Rabu, 26 Agustus 2015

Regionalisasi Yuan-Yen

Regionalisasi Yuan-Yen

Rene L Pattiradjawane  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                       KOMPAS, 26 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Usulan Menteri Perdagangan RI Thomas Lembong di tengah pertemuan para menteri ekonomi ASEAN (AEM) di Kuala Lumpur, pekan lalu, untuk menggunakan yuan dalam perdagangan dan keuangan di kawasan Asia Tenggara menjadi gagasan menarik di tengah gejolak mata uang yang merontokkan sebagian besar kurs negara ASEAN.

Dalam pandangan menteri yang baru sepekan bekerja di bawah Presiden Joko Widodo ini, penggunaan yuan akan menjadi sangat relevan bagi ASEAN. Ini karena siklus ekonomi Asia Timur lebih cocok ketimbang sistem moneter ataupun perkembangan ekonomi yang digunakan negara maju. Gagasan ini setidaknya mengingatkan kita tentang krisis keuangan Asia 1998 ketika tidak ada negara maju yang berusaha membantu kebanyakan negara Asia, khususnya Indonesia dan Thailand.

”...Kalau lebih banyak perdagangan dan keuangan Asia dilakukan dalam renminbi, kebijakan moneter kita akan lebih banyak dipengaruhi oleh Beijing ketimbang Washington,” kata Lembong seperti dikutip The Jakarta Post, Senin (24/8). Pemikiran ini menjadi dilematis karena keterpurukan rupiah dan mata uang ASEAN lain, antara lain, dipicu devaluasi yuan yang dilakukan secara sepihak.

Kita memahami kalau kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan negara adidaya baru dalam ekonomi, perdagangan, keuangan, dan militer adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Dan, kerja sama negara-negara tetangga di kawasan Asia menjadi prasyarat mendukung Tiongkok sebagai kekuatan adidaya, termasuk menjadikan mata uang yuan sebagai jangkar baru dalam skema perdagangan bebas ASEAN-Tiongkok.

Namun, bersamaan dengan ini, kita harus melihat kembali mekanisme proses internasionalisasi mata uang Jepang yen. Kebijakan orientasi ekspor Jepang membawa perubahan signifikan dalam perdagangan dunia, tetapi gagal untuk meningkatkan struktur industri. Akibatnya, surplus perdagangan Jepang menyebabkan mata uang yen kehabisan stamina saat itu.

Fenomena sama terlihat pada Tiongkok, dengan struktur ekonomi mirip dengan Jepang pada dekade 1980-an. Melihat fluktuasi yang terjadi dalam sistem perekonomian Tiongkok saat ini, ada kekhawatiran apakah Beijing memiliki kekuatan ekonomi memadai melaksanakan restrukturisasi industrinya?

Ada beberapa faktor yang kita coba pahami ketika kebangkitan Tiongkok dan regionalisasi yuan bergerak dalam proses mencari bentuk memadai tatanan dunia yang sama sekali baru. Pertama, tantangan geopolitik sekarang akan berasal dari negara kuat yang melanggar aturan ataupun negara lemah yang tidak bisa menegakkan hukum, terutama hukum internasional.

Kedua, ketika geopolitik kawasan Asia memasuki tahapan konstruksi menyeluruh, kapasitas negara di dalam kawasan harus mampu berpacu dengan tumbuhnya kapasitas disrupsi yang digerakkan secara individual ataupun kelompok. Pertumbuhan eksponensial perdagangan online, sistem digitalisasi masif, dan gagasan digital yang bermunculan (seperti GoJek dan Uber) adalah kemampuan disrupsi yang tidak bisa dikendalikan secara menyeluruh oleh pemerintah.

Ketiga, pada era konstruksi bangunan geopolitik yang tidak hanya berdampak pada mekanisme ekonomi, perdagangan, kebijakan luar negeri, dan militer, banyak institusi baru bermunculan dalam upaya membentuk arah dan langkah rekonstruksi baru yang bisa menghadirkan salah pengertian. Pembentukan Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB), Bank Pembangunan Baru Negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan), serta berbagai forum keamanan dan militer di kawasan, semuanya bergerak membangun norma-norma baru perilaku internasional.

Regionalisasi yuan memerlukan koordinasi dan kerja sama erat antarbank sentral Tiongkok dan ASEAN, terutama dalam konteks mengembangkan kawasan perdagangan bebas ASEAN-Tiongkok (CAFTA). Ini adalah salah satu alasan mengapa perlu adanya KTT darurat ASEAN+3 (Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan) karena krisis keuangan dalam sistem finansial internasional sekarang ini terlalu banyak faktor yang tidak stabil bermunculan dan berdampak ke banyak sektor lain.

Kerja sama moneter yang selama ini dikembangkan ASEAN+3 melalui Chiang Mai Initiative Multilateralism bisa menjadi landasan kuat untuk menjaga ketahanan keuangan dan moneter ini. Pembentukan Asian Bond Markets Initiative, misalnya, bisa dijadikan acuan bersama dalam regionalisasi yuan dan yen sekaligus menjalankan sistem keuangan bersama di kawasan Asia Tenggara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar