri Altruistik

Bunuh Diri Altruistik

Trias Kuncahyono  ;   Wakil Pemimpin Redaksi Kompas
                                                       KOMPAS, 23 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Suatu siang, 20 Juli 2015. Seorang perempuan tiba-tiba masuk ke tengah kerumunan anak muda yang sedang makan siang di pusat kebudayaan di Suruc, kota di Turki yang berbatasan dengan Suriah. Anak- anak muda itu tergabung dalam Federasi Asosiasi Anak Muda Sosialis. Mereka baru saja mengadakan jumpa pers untuk menjelaskan rencana mengunjungi Kobani yang belum lama dibebaskan dari pendudukan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah atau NIIS.

Tak ada yang menduga, perempuan itu pembawa bencana. Semua baru sadar ketika tiba-tiba bom meledak. Dan, 31 anak muda tewas. Rencana mereka pergi ke Kobani, enklave kaum Kurdi di Suriah, untuk menyerahkan bantuan mainan anak-anak, buku-buku, alat pertanian, juga bahan-bahan untuk membangun perpustakaan dan tempat bermain, tak kesampaian. Belakangan diketahui, perempuan itu anggota NIIS.

Ini bukan kali pertama NIIS menggunakan pengebom bunuh diri untuk mewujudkan impiannya. Setelah itu, serangan bom bunuh diri terus terjadi di Irak, Suriah, Turki, bahkan sampai Arab Saudi. Di Indonesia juga pernah terjadi serangan bom bunuh diri. Pada 2002, Asmar Latin meledakkan diri di Hotel JW Marriott. Lalu, Heri Kurniawan alias Heri Gulon meledakkan dirinya di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta (2004). Juga tragedi bom bunuh diri di Bali pada 2002 dan 2005.

Serangan bunuh diri (sekarang menggunakan bom) memiliki sejarah panjang. Debra D Zedalis (Female Suicide Bombers, Juni 2004) mencatat bahwa model serangan seperti itu sudah dimulai sejak awal abad ke-11. Robert A Pape dalam Dying To Win, The Strategic Logic of Suicide Terrorism (2005) malah mencatat, terorisme bunuh diri sudah dilakukan kaum Zealot Yahudi pada abad pertama. Cara serupa dipakai saat pecah Revolusi Belgia (1830). Ketika itu, Letnan Jan Van Speijk (Belanda) meledakkan kapalnya sendiri di Pelabuhan Antwerp agar tidak dirampas Belgia.

Pape mencatat terorisme bunuh diri meningkat sejak serangan terhadap Kedubes Amerika Serikat di Beirut, Lebanon, April 1983, yang menewaskan 63 orang. Sejak itu, serangan serupa menyebar ke mana-mana: Israel, Sri Lanka, India, Pakistan, Afganistan, Yaman, Turki, Rusia, AS, Irak, Suriah, Arab Saudi, Turki, Mesir, bahkan Indonesia.

Banyak sebutan untuk aksi seperti itu. Diego Gambetta (Making Sense of Suicide Missions, 2005) menyebutnya sebagai "misi bunuh diri". Sejumlah ilmuwan sosial, termasuk Pape dan Mia Bloom, menyebutnya "terorisme bunuh diri." Sejarawan Shaul Shay menamai aksi itu "serangan bunuh diri". Apa pun istilahnya, tujuannya sama: membunuh orang lain, mendapat perhatian, dan memperkenalkan tujuan politik atau agama organisasinya.

Serangan atau bom bunuh diri adalah serangan yang unik. Kematian pelaku adalah syarat bagi keberhasilan misi tersebut. Karena itu, disebut sebagai "metode operasional dalam mana tindakan penyerangan itu bergantung pada kematian pelaku" (Bohaz Ganor, 2000).

Pertanyaan yang selalu muncul kemudian adalah: apa yang membuat orang rela mengorbankan nyawa agar dapat membunuh orang lain? Mengapa hal itu dilakukan? Apakah itu demi imbalan materi atau uang? Apakah dilakukan berdasarkan sebuah keyakinan atau atas nama perjuangan? Tak mudah menjawab rangkaian pertanyaan itu.

Emile Durkeim (1858-1917), sosiolog dan filsuf Perancis, menjelaskan motif serangan bunuh diri itu dalam dua tipologi: terorisme altruistik dan terorisme fatalistik (dilakukan karena tekanan berat, secara politik ataupun ekonomi, sehingga mereka memilih menjadi pelaku serangan bunuh diri untuk mendapatkan uang, misalnya. Dengan mengorbankan diri, seseorang mengakhiri tekanan ekonomi pada diri atau keluarganya dengan menggenggam janji menjadi seorang martir, suhada).

Disebut sebagai terorisme altruistik jika pelaku benar-benar menyerahkan hidupnya dengan integritas tinggi kepada kelompoknya, organisasinya. Pelaku benar-benar menyadari, dirinya adalah anggota kelompok atau organisasi. Ia sadar harus berkorban untuk kelompok atau organisasinya. Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran. Ada yang berpendapat, altruisme sekaligus kewajiban, sementara yang lain tidak. Altruisme murni memberi tanpa memperhatikan ganjaran atau keuntungan.

Termasuk dalam tipologi apa para pengebom bunuh diri NIIS? Kita tak tahu pasti, sama tidak tahu pasti mengapa mereka bergabung dengan NIIS. Apakah itu tindakan bermoral? Barangkali, bagi mereka, inilah kematian yang indah dan baik. Namun, kematian yang baik dan indah sekalipun adalah misteri yang tak mungkin kita pahami secara rasional murni. Persoalannya adalah bagaimana cara kematian itu ditempuh. Apakah kematian itu hanya bagi dirinya sendiri atau mengajak serta orang lain?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar