Senin, 24 Agustus 2015

Logistik Nasional dan ASEAN

Logistik Nasional dan ASEAN

Nyoman Pujawan  ;   Guru Besar Bidang Supply Chain Engineering, Jurusan Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
                                                       KOMPAS, 24 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) efektif mulai tahun ini. Kita mengenal MEA sebagai kerja sama antarnegara ASEAN untuk mentransformasi diri menjadi kesatuan kekuatan ekonomi, baik sebagai pasar maupun sebagai pusat produksi.

MEA juga memiliki visi untuk menjadikan ASEAN sebagai kawasan dengan ekonomi yang berdaya saing disertai pertumbuhan ekonomi yang lebih setara di antara negara anggotanya dan terintegrasi secara lebih baik dengan pasar global. Untuk mencapai visi tersebut, negara-negara anggota ASEAN telah sepakat untuk mengurangi restriksi terhadap pergerakan barang, jasa, investasi, ataupun tenaga kerja terampil antarnegara ASEAN.

Sebagai kesatuan kekuatan ekonomi, ASEAN tentu merupakan kawasan penting di dunia. Jumlah penduduk ASEAN secara total kurang lebih 625 juta, atau sekitar 9 persen penduduk dunia, tentunya merupakan pasar yang sangat besar. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan penduduk Uni Eropa yang berjumlah sekitar 500 juta dan sekitar dua kali lipat penduduk Amerika Serikat. Hanya saja, daya beli masyarakat ASEAN masih relatif rendah jika dibandingkan dengan Uni Eropa ataupun Amerika Serikat. Total produk domestik bruto (PDB) untuk keseluruhan negara-negara ASEAN hanya sekitar 40 persen dari PDB Jepang dan hanya sekitar 14 persen PDB Amerika Serikat. Namun, dengan pertumbuhan yang cukup tinggi, ASEAN akan menjadi semakin penting dalam percaturan ekonomi dunia, terutama jika kesepakatan MEA mampu secara efektif mewujudkan visinya.

Konektivitas logistik

Konektivitas logistik adalah kunci dalam pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Konektivitas diciptakan melalui infrastruktur fisik maupun hubungan perdagangan. Membangun infrastruktur fisik adalah syarat penting dalam menciptakan konektivitas, tetapi tidak dengan sendirinya akan memberikan dampak ekonomi. Dampak ekonomi baru akan muncul ketika infrastruktur maupun hubungan dagang bisa dibangun. Dampaknya akan lebih besar apabila disertai dengan kemudahan dari sisi transportasi, pengurusan dokumen, sistem pembayaran, dan didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia yang memadai.

Kinerja logistik antarnegara ASEAN tidak cukup berimbang. Negara-negara tertentu memiliki konektivitas yang jauh lebih baik dibandingkan dengan negara lainnya. Peringkat indeks kinerja logistik (LPI) negara-negara ASEAN tersebar mulai dari bagian atas (sangat bagus) sampai bagian bawah (sangat buruk).  Peringkat LPI hasil survei Bank Dunia tahun 2014 menempatkan Singapura berada di urutan ke-5, sementara lima negara lainnya ada di bagian tengah, yaitu Malaysia di urutan ke-25, Thailand (35), Vietnam (48), Indonesia (53), dan Filipina (57). Sementara di klaster bawah ada tiga negara, yaitu Kamboja (83), Laos (131), dan Myanmar (145) dari keseluruhan 160 negara yang disurvei.

Posisi yang sangat tidak merata itu akan dengan cepat berubah di masa yang akan datang. Perubahan konektivitas yang cukup drastis akan terjadi antarnegara di sekitar Sungai Mekong dengan dibukanya sejumlah akses darat antara lain yang menghubungkan Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, dan Vietnam. Akses darat tersebut akan banyak membawa perubahan konektivitas dan akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat di negara-negara tersebut. Negara-negara di sekitar Sungai Mekong membentuk kesepakatan kerja sama dengan wadah yang disebut Greater Mekong Subregion (GMS). Konektivitas logistiknya dibagi ke dalam beberapa koridor ekonomi dan tampaknya memberikan cukup banyak harapan positif bagi kelancaran perputaran barang di antara negara-negara tersebut.

Posisi Myanmar dengan penduduk sekitar 54 juta akan menjadi salah satu negara yang mengubah banyak konstelasi ekonomi ASEAN di masa mendatang. Pertumbuhan perdagangan ekspor/impor Myanmar yang di atas 20 persen merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Saat ini Myanmar membangun pelabuhan yang cukup besar di Dawei.

Di sekitarnya juga sedang dikembangkan kawasan ekonomi khusus. Pelabuhan ini akan terhubung darat dengan Thailand, Kamboja, dan Vietnam. Kedalamannya yang direncanakan sekitar 20 meter akan mampu menerima kapal yang sangat besar. Posisinya yang strategis akan dengan mudah menarik banyak perusahaan pelayaran untuk melakukan bongkar muat di sana. Bagi muatan yang menuju atau berasal dari Myanmar, Thailand, dan beberapa negara sekitarnya, tentu akan lebih efisien baik dari biaya maupun waktu untuk melakukan bongkar muat di sana ketimbang melalui  Singapura atau di Malaysia. Jika ini benar menjadi kenyataan, arus kapal besar dari Samudra Atlantik yang melewati Selat Malaka akan berkurang drastis di masa yang akan datang. Dengan kata lain, dominasi pelabuhan Singapura sebagai pelabuhan transshipment utama di Asia Tenggara akan berkurang di masa mendatang.

Dalam rangka meningkatkan konektivitas antarnegara ASEAN, berbagai inisiatif telah dilakukan. Salah satunya adalah pembuatan rencana strategis konektivitas negara-negara anggota ASEAN. Beberapa pelabuhan utama seperti Laem Chabang di Thailand, Tanjung Priok dan Tanjung Perak di Indonesia, Ho Chi Minh dan Da Nang di Vietnam, Klang di Malaysia, Manila di Filipina, dan pelabuhan Singapura adalah sebagian pelabuhan kunci yang menjadi simpul-simpul konektivitas maritim saat ini.

Persoalan

Masih banyak persoalan dalam kaitannya dengan konektivitas di antara negara-negara ASEAN. Salah satunya adalah proses ekspor/impor yang masih sangat rumit di beberapa negara. Menurut laporan Bank Dunia tahun 2014, dalam menjalani proses impor, Singapura hanya memerlukan 3 dokumen, Indonesia 4 dokumen, Kamboja 8 dokumen, dan Laos 10 dokumen.

Waktu proses juga beragam. Untuk ekspor, Singapura bisa menyelesaikan proses dokumen dalam 6 hari, Indonesia 17 hari, Kamboja 22 hari, dan Laos 23 hari. Biayanya tentu juga bervariasi dan kurang lebih dicerminkan oleh kerumitan prosesnya. Persoalan inspeksi barang lintas batas yang berbelit-belit, cara melakukan klasifikasi barang yang tidak standar, serta beberapa persyaratan khusus di tiap-tiap negara adalah persoalan yang masih dihadapi negara-negara ASEAN terkait dengan konektivitas logistik.

Persaingan antarnegara anggota ASEAN terkait pelabuhan laut maupun udara juga adalah persoalan yang harus disikapi dalam MEA. Saat ini cukup terlihat persaingan antara pelabuhan Singapura dan Pelabuhan Klang di Malaysia. Ketika nanti Pelabuhan Dawei di Myanmar berhasil dibangun dan beroperasi dengan baik, kemudian Pelabuhan Kuala Tanjung juga berhasil menjadi hub internasional, peta persaingan pelabuhan di Asia Tenggara akan memasuki era baru.

Yang akan memimpin persaingan bukan sekadar infrastruktur megah dan modern, melainkan juga yang bisa mengelola proses bisnis secara cepat dan efisien, menjadikan pelabuhan sebagai service agent, serta memiliki hubungan baik dengan perusahaan pelayaran dunia maupun dengan pelabuhan internasional lainnya di seluruh dunia.

Oleh karena operasi di pelabuhan hampir selalu melibatkan pemerintah sebagai pemangku kepentingan utama, sudah bisa dipastikan bahwa pelabuhan yang kompetitif adalah pelabuhan yang didukung oleh pemerintahan yang bersih, kuat, dan terampil dalam menyederhanakan birokrasi.

Konteks Indonesia

Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, peran Indonesia tentu sangat sentral. Sekitar 38 persen penduduk ASEAN adalah warga negara Indonesia. Dari sisi kekuatan ekonomi, PDB Indonesia mencapai sekitar 36 persen dari total PDB negara-negara ASEAN. Artinya, PDB per kapita kita sedikit di bawah rata-rata PDB per kapita negara-negara ASEAN. Posisi ini menjadikan Indonesia sangat strategis di ASEAN, tetapi juga tantangan bagi pemerintah untuk meningkatkan PDB per kapita di atas rata-rata ASEAN.

Terlepas dari kekuatan ekonomi regional yang besar, banyak persoalan konektivitas logistik yang masih dihadapi Indonesia. Konektivitas domestik kita, baik di laut maupun di darat, masih membutuhkan begitu banyak pembenahan infrastruktur. Konsep tol laut yang menghubungkan tujuh pelabuhan utama mulai dari Belawan sampai Sorong dan terhubung dengan puluhan pelabuhan yang lebih kecil merupakan salah satu terobosan penting yang dilakukan pemerintah.

Pertanyaannya, apakah konsep itu cukup efektif mengingat persebaran penduduk dan tingkat aktivitas ekonomi yang sangat tidak imbang antara bagian barat dan timur Indonesia? Bagaimana membuat aliran logistik berimbang, sementara lebih dari 57 persen penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa? Ini adalah tantangan yang berat.

Hampir tidak pernah didiskusikan bagaimana hubungan antara persebaran penduduk, aktivitas ekonomi, dan persoalan logistik. Selama ini kita hampir selalu menyalahkan infrastruktur dan proses yang lambat sebagai penyebab biaya logistik yang tinggi. Sebagus apa pun infrastrukturnya, apabila penduduk dan aktivitas ekonomi sangat terkonsentrasi di satu atau beberapa wilayah, tetap akan sulit menciptakan sistem logistik nasional yang andal dan efisien.

Oleh karena itu, ada beberapa hal yang sangat perlu mendapat perhatian pemerintah dalam hal ini. Pertama, bagaimana menyebarkan pusat-pusat ekonomi untuk mengurangi ketimpangan antarwilayah, terutama antara wilayah barat dan timur Indonesia. Konsep MP3EI yang berupaya membangun pusat-pusat ekonomi melalui koridor ekonomi adalah konsep yang sangat bagus dan harus dilanjutkan oleh pemerintah sekarang.

Kedua, pembangunan perguruan tinggi dengan program-program khusus dibantu oleh dosen-dosen kaliber tinggi dengan kucuran dana yang besar harus dilakukan di setiap koridor ekonomi sehingga dalam 5-10 tahun mendatang sebaran perguruan tinggi bagus semakin merata ke seluruh wilayah Indonesia.

Ketiga, perlu tunjangan khusus bagi sarjana yang bekerja di wilayah Indonesia timur serta insentif khusus bagi investor yang mau membuka usaha di wilayah yang sama, khususnya yang berdampak besar dalam percepatan pembangunan wilayah. Dengan kata lain, meningkatkan sistem logistik nasional haruslah merupakan bagian dari pembangunan terintegrasi.

Selama kita membiarkan pusat-pusat penduduk dan ekonomi hanya terkonsentrasi di beberapa wilayah, selama itu juga kita akan mengalami berbagai persoalan terkait dengan logistik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar