Sabtu, 29 Agustus 2015

Negara di Pusaran Kelangkaan Daging

Negara di Pusaran Kelangkaan Daging

Andi Irawan  ;   Dosen Pascasarjana Program Studi Agrobisnis Universitas Bengkulu
                                                      JAWA POS, 21 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TEORI ekonomi memostulatkan bahwa supply dan demand adalah penentu harga dalam pasar. Kita memang bisa berpolemik tentang data terkait dengan supply dan demand. Tetapi, kita tidak bisa berdusta tentang harga.

Harga terjadi tidak berdasar asumsi dan perhitungan. Ia adalah fakta yang dirasakan semua pihak. Dan, harga yang tinggi adalah petunjuk adanya kelangkaan. Klaim tentang suplai dan stok yang memadai, bahkan swasembada, menjadi ternegasi dengan sendirinya ketika harga suatu komoditas di lapangan melambung tinggi.

Sebagaimana yang diketahui, kita baru saja dihebohkan mogoknya pedagang daging sapi yang menjual komoditas mereka, khususnya di wilayah DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Alasannya sederhana, harga sapi sudah sangat tinggi dari pemasoknya, yakni perusahaan penggemukan sapi ( feedloter) sehingga mereka sulit menjual ke masyarakat.

Pertanyaan dari fenomena harga daging sapi yang melambung tinggi tersebut adalah, apakah kelangkaan yang mengakibatkan kenaikan harga tersebut merupakan kelangkaan alami atau kelangkaan artifisial?

Kelangkaan alami adalah kelangkaan yang terjadi sepenuhnya karena suplai yang tidak bisa memenuhi demand. Sedangkan kelangkaan artifisial adalah kelangkaan yang sengaja diciptakan pelaku ekonomi atau pihak tertentu yang mempunyai power di pasar.

Berdasar data stok sapi dari Asosiasi Pengusaha Feedlot Indonesia (Apfindo) per 24 Juli 2015, jumlah sapi siap potong dan bakalan di 35 perusahaan anggota Apfindo mencapai 178.781 ekor. Padahal, kebutuhan ( demand) tiga wilayah –yaitu DKI Jakarta, Banten, dan Jabar tempat para pedagang sapi mogok berjualan– adalah 60.000 ekor per bulan.

Artinya, kalau merujuk pada data tersebut, kebutuhan mencukupi sampai Oktober 2015. Dengan demikian, menurut pemerintah, ada kekuatan di dalam pasar yang dengan sengaja tidak menyalurkannya ke pasar. Kelangkaan tersebut pun terkategori sebagai kelangkaan artifisial.

Ada dua sumber kekuatan pasar yang mengakibatkan kelangkaan daging sapi artifisial tersebut. Pertama, hadirnya pelaku pasar yang punya power. Power pasar tersebut didapat karena dia adalah pelaku tunggal yang mendominasi pasar (monopoli) atau mereka adalah segelintir pelaku yang berkolusi untuk menguasai pasar yang sering diistilahkan dengan kartel. Catatan kunci dari fenomena kekuatan pasar tersebut adalah pelaku sepenuhnya adalah pemain di pasar dan tidak melibatkan pihak di luar pasar.

Bentuk kekuatan power pasar yang kedua adalah mafia. Bentuk kolusi antara pelaku yang terlibat lebih rumit dan luas. Kerja sama untuk menguasai pasar tidak hanya terjadi antar pelaku pasar, tetapi lebih luas, yakni antara pelaku pasar dan unsur negara (legislatif, eksekutif, atau yudikatif). Kelangkaan yang ditimbulkan sangat eksploitatif dengan daya rusak yang lebih besar dari monopoli dan kartel.

Kita tahu, kelangkaan daging karena kartel atau monopoli masih mudah diatasi, yakni melalui intervensi negara, antara lain, (1) menggunakan BUMN untuk memecah kekuatan kartel sebagai pemasok daging ke pasar. Di sini, pemerintah bisa menggunakan BUMN ternak (PT Berdikari) atau Bulog dengan memberikan wewenang mengimpor daging beku dan sapi untuk kemudian menyuplainya ke pasar ketika harga daging sapi melambung tinggi. (2) Menegakkan law enforcement. Contohnya, penindakan terhadap perusahaan feedloter yang memanipulasi informasi dan melakukan penimbunan (pasal 30 dan 29 ayat 1 UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan).

Pelakunya dihukum dengan sanksi pidana tertinggi, yakni pidana 5 tahun atau denda Rp 50 miliar bagi mereka yang terbukti melakukan penimbunan. Juga, penjara 4 tahun dan atau denda Rp 10 miliar bagi mereka yang memanipulasi data dan informasi persediaan serta stok daging sapi.

Yang kita khawatirkan, kelangkaan artifisial terjadi karena hadirnya kolusi yang bernama mafia. Jika itu terjadi, solusi intervensi negara seperti yang diuraikan tersebut akan mandul. Sebab, yang terlibat dalam penciptaan kelangkaan daging sapi bukan sepenuhnya para pelaku pasar, tetapi sudah melibatkan oknum negara.

Negara sesunguhnya jauh powerful dari pasar. Ilmu ekonomi menyatakan, solusi distorsi pasar karena perilaku karteldanmonopoliadalah masuknya negara untuk menghilangkan kekuatan pelaku pasar yang destruktif dan eksploitatif tersebut.
Ketika negara ternyata tidak mampu mengoreksi perilaku distortif tersebut, hal itu menunjukkan adanya pelaku yang merupakan representasi negara yang ikut bermain di dalam pasar.

Jika fenomena kelangkaan daging sapi ke depan berulang dan tidak ada solusi yang tuntas, itu indikasi kuat bahwa jaringan mafia tersebut sudah masuk ke titik-titik pusat pengambilan kebijakan penting negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar