Rabu, 26 Agustus 2015

Polling untuk Calon Tunggal Pilkada

Polling untuk Calon Tunggal Pilkada

Rachmah Ida  ;   Dosen Komunikasi Politik FISIP Unair, Research Fellow di The University of Western Australia (UWA) Perth
                                                      JAWA POS, 08 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

POLEMIK pilkada (pemilihan umum kepala daerah) serentak dan munculnya calon tunggal di tujuh kota dan kabupaten di tanah air, barangkali, tidak pernah terpikirkan oleh pembuat kebijakan, elite politik, dan masyarakat Indonesia. Dalam benak pembuat kebijakan kala itu, barangkali yang terpikirkan hanya pemilihan serentak akan membawa efisiensi dana dan energi pelaksanaan tugas kenegaraan.

Pilkada serentak diidealkankan bakal membawa perbaikan bagi sistem politik di Indonesia. Pilkada serentak diharapkan juga menjadi pembelajaran proses demokrasi yang lebih baik bagi negara, elite politik, dan masyarakat sipil. Tapi, siapa sangka yang terjadi kini justru menimbulkan masalah baru?

Kondisi chaos, bermasalah, adalah hal lumrah dalam setiap proses transformasi sosial politik. Faktanya, mimpi membangun negara demokrasi yang ideal dan menyejahterakan rakyatnya tak berjalan mulus dan damai.

Sejarah membangun tata pamong, karakter bangsa, dan nasionalisme yang digagas oleh para pendiri bangsa barangkali sudah berkali-kali kita baca dan pahami. Benedict Anderson (1992) menuliskan bahwa bangsa adalah komunitas terbayang ( imagined community) yang terbangun melalui berbagai simbol, landscape, kebiasaan, dan lain-lain yang dirasakan sama, dan didukung print-capitalism seperti surat kabar. Maka, sama halnya rasa kebangsaan, proses berdemokrasi juga ada karena disatukan perangkat material tersebut.

Impian menjadi lebih baik selalu menjadi spirit para ”pemimpin baru” republik ini. Muaranya adalah membawa negara dan bangsa ini menjadi lebih tertata dan berpranata seperti negara-negara Barat yang sistem demokrasinya dilihat lebih ideal dan pantas dicontoh.

Persoalan mendasar yang sering kali dilupakan dalam proses imitasi ini adalah perbedaan signifikan aspek kultur dan karakter budaya dalam masyarakat kita yang berbeda dari negara Barat yang dicontoh itu. Karakter dan budaya masyarakat yang tidak bisa didefinisikan dan diidentifikasi secara sepihak oleh penguasa atau oleh kelompok yang merasa berkuasa inilah yang sebenarnya menentukan perikehidupan bangsa ini.

Rakyat barangkali tidak paham dengan perubahan sistem politik yang terjadi. Apa itu pilkada serentak, bagaimana modelnya, mengapa ada, dan mengapa hanya ada calon tunggal? Barangkali hanya sebagian rakyat yang paham, terutama mereka yang berpendidikan (walaupun belum tentu semuanya juga memperhatikan dan mengikuti), kaum kelas menengah yang well-acknowledged dengan politik, atau rakyat yang tahu hak dan kewajibannya sebagai warga negara, atau kalangan yang peduli dengan transformasi dan perubahan sistem dan proses politik di tanah air ini.

Polling Suara Rakyat

Dalam sistem demokrasi di negaranegara Barat, baik soal pelaksanaan sistem demokrasi maupun penentuan dan pemilihan pemimpin, ada satu kebiasaan yang menjadi salah satu alat demokrasi, yaitu penggunaan polling atau jajak pendapat.

Polling dipakai sebagai salah satu metode menjaring asprasi rakyat tentang apa pun. Tentang perlu tidaknya perubahan, penting tidaknya sebuah wacana, setuju tidaknya sikap rakyat terhadap suatu hal, dan sebagainya. Polling juga dipakai untuk menjaring suara rakyat tentang siapa pemimpin yang disukai atau tidak disukai, siapa yang dianggap pantas, serta tingkatan persentase dukungan rakyat terhadap pemimpinnya.

Polling adalah cara yang lebih cepat dan relatif akurat mengetahui secara kuantitatif suara mayoritas numeric (berdasar hitungan angka) terhadap wacana yang kontroversial pro dan kontra, suka dan tidak suka, dan yang banyak namanya disebut dan tidak disebut.

Di Indonesia, polling sudah digunakan dalam berbagai pemilihan pemimpin di tingkat nasional dan di daerah sejak masa reformasi. Di era Orde Baru, polling tidak pernah ada, karena rezim otoritarian tidak membutuhkan polling rakyat.
Namun, polling di tanah air selama ini dipakai hanya sebatas untuk menentukan tingkat elektabilitas kandidat-kandidat yang akan maju dalam pemilu dan pilkada.

Bagaimanapun, fungsi proses pembelajaran tentang polling yang digunakan di Indonesia selama ini menjadi signifikan saat ini ketika masyarakat beberapa daerah, termasuk Surabaya, hanya memiliki calon tunggal. Pertanyaan yang muncul: apakah calon tunggal ini benar-benar pemimpin yang paling disukai dan dimaui rakyatnya? Atau, apakah calon tunggal ini adalah yang dimaui atau didukung partai politik pengusungnya saja?

Jika jawabannya yang pertama, polling bisa digunakan untuk mengetes kebenaran jawaban ini. Jika benar pemimpin daerah itu yang paling disukai oleh rakyatnya, apakah hasil jajak pendapatnya benar-benar 100 persen?
Jika nama calon tunggal disaingkan dengan ”bumbung kosong”, apakah nama calon tunggal tadi benar-benar dipilih 100 persen rakyatnya?

Mungkin sekarang polling perlu dilemparkan kepada rakyat yang daerahnya hanya memiliki calon tunggal yang dipermasalahkan oleh undangundang dan para elite politik di Jakarta. Sebagai contoh, di California, pada 2003 pernah dilakukan polling kepada masyarakat di sana apakah perlu dilakukan ” recall election” atau pemilihan ulang terhadap gubernur petahana?

Jika perlu, ”siapa yang akan menjadi pemimpin alternatif menurut rakyat?” Polling di California menunjukkan bagaimana rakyat aktif menentukan nasib politik di wilayahnya sendiri, meski semua telah diatur undang-undang.

Barangkali, siapa pun yang akan mengambil inisiatif ini, polling perlu dilakukan untuk menjaring suara rakyat yang sesungguhnya ”perlukah pilkada ditunda?” atau, ”perlukah ada pejabat kepala daerah?” Jika perlu, ”siapa yang disukai oleh rakyat menjadi penjabat kepala daerah?” Sehingga meminimalkan terjadi penyalahgunaan kepentingan politik dan power-bias penunjuk penjabat maupun yang ditunjuk sebagai penjabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar