Sabtu, 29 Agustus 2015

Tuhan Bersama Traveler

Tuhan Bersama Traveler

I Dewa Gde Satrya  ;   Dosen International Hospitality & Tourism Business
di Universitas Ciputra Surabaya
                                                      JAWA POS, 20 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

“ The world is a book and those who do not travel read only one page.’’             (St. Augustine)

KUTIPAN tersebut melekat di benak traveler, menyeruak ke permukaan menyertai dua kabar duka dari dunia pariwisata: jatuhnya pesawat Trigana Air di Papua dan serangan bom di Kuil Erawan, Bangkok, Thailand. Perjalanan udara ke Papua memang dikenal melalui medan yang menantang, tetapi tak pernah menghilangkan tekad para penyuka perjalanan untuk menggapai daerah di ujung timur Nusantara itu.

Demikian pula Thailand. Destinasi wisata yang eksotis dan khas itu menjadi pilihan jutaan traveler di seluruh dunia. Pada 2013, Thailand menerima kunjungan wisatawan internasional yang terbanyak dari 97 juta wisatawan internasional yang masuk kawasan Asia Tenggara.

Berdasar laporan Asia Pacific Visitor Arrival Forecasts 2014–2018 yang dikeluarkan Pacific Asia Travel Association (PATA), Thailand menerima kunjungan wisatawan internasional hingga 26,5 juta. Lalu, disusul Malaysia di angka 26,3 juta. Urutan ketiga adalah Singapura dengan angka kunjungan 15,6 juta.

Indonesia berada di urutan keempat dengan angka 8,3 juta. Vietnam berada di urutan berikutnya dengan angka kunjungan 7,4 juta. Lalu, Filipina (4,4 juta) dan Kamboja (4,3 juta). Posisi akhir ditempati Laos (3,9 juta) dan Myanmar (800 ribu).

Perjalanan wisata merupakan proses menempa diri menjadi pribadi yang matang, peka terhadap lingkungan, menghargai kemanusiaan, dan di atas segalanya menghargai kehidupan. Dalam keseharian, traveler dengan pengalaman dan rencana perjalanannya seakan mencari kesempurnaan hidup lewat interaksi dengan beragam setting wilayah/ alam, manusia, dan kebudayaan.

Semakin tinggi ’’jam terbang’’ dan rute perjalanan seseorang, kegiatan perjalanan tidak sekadar bersenangsenang ( leisure), tetapi lebih pada pemenuhan jiwa. Tak sedikit ’’ traveler senior’’ yang dikenal sebagai pribadi yang hangat, rendah hati, dan tentu saja menyenangkan.

Secara filosofi, traveler melatih diri menjadi insan-insan humanis yang tampak pada sosok the liberal ironist menurut gagasan filsuf Richard Rorty. The liberal ironist alias manusia ironis liberal digambarkan sebagai manusia liberal yang hanya mengakui satu tuntutan dasar etika: Jangan menyakiti makhluk lain, jangan melukai atau membuat orang lain terhina.

Dan, sebagai manusia ironis, dia sadar bahwa keyakinan-keyakinannya yang paling dalam mungkin tidak dapat dipertahankan lagi. Artinya, fleksibilitas terhadap keselamatan dan independensi orang lain patut dikembangkan dan menjadi kepemilikan bersama.

Kombinasi antara sikap ironis terhadap diri sendiri dan sikap yang menolak untuk –atas dasar prinsip apa pun– melukai orang lain adalah inti segenap moralitas yang humanis (Franz Magnis-Suseno dalam Pijar-Pijar Filsafat, 2005: 39).
Hemat saya, pandangan tersebut merupakan esensi yang implisit dalam setiap diri traveler, implisit dalam setiap kesibukan dan upaya melakukan perjalanan wisata. Sedikit bukti traveler yang ’’haus’’ dengan pemenuhan jiwanya ada dalam sosok Elizabeth Gilbert yang masyhur lewat buku Eat, Pray, Love.

Perjalanan wisata bagi manusia modern menjadi ’’kegiatan spiritual’’ untuk menemukan Sang Keindahan dalam setiap destinasi. Itulah cara yang membuat kehidupan menjadi rukun damai.

Orang tidak bersikukuh dengan kebenaran dirinya dan meremehkan keyakinan kebenaran orang lain. Perjumpaan dengan banyak orang dari berbagai latar belakang menjadikan traveler melihat kehidupan sebagai keindahan. Dalam bingkai yang lebih luas, kesadaran setiap manusia melihat keanekaragaman kehidupan sebagai keindahan adalah dasar terciptanya perdamaian dunia.

Pembelajaran lintas budaya dan religiusitas mengandaikan perjumpaan dan interaksi lintas budaya melalui perjalanan wisata dari satu budaya ke budaya yang lain, dari satu negara ke negara yang lain. Dan, itu terakomodasi lewat traveling.

United Nation World Tourism Organization melalui kampanye ’’Satu Miliar Turis, Satu Miliar Peluang’’ menginterpretasikan kerinduan umat manusia bahwa lalu lintas manusia di muka bumi untuk kepentingan pariwisata merupakan sarana atau katalisator untuk membangun pemahaman, mendorong inklusi sosial, serta meningkatkan kelayakan standar hidup. Hal itu juga dituangkan lewat tema dan fokus perayaan World Tourism Day pada 27 September 2009 yang dipusatkan di Ghana, Afrika Selatan, dengan mengangkat tajuk ’’Tourism-Celebrating Diversity’’.

Budaya Kehidupan

Kiranya motivasi perjalanan wisata dan potret kerinduan dalam benak setiap traveler, khususnya wisatawan yang menjadi korban serangan bom di Kuil Erawan, tak jauh dari hal tersebut. Motif serupa juga terkuak di antara penumpang Malaysia Airlines MH17 yang jatuh oleh roket antipesawat di Ukraina Timur di daerah Torez, dekat Kota Shakhtarsk, Donetsk, pertengahan Juli tahun lalu, maupun WNI yang menjadi korban AirAsia QZ 8501.

Traveler dan kegiatan traveling adalah potret perayaan serta ungkapan syukur atas kehidupan, sebagai antitesis budaya kematian. Wisatawan di Kuil Erawan maupun penumpang MH17 yang tidak bersalah dan tidak punya hubungan dengan sengketa Rusia-Ukraina, yang melakukan perjalanan untuk tujuan liburan, harus menghadapi orang-orang yang menggandrungi budaya kematian. Mereka hanyalah ingin berlibur.

Di antara penumpang AirAsia QZ8501, ada ungkapan syukur atas kehidupan pada tahun yang lama dan menatap tahun yang baru di Singapura. Di antara penumpang MH17, ada ibu dan anak, Gary Slok, 15, dan Petra, yang tampak begitu bahagia saat berfoto di MH17 sebelum lepas landas. Petra telah lama merencanakan momen liburan bersama anaknya, Gary, yang merupakan kiper berbakat di tim sepak bola kecil di Maasluis, Belanda.

Mereka, para traveler, lewat perjalanan wisatanya telah membuka lembar demi lembar buku kehidupan. Lewat traveling pula, kita tahu buku kehidupan ini semakin lama semakin menarik untuk dibaca, dihidupi dan disyukuri. Tentu, syukur kepada Sang Kehidupan atas penyertaanNya kepada kita, para peziarah, para traveler kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar