Jumat, 28 Agustus 2015

Literasi Kemerdekaan

Literasi Kemerdekaan

Bandung Mawardi  ;   Pengelola Jagat Abjad Solo
                                                      JAWA POS, 17 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

HARI-HARI setelah 17 Agustus 1945, para tokoh menulis buku-buku untuk mengisahkan dan menjelaskan Indonesia. Para penulis pun memilih berliterasi demi meneguhkan kemerdekaan dengan untaian kata bergelimang makna.
Buku-buku ditulis dan diterbitkan secara sederhana saat jutaan orang Indonesia masih berpredikat tunaaksara. Kerja literasi tetap harus dilakukan sebagai konsekuensi kemuliaan Indonesia sebagai negara modern dan beradab.
Pada 10 November 1945, Sutan Sjahrir mengeluarkan teks berjudul Perdjoeangan Kita. Buku itu berisi analisis situasi Indonesia dan kerja pemerintah setelah 17 Agustus 1945.

Sjahrir mengajukan kritik-kritik yang bermaksud menentukan arah kemajuan bagi Indonesia. Sjahrir mengungkapkan pesimisme: ’’Sangat menjedihkan keadaan djiwa pemoeda kita. Mereka teroes di dalam kebimbangan, meskipoen semangatnja meloeap-loeap, mereka beloem mempoenjai pengertian tentang kemoengkinan serta kedoedoekan perdjoeangan jang diperdjoeangkannja sehingga pandangannja tak dapat djaoeh.’’

Kritik itu diajukan saat kaum muda sedang repot menentukan posisi dalam tata pemerintahan dan perjuangan. Sjahrir menganggap kaum muda itu ’’maboek perboeatan’’ agar tampak revolusioner dan heroik, meski mereka ’’banjak poela salah toebroek’’. Di ujung tulisan, Sjahrir mengingatkan kemungkinan petaka jika para pemimpin dan kaum muda masih memihak ke militerisme dan fasisme.

Pemaknaan kemerdekaan berlanjut ke penerbitan buku berjudul Merdeka (1946). Buku itu berisi sikapsikap politik Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Sultan Hamengku Buwono IX, Paku Buwono XII, dan Mangkunegoro VIII.
Penerbitan dilakukan surat kabar Merdeka dengan pemimpin redaksi B.M. Diah. Buku tersebut bermisi menjelaskan kemerdekaan dengan pelbagai dokumentasi berita, artikel, serta foto. Para pemimpin juga memberikan uraian-uraian mengenai perkembangan Indonesia dalam urusan politik, pendidikan, polisi, tentara, pers, agama, dan seni. Penerbitan buku itu semakin membuktikan bahwa kerja literasi bakal mengukuhkan kemerdekaan.

Di Solo, pemberian arti kemerdekaan diwujudkan R. Tanojo dengan garapan buku berjudul Djangka Djajabaja Sempoerna dengan Peristiwa Indonesia Merdeka (1946). Buku itu terbagi dalam tiga jilid, berisi uraian sejarah dan pemaknaan ramalan kemerdekaan dengan dasar-dasar pembentukan Indonesia sebagai negara modern.

Buku itu diterbitkan Sadoe Boedi (Solo) dengan kecenderungan sebagai bacaan berkonteks sejarah politik-kultural Jawa bertaut semangat kemerdekaan. Buku garapan R. Tanojo mungkin menjadi buku aneh saat dibaca kaum politik dan kaum intelektual yang berkiblat ke rasionalitas Barat. Buku itu sengaja ’’mencampur’’ ramalan dan realitas Indonesia merdeka.

Pada 1946, terbit buku berjudul Soeasana Politika garapan Moetijar S. Buku itu diterbitkan Balai Poestaka. Buku tersebut terkesan jadi tanggapan untuk tuduhan-tuduhan Sutan Sjahrir kepada kaum muda atau ’’Angkatan Baroe’’.
Moetijar berlaku sebagai pencatat gejala-gejala perubahan dan perkembangan Indonesia melalui kutipan berita, kebijakan pemerintah, dan pidato. Penjelasan suasana dimulai pada 17 Agustus 1945 sampai 31 Desember 1945.

Moetijar sengaja menggarap buku berbekal mantra: ’’merdeka berpikir, merdeka bitjara, merdeka menoelis’’. Keberanian menerbitkan buku berjarak lima bulan setelah kemerdekaan memungkinkan kesalahan atau analisis dangkal.
Moertijar pun mengakui: ’’…sifat pemoeda jang maoe mentjapai tanah tepi dengan sekali lompat sadja, barangkali banjak terdapat dalam naskah ketjil ini sesoeatoe jang terdorong telandjoer, jang terlebih kata orang, dan entahlah banjak poela kesalahan dan kekoerangannja.’’ Buku sudah diterbitkan menjadi bukti bahwa kaum muda berhak menilai kemerdekaan dengan kerja literasi.

Tahun demi tahun berlalu. Kemauan menulis tentang kemerdekaan dilanjutkan oleh Sajuti Melik. Pengetik naskah Proklamasi itu menulis buku berjudul Arti Proklamasi dan KMB (1949). Buku itu diterbitkan Logika, Jogjakarta. Tebalnya 78 halaman.

Pada halaman awal, pembaca disuguhi puisi berjudul Ketjewa tapi Berdjoang, ekspresi politis untuk situasi Indonesia. Sajuti menulis: Aku ketjewa/ Bila kenjataan/ Menjampingkan pengharapan… Aku ketjewa/ Karena republik/ tak memenuhi pengharapan/ Siapa salah/ Dia satu kenjataan/ Dan, benar salah/ Republik milik kita.

Puisi itu digubah bereferensi ke peristiwa bersejarah dan ikhtiar para pemimpin politik dalam mencapai kedaulatan Indonesia di mata dunia internasional. Kemerdekaan masih terus dirongrong dari dalam dan luar. Penjelasan-penjelasan melalui buku diharapkan bisa jadi acuan melihat perkembangan nasib Indonesia.

Sajuti Melik terlibat dalam peristiwa bersejarah. Pengalaman itu digunakan untuk pengajuan perbedaan tafsir Proklamasi. Lima tahun sudah berlalu, tetapi tafsir resmi Proklamasi belum dikeluarkan pemerintah.

Sajuti Melik mencatat ada dua tafsir besar mengenai Proklamasi seiring perkembangan situasi politik dan pertarungan diplomasi. Tafsir pertama menganggap Proklamasi itu ’’hanjalah suatu pernjataan hasrat rakjat Indonesia untuk diselenggarakan negara merdeka meliputi seluruh Indonesia’’. Republik pada masa itu masih cuma ada ’’di atas kertas’’.

Tafsir kedua mengungkapkan bahwa Indonesia telah merdeka, berdaulat, dan tampil sebagai negara kesatuan sejak 17 Agustus 1945. Dua pengertian tak mutlak benar. Sajuti pun memutuskan untuk membuat uraian yang berpijak ke sejarah. Buku diterbitkan agar lacakan kebenaran tidak terlalu jauh dari peristiwa dan kesaksian para pelaku.

Penerbitan buku-buku setelah 1945 cenderung politis. Kita agak reda dari gejolak politik jika membaca buku berjudul Filsafah Merdeka (1950) garapan Adi Negoro, diterbitkan Pustaka Antara, Jakarta. Adi Negoro berlaku sebagai pengamat.

Buku itu berisi renungan dan nasihat. Adi Negoro menentukan jarak renungan dengan rangkai peristiwa dan adu opini umum. Jurnalis dan sastrawan kondang itu mengingatkan: ’’Negara merdeka harus mempunjai pikiran merdeka. Dasar-dasar usaha merdeka tidak seharusnja dalam segala-galanja diharapkan serba dari pemerintah datangnja, oleh sebab tenaga pemerintah djuga terwatas, bahkan segalanja dalam alam haruslah dipikirkan oleh manusia Indonesia dengan dasar serba terwatas.’’

Corak filsafat sengaja disajikan agar pembaca tidak terlalu emosional dan ’’keras’’ menanggapi perkembangan arti kemerdekaan, sejak 1945 sampai 1950. Kerja literasi pun belum selesai. Kini, kita masih terus menulis dan membaca demi pemaknaan kemerdekaan dengan pelbagai perspektif. Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar