Senin, 31 Agustus 2015

Guru BK di Sekolah

Guru BK di Sekolah

Junaidi Abdul Munif  ;  Direktur el-Wahid Center, Semarang
                                            MEDIA  INDONESIA, 31 Agustus 2015       

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PERMASALAHAN pelajar dalam dunia pendidikan di Indonesia semakin kompleks.Sebagai manusia yang berakal budi, mereka tidak bisa luput dari persoalan sebagaimana manusia lainnya. Sebagai anak yang sedang dalam masa belajar, masalah pribadi akan berpengaruh pada proses belajar mereka di sekolah.Persoalan siswa di sekolah memiliki hubungan timbal balik dengan kehidupan di luar sekolah, baik dari lingkungan keluarga maupun pergaulan.

Siswa di sekolah tidak hanya menerima pelajaran untuk meningkatkan kompetensi dan pengetahuannya. Psikologi siswa berpengaruh pada tingkat penerimaan dan pemahaman pelajaran. Mengapa ada murid yang mendapat nilai jelek untuk beberapa pelajaran, sementara nilai murid yang lain nilainya bagus? Sering kita mendengar stigma anak bodoh hanya karena tidak mendapatkan nilai bagus dalam mata pelajaran tertentu. Masalah psikologis itulah yang belum mendapatkan `ruang pendidikan' maksimal dari sekolah.

Hakikatnya, semua guru memiliki peran membimbing dan pada situasi tertentu sebagai konselor. Guru bertugas menyiapkan anak didiknya dengan seperangkat kompetensi dan mental untuk menyongsong kehidupan mendatang.Seiring perkembangan zaman, demi kebutuhan proses pengajaran dengan pelajaran yang berbeda, peran konseling dibebankan pada guru tertentu.

Sejak Kurikulum 1975, kebutuhan memberikan ruang pendidikan psikologis untuk siswa sudah diakomodasi dengan kehadiran guru BK (bimbingan dan konseling).Pada KTSP, program BK di sekolah fokus pada layanan pengembangan diri yang bertujuan menumbuhkembangkan kompetensi siswa sesuai dengan potensinya (Mulyasa, 2005).

Dengan ekspektasi tinggi yang disematkan pada siswa terhadap nilai, siswa yang tidak bisa memenuhinya akan mengalami stres, takut, dan gelisah ketika belajar di kelas.Ekspresi kenakalan akhirnya menjadi luapan ketika dia merasa tidak nyaman dengan lingkungannya, baik itu lingkungan di sekolah maupun di luar sekolah. Kejenuhan di sekolah dilampiaskan dengan membolos. Berbagai kasus kenakalan pelajar merupakan dampak selanjutnya.

Terlebih, saat ini pelajar dengan mudah bisa mendapatkan banyak informasi dari luar sekolah. Hal itu memberikan pengaruh pada kejiwaan anak. Anak sangat mungkin menghadapi benturan nilai antara kehidupan di sekolah.Yaitu nilai-nilai ideal di mata pelajaran dan tata tertib di sekolah dengan nilai-nilai yang mungkin tidak ideal di luar sekolah. Pada situasi seperti itu, anak yang sedang dalam masa perkembangan kejiwaan akan mengalami kesulitan mendefinisikan diri dan memilih nilai yang akan mereka pegang.

Bukan guru penghukum

Pada 1990-an, guru BK dikenal sebagai BP (bimbingan dan penyuluhan) yang memiliki kesan sebagai `guru penghukum' murid-murid bandel dan nakal. Guru BP seperti polisi yang merazia siswa yang tak lengkap berseragam upacara lengkap berseragam dan menunggu murid terlambat di pintu gerbang sekolah. Guru BP menjadi momok bagi siswa nakal. Ruang BP seperti ruang eksekusi murid bandel.

Di sekolah, guru BK juga hanya menjadi guru `kelas dua' karena tidak mengampu mata pelajaran yang di-UNkan. Dampak bimbingan dan konseling yang dirasakan untuk kenaikan atau kelulusan siswa pun bersifat tidak langsung. Karena kondisi yang demikian, banyak yang melirik peran guru BK dengan sebelah mata.Dengan kenyataan banyaknya kenakalan remaja saat ini, kita patut menempatkan peran guru BK sebagai salah satu solusi.

Sayangnya, jumlah guru BK sekarang hanya 38 ribu, padahal idealnya sebanyak 130 ribu. Peningkatan peran gutu BK diharapkan sebagai konselor siswa di jurusan SMA (Kompas, 14/8). Dari jumlah tersebut, berarti masih kurang 98 ribu guru agar mencapai ideal. Itu menjadi tugas perguruan tinggi keguruan demi menyiapkan calon guru BK yang mumpuni untuk mengajar di sekolah, memiliki kompetensi akademik, dan profesional.

Kesan guru BK sebagai guru penghukum mesti mulai dikikis. Pembinaan pada murid nakal bukan lagi dengan hukuman, melainkan pendekatan persuasif. Guru harus lebih banyak mendengar keluhan siswa. Namun, seperti lazimnya masyarakat Indonesia, orang kesulitan berterus terang tentang masalah yang dihadapi, terlebih bagi pelajar yang mungkin malu, ragu, dan takut untuk berkata jujur ketika curhat pada guru BK. Anak-anak kesulitan merangkai ka limat untuk menjelaskan perasaannya.

Itu tentu akan menyulitkan guru BK dalam mengidentifikasi dan memberikan solusi pada siswa. Namun, seiring de ngan penggunaan media sosial di kalangan siswa, guru BK dapat memantau mereka melalui status yang diunggah di Facebook, misalnya. Pasalnya, banyak remaja yang begitu mudah curhat ke media sosial ketimbang curhat dengan orangtua atau guru. Karena itu, guru BK yang baik ialah yang mampu menyesuaikan diri dengan gaya hidup dan pergaulan anak didik.

Teman bagi siswa

Guru BK ialah psikolog di sekolah. Kompetensi akademik menjadi garansi kualitas konseling guru BK. Sebagai ilmu, psikologi berkembang dengan temuan-temuan teori dan metode baru. Sementara itu, kompetensi profesional menjamin guru BK un tuk melakukan konse ling seturut kode etik dan menjamin jenjang karier guru BK selanjutnya.Pemerintah bisa memfasilitasi pelatihan untuk meningkatkan kemampuan guru BK.Sebagaimana guru lainnya, guru BK juga perlu menambah wawasan, pengalaman, dan metode terbaru dalam rangka konseling.

Sebagai konselor, guru BK diharapkan dapat memantau perkembangan psikologi siswa. Dia mesti tahu kondisi keluarga siswa. Pelajar di kota kecil dan perdesaan, misalnya, pun banyak yang membutuhkan motivasi, dorongan, atau sekadar pendengar dari persoalan sehari-hari yang dialami. Apalagi, anak-anak yang tumbuh di keluarga yang menyerahkan sepenuhnya pendidikan dan pengajaran anaknya pada sekolah. Mereka rentan menemukan dua model kehidupan yang berbeda, antara di sekolah dan rumah yang tidak memiliki budaya belajar.

Guru BK harus menjadi tempat curhat siswa, lantas memberikan solusi terhadap persoalan kehidupannya. Baik itu menyangkut pelajaran di sekolah maupun kehidupan pribadi siswa. Pendekatan layaknya teman seumuran akan memudahkan pelajar usia belasan itu membuka diri. Kehidupan di luar sekolah berkembang semakin tidak terkendali dengan model pergaulan yang berakibat negatif jika pelajar salah pilih.

Banyak potensi guru BK yang selama ini belum maksimal. Itu ialah tugas pemangku kepentingan, terutama pemerintah, untuk mengatasi kesenjangan jumlah guru BK dan siswa agar mendekati ideal. Kita berharap, kehadiran guru BK dapat meminimalkan perilaku negatif siswa, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Guru BK punya peran penting dalam mempersiapkan pelajar sebagai generasi penerus bangsa yang berkualitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar