Sabtu, 29 Agustus 2015

Problem Kampanye Pilkada Serentak

Problem Kampanye Pilkada Serentak

Redi Panuju  ;  Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur
                                                      JAWA POS, 27 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PERATURAN Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2015 benar-benar membuat pasangan calon (paslon) tidak bisa mengoptimalkan sumber daya dan kemampuan komunikasinya di media massa. Sebab, seluruh kegiatan kampanye pilkada akan ditangani penyelenggara (KPU).

Pasal 58 PKPU dengan jelas menyatakan bahwa media massa cetak, media massa elektronik, dan lembaga penyiaran dilarang menayangkan iklan kampanye komersial selain yang difasilitasi KPU provinsi/KIP Aceh atau KPU/ KIP kabupaten/kota. Paslon yang mencoba menerobos ketentuan itu akan berhadapan dengan sanksi yang sangat berat. Pasal 73 ayat (2) PKPU tentang kampanye pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan atau wali kota dan wakil wali kota itu menyebutkan, pelanggaran atas ketentuan tersebut akan dikenai sanksi pembatalan sebagai calon.

Skema kampanye yang demikian menguntungkan calon yang sudah lebih dahulu dikenal konstituennya. Bisa sebagai petahana (incumbent) yang memiliki akses komunikasi dengan masyarakat lebih luas atau sebagai politikus yang memungkinkan dirinya harus berinteraksi dengan publik.

Merekalah yang mempunyai kesempatan lebih besar memenangi per tarungan pilkada karena starting point- nya lebih awal. Masa kampanye tinggal menjadi momentum menguatkan citra diri masing-masing.

Itulah yang membedakan antara skema kampanye pilkada serentak ini dan yang sebelumnya. Pada masa sebelumnya, figur yang tertinggal start bisa langsung melipatgandakan branding dengan cara membeli iklan dan ekspose lainnya dengan dana yang maksimal. Karena itu, ada figur yang sebelumnya kurang dikenal, tetapi karena kondisi petahana sedang kurang populer, dia bisa melejit menjadi pemenang.

Ada beberapa persoalan yang berpotensi muncul. Pertama, mampukah KPU menyelenggarakan kampanye bagi paslon secara adil? Baik dilihat dari sisi waktu potensial (prime time), urutan tampil, kualitas suara dan gambar, posisi letak (baliho), dan sebagainya.

Kedua, meskipun dalam pasal 53 ayat 3 PKPU 7/2015 tidak diperbolehkan berkampanye melalui lembaga penyiaran radio komunitas (rakom), paslon sangat mungkin menggunakan komunitas radionya sebagai sasaran potensial kampanye. Karena itu, sangat mungkin berbagai cara akan dilakukan supaya terkait dengan siaran rakom dalam bentuk noniklan.

Secara hukum, rakom memang dilarang menerima iklan komersial. Namun, ada beberapa kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada yang termasuk padat dengan rakom, baik yang sudah berizin maupun belum. Patut diwaspadai siaran rakom yang bisa memantik konflik darat.

Ketiga, sangat mungkin KPU menggunakan lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran publik yang telah mengantongi izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) tetap. Realitasnya, jumlah lembaga penyiaran yang telah ber-IPP tetap masih terbatas.

Bahkan, ada kabupaten/kota yang TV swastanya belum memiliki IPP tetap. Kebanyakan proses perizinan lembaga penyiaran baru sampai IPP prinsip. Sedangkan IPP prinsip belum diperbolehkan menerima iklan komersial.
Itu merupakan kendala tersendiri bagi KPU dalam memaksimalkan partisipasi publik. Saluran yang terbatas mengakibatkan publik tidak mendapat informasi yang lengkap tentang kedalaman sosok peserta pilkada.

Keempat, pasal 56 PKPU 7/2015 membuka peluang konflik di udara akibat tidak terkendalinya manajemen siaran. Pasal tersebut menyatakan, siaran monolog dan dialog yang diselenggarakan lembaga penyiaran dapat melibatkan masyarakat melalui telepon, layanan pesan singkat, surat elektronik, dan atau faksimile. Siapa yang bisa menjamin partisipasi masyarakat dalam siaran tersebut streril dari caci maki dan mendiskreditkan peserta pilkada?

Kelima, skema kampanye yang menempatkan KPU sebagai satu-satunya rezim sangat rawan memunculkan fitnah dari lawan politik paslon. Caranya adalah melakukan kampanye melalui mediamedia yang tidak ditunjuk KPU.

Sangat mungkin paslon X ditampilkan di media ”terlarang” oleh pasangan Y dengan harapan mendapat sanksi dibatalkan pencalonannya. Atau sebaliknya, paslon tetap nekat menggunakan media ”terlarang”, kemudian berdalih bukan dirinya yang memasang. Dirinya hanyalah pihak yang difitnah pihak lain.

Karena itu, dalam pilkada serentak kali ini, dibutuhkan kerja lebih ekstra dan jeli dari panitia pengawas pemilu (panwaslu) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID). Mudahmudahan pilkada serentak yang akan digelar awal Desember 2015 berjalan lancar dan aman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar