Rabu, 26 Agustus 2015

El Nino, Musibah dan Berkah bagi Ekonomi Nasional

El Nino, Musibah dan Berkah bagi Ekonomi Nasional

M Rudi Wahyono  ;   Peneliti CIDES Indonesia
                                                      JAWA POS, 10 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BELUM genap setahun umur pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, berbagai problem dan pilihan sulit dalam berbagai bidang sudah menghadang. Urusan politik belum selesai, kini pemerintah menghadapi berbagai tantangan ekonomi sangat berat.

Pertama, ancaman defisit APBN karena terkurasnya dana subsidi BBM untuk program-program prorakyat dan reformasi birokrasi seperti yang dijanjikan sewaktu kampanye pemilihan presiden dahulu. Pencabutan subsidi BBM dengan menyesuaikan ”harga dunia” adalah pil pahit yang harus ditelan rakyat.
Kedua, penguatan kurs dolar Amerika Serikat (AS) karena membaiknya ekonomi AS yang menekan nilai rupiah sehingga terjungkal melewati batas psikologis 13.500 per USD.

Tantangan ketiga adalah kondisi internal –yaitu ekonomi nasional, khususnya sektor riil– yang tak banyak terbantu oleh berbagai kebijakan pemerintah. Sedangkan yang keempat, faktor internal, yaitu lemahnya posisi pemerintah dalam mengatasi turbulensi politik dan demokrasi dalam negeri membuat nilai rupiah turun semakin tergerus.

Kelima, faktor internal lain adalah kegamangan pemerintah dalam mengatasi polemik demokrasi dan politik dalam negeri sehingga membuat investor asing ”malas merealisasikan komitmen” serta cenderung mencari aman.

Ancaman lain pada ekonomi nasional datang dari alam: El Nino. El Nino adalah anomali iklim bersumber dari Pasifik Selatan yang dikenal sebagai ENSO-El Nino Southern Oscillation. Fenomena alam itu terjadi di antara pesisir barat Amerika Latin dan Asia Tenggara, namun efeknya dirasakan seluruh dunia.
El Nino mengakibatkan curah hujan tinggi di Amerika Latin, sebaliknya belahan bumi lain terancam kekeringan. Air laut hangat mengalir ke arah barat dari Amerika Latin. Sementara itu, arus air dingin mengarah dari kedalaman laut menuju pesisir Amerika Latin.

Suhu permukaan laut pesisir Australia dan Indonesia jatuh beberapa derajat, sedangkan suhu air di Amerika Latin naik. Daratan kawasan Pasifik Barat –di Indonesia dan bagian utara Australia– justru sebaliknya: kekeringan, gagal panen, dan kebakaran hutan.

Periode El Nino biasanya bertahan selama setahun dan akan berdampak cukup luas, terutama pada sektor ekonomi yang berbasis sumber daya alam. Misalnya, pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Komoditas perkebunan utama seperti kelapa sawit, karet, kopi, dan kakao yang menjadi salah satu primadona ekspor nasional dipastikan akan terganggu.

Komoditas pangan utama seperti padi, jagung, kedelai, dan kacangkacangan juga akan mengalami penurunan produktivitas. Penyebabnya, ketergantungan berbagai komoditas itu pada air sangat besar.

Tapi, di sisi lain, El Nino juga sejatinya menghadirkan dampak positif bagi Indonesia, yaitu dari sisi ekonomi maritim berupa meningkatnya kunjungan ikan-ikan ” migratory” seperti tuna dan cakalang menuju perairan Indonesia yang sedang subur.

Pusat Perkiraan Iklim Amerika (Climate Prediction Center) mencatat bahwa sejak 1950, telah terjadi 22 kali fenomena El Nino. Enam kejadian di antaranya berlangsung dengan intensitas kuat, yakni pada 1957– 1958, 1965–1966, 1972–1973, 1982– 1983, 1987–1988, dan 1997–1998.

El Nino tahun ini diperkirakan akan terjadi hingga awal tahun depan, namun intensitasnya masih menjadi perdebatan. Pada kasus dengan intensitas lemah-sedang, untuk Juli–Agustus, El Nino akan berdampak pada pengurangan curah hujan dengan kisaran 40–80 persen (dibandingkan normalnya). Wilayah yang merasakannya terutama di sebagian Sumatera, Jatim-Bali-NTBNTT, sebagian Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan sebagian Papua.

Pada September–Oktober, dampak El Nino akan semakin parah dengan ditandai meluasnya area yang mengalami pengurangan curah hujan, meliputi seluruh Sumatera kecuali Aceh, seluruh Jawa, Bali-NTB-NTT, sebagian besar Kalimantan, seluruh Sulawesi, Maluku, dan sebagian besar Papua.

ESCAP, IMF, dan Bank Dunia (2014) mengungkapkan bahwa dampak ekonomi El Nino pada sektor pertanian di Indonesia adalah penurunan produksi yang mencapai 3,5 persen. Sedangkan dampak umum pada GDP (produk domestik bruto) nasional menurun 1,75 persen atau sebesar USD 7,7 miliar alias mencapai sekitar Rp 100 triliun.

Sebagai sebuah negara agraris sekaligus maritim, Indonesia seharusnya bisa mengatasi dampak problem ekonomi akibat El Nino, khususnya pada ketahanan pangan. Apalagi, di sisi lain, seperti disebut di atas, El Nino merupakan ”berkah” bagi sektor maritim Indonesia.

Namun, bagaimana bisa memperoleh berkah tersebut apabila nelayan kita sangat tradisional dengan perahu dan alat tangkap sederhana. Justru yang terjadi bisa sebaliknya: nelayan-nelayan asing dengan peralatan canggih akan panen.

Sebenarnya Indonesia bisa berkaca dari sejarah Mesir sekitar 4.000 tahun lalu, ketika Joseph (atau Yusuf AS) mengambil berkah El Nino serta berhasil menyelamatkan ekonomi nasional. Dengan bantuan kondisi El Nino, Joseph behasil mewujudkan ”swasembada pangan” dan kemakmuran melalui program-program efisiensi dan investasi.

Sebagian besar produk nasional diinvestasikan pada sektor produktif sehingga menghasilkan banyak keuntungan sebagai cadangan pada masa paceklik. Namun, program penghematan dan ”investasi cerdik” ala Joseph itu tidak akan berhasil apabila tidak diamanahkan kepada manusia amanah. Indonesia akan lolos dan mencapai kemakmuran apabila menemukan manusia terpilih seperti Joseph.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar