Minggu, 30 Agustus 2015

Judil dan Malari

Judil dan Malari

Budiarto Shambazy  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                       KOMPAS, 29 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Satu lagi buku menarik tentang Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) telah terbit, berjudul Biografi Judilherry Justam, Anak Tentara Melawan Orba. Judil menduduki posisi Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM-UI) ketika ditangkap Orde Baru (Orba) karena didakwa terlibat Malari.

Seperti halnya biografi, buku ini bercerita tentang sosok Judil yang dikenal sebagai aktivis politik sejak mahasiswa sampai kini. Ia konsisten mengkritisi Orba tidak hanya saat menimba ilmu kedokteran di UI, tetapi juga setelah itu melalui Petisi 50.

Risiko dan penderitaan yang ditanggung Judil bukan main! Ia bukan cuma dipenjara atau dibuntuti aparat intelijen ke mana pun pergi, lisensi praktiknya sebagai dokter pun dicabut.

Judil membuat gempar panggung politik ketika mencalonkan diri sebagai presiden tahun 1978 menjadi pesaing Presiden Soeharto. Bersama dengan sejumlah tokoh anti Orba, Judil melanjutkan kiprah politik dengan mendirikan Partai Ummat Islam tahun 1998.

Sejak Malari sampai kini, Judil berhasil mencatatkan diri sebagai aktivis/politisi yang tidak "menjual diri" yang terus berupaya menjaga integritas. Seperti salah satu bab biografinya, Judil adalah "Anak Tentara Besar di Sekolah Katolik dan Menjadi Aktivis HMI".

Nah, latar belakang politik terjadinya Malari sampai kini masih gelap. Kerusuhan itu memakan korban 11 orang tewas, 685 mobil hangus, 120 toko hancur dan rusak, serta 128 korban luka berat dan ringan.

Proyek Senen yang kala itu diperkirakan bernilai sekitar Rp 2,6 miliar terbakar habis. Petang hari, Proyek Senen hangus dilalap api yang tak pernah padam sampai esok paginya. Penjarah menghabisi Proyek Senen sampai ludes. Mereka mencuri perhiasan emas dan permata, barang elektronik, sampai pakaian atau mebel.

Peristiwa berawal dari apel ribuan mahasiswa dan pelajar dari Kampus UI di Jalan Salemba menuju Kampus Universitas Trisakti di bilangan Grogol pada tengah hari. Di situ mahasiswa dan pelajar memaklumatkan Apel Tritura 1974, yang meminta pemerintah menurunkan harga-harga, membubarkan lembaga Aspri (Asisten Presiden), dan menggantung koruptor-koruptor.

Setelah apel bubar, mahasiswa dan pelajar itu membakar patung Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Lalu, mereka menuju ke Istana dan coba menerobos masuk. Istana ketika itu menjadi tempat pertemuan Presiden Soeharto dan PM Tanaka, yang bertamu sejak 14 Januari 1974.

Entah siapa yang memulai, demonstrasi murni anti dominasi ekonomi Jepang itu berubah menjadi kerusuhan massal. Di berbagai jalan protokol, puluhan mobil dibakar massa.

Gedung Astra di Jalan Jenderal Sudirman rusak berat dilempari berbagai macam benda. Kerusuhan juga terjadi hampir di sepanjang Jalan Gajah Mada serta Jalan Hayam Wuruk. Di daerah bisnis Glodok, banyak para pengendara harus rela menyaksikan kendaraan mereka dirampas, dirusak, sampai dibakari warga. Jakarta jadi wilayah tak bertuan dan, seperti biasa, warga Tionghoa yang tak bersalah menjadi korban amok.

Aparat keamanan baru mampu mengendalikan keadaan sekitar waktu maghrib. Pemerintah segera memberlakukan jam malam. Pada 16 Januari, kobaran api dan asap masih terlihat di beberapa wilayah Ibu Kota. Namun, situasi dengan cepat kembali normal 17-18 Januari 1974 sehingga aturan jam malam dikurangi.

Bukan cerita baru Malari meletus akibat persaingan antara Wapangab/ Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dengan Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Bidang Khusus Mayjen Ali Moertopo. Tanggal 2 Januari 1974, Soemitro bersama Ali dan Kepala Bakin Letjen Sutopo Juwono menemui Presiden Soeharto di Jalan Cendana untuk membantah mereka terlibat persaingan.

Selesai pertemuan, Soemitro kepada para wartawan membantah dirinya berniat melancarkan makar terhadap Soeharto. "Kalau terus-terusan begini, seolah-olah Pak Mitro akan mengadakan makar. Ini orang dua diadu terus. Soemitro, Ali Moertopo, calon-calon presiden. Apa-apaan ini...," kata Soemitro sambil menunjuk Ali.

Rumor tentang rencana makar oleh Soemitro sebenarnya sudah beredar setahun sebelum Malari meletus. Ia sering berkunjung ke kampus-kampus di Jawa dan mengintrodusir pernyataan tentang kepemimpinan nasional yang dianggap membahayakan kekuasaan yang sah.

Terlepas dari kebenaran rumor makar oleh Soemitro, suasana politik sudah telanjur "membusuk" beberapa tahun sebelum terjadi Malari. Tewasnya mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), Rene Louis Conrad, dalam "konfrontasi" mahasiswa melawan ABRI pada September 1970 merupakan salah satu insiden politik yang penting.

Masyarakat muak menyaksikan Golkar memulai kebiasaan bermain curang untuk memenangi secara mutlak Pemilu 1971. Kerusuhan di Bandung pada Agustus 1973 menjadi awal kemunculan sentimen anti Tionghoa.

Setelah meletusnya kerusuhan Malari, lebih dari 50 pemimpin lembaga kemahasiswaan serta para cendekiawan ditangkap. Beberapa surat kabar nasional diberedel.

Sempat beredar kabar seram mantan Ketua MPRS Jenderal (Purn) AH Nasution pun akan ditangkap, gosip yang tak menjadi kenyataan. Setelah Malari, Soeharto tetap berdiri tegak. Jenderal demi jenderal, demonstrasi demi demonstrasi, tak mampu menggoyahkannya.

Pelajaran dari Malari: selalu ada pihak-pihak yang mengail di air keruh demi kekuasaan. Mereka tega meletuskan kerusuhan massal, tak peduli dengan kerugian nyawa ataupun harta yang biasanya hanya ditanggung rakyat biasa.

Dalam acara peluncuran biografi Judil, Kamis (27/8), di Jakarta, aktivis yang juga dipenjarakan karena Malari, Rahman Tolleng, menyebut Judil tokoh anomali karena sikapnya idealistis. "Idealisme bagai seonggok debu di atas batu yang akan hilang ditiup angin. Tapi, Judil tidak. Ia tidak kenal menyerah memperjuangkan idealisme sampai era pasca Reformasi," ujar Tolleng.

Cuma sedikit aktivis atau politisi yang menempuh "jalan yang jarang dilalui" (the road less traveled) yang butuh panduan moral dan stamina batin yang tak mudah ditundukkan kekuasaan. Kita lebih banyak menjumpai aktivis dan politisi yang menempuh jalan semrawut dan berisik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar