Minggu, 27 September 2015

Berbagai Perbedaan Dilematis

Berbagai Perbedaan Dilematis

Sawitri Supardi Sadarjoen ;  Penulis Kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 27 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam perjalanan ke kantor, dari radio mobil saya mendengar wawancara seorang pejabat (K, 38 tahun) yang bicara dengan santun, jelas, dan sistematis. Yang bersangkutan memang dikenal sebagai pejabat yang cerdas, pekerja keras dan santun dalam berkomunikasi, serta banyak melontarkan senyum.


Hal yang kemudian terpikir oleh saya adalah sebagai berikut:

Saya berkata pada diri sendiri, pasti beliau seseorang yang sangat diberkati Tuhan dan memiliki berbagai karakter yang berkualitas baik di samping tentu saja ada sisi fungsi pribadi yang buruk. Mengapa? Karena, tidak satu pun manusia di dunia ini yang benar-benar sempurna. Dan tak ada satu pun manusia yang buruk perangainya tidak memiliki sisi baik.

K memang dikenal sebagai sosok yang murah senyum dan ekspresi wajah yang hampir selalu ceria. K agaknya adalah seseorang yang juga mudah mendapat teman serta memperlakukan teman dengan baik dan tulus. Saya membayangkan juga bahwa saat K masih kecil pastilah dia anak yang lucu dan pastinya cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Reaksi sosial dapat K lakukan dengan baik, misalnya saat dikenalkan orangtua pada temannya, pastinya K percaya diri dan tanpa malu-malu menjawab pertanyaan mereka.

Dari wawancara yang dilakukan wartawan radio, K juga mengungkap bahwa K memperlakukan kawan-kawannya dengan cara yang ramah dan banyak senyum, apakah temannya itu orang asing, karena K disekolahkan di sekolah internasional di Jakarta.

Namun, dalam perjalanan pertumbuhan kepribadian dan fisiknya, K selanjutnya bercerita bahwa terjadi satu pengalaman buruk yang tidak diduganya. Setiap orang pasti juga pernah mengalami sesuatu yang tidak bisa dielakkan, tanpa perkecualian.

Kawan-kawan lain ras di sekolahnya pada suatu saat terlibat perkelahian, dan mereka saling mengejek perbedaan warna kulit. Hal ini berpengaruh pada kesatuan penghayatan kebersamaan yang sebenarnya sudah ditanamkan di sekolah internasional tersebut. Walaupun perkelahian tersebut dapat dilerai, kejadian itu melukai perasaan K dan membuat dia menyadari bahwa warna kulitnya berbeda dengan kawan lainnya.

Nah, dari cerita itu saya semakin menyimak bahwa manusia tidak memiliki kecenderungan untuk bisa mengatasi perasaan perbedaan dengan sesama. Walaupun tidak sampai mengakibatkan kebencian yang amat sangat, terkadang kita membesar-besarkan perbedaan yang ada dan bukannya berusaha meminimalkan perbedaan tersebut.

Yang patut kita perhatikan, dalam sejarah bangsa, keluarga, suku bangsa, pasangan perkawinan selalu akan mengalami kesulitan untuk mendiskusikan perbedaan-perbedaan masing-masing, dengan cara yang matang dan penuh pertimbangan.

Membangun kesamaan

Tentu saja, ada sesuatu yang harus kita diskusikan dalam upaya merangkul orang-orang yang memiliki cara pandang yang sama, karena sangat mudah untuk mengungkapkan pendapat pada orang-orang yang setuju dengan cara pandang kita ataupun sebaliknya.

Meski demikian, perbedaan, walaupun hanya sedikit, akan bisa menyebabkan gejolak di antara keduanya. Namun, suka atau tidak suka, perbedaan-perbedaan tersebut tak dapat dielakkan dalam menjalin relasi dengan orang lain. Bahkan, sebenarnya kita harus bersyukur untuk kondisi tersebut. Bayangkan, betapa membosankannya jika kita berada dalam iklim relasi sosial yang terus-menerus sama bukan?

Jadi pada dasarnya perbedaan-perbedaan yang kita hayati tentang orang lain tidak harus membuat kita memendam kebencian ataupun merasa terancam dan khawatir. Perbedaan justru akan memperkaya pengalaman emosional kita serta membuat kita menjadi lebih hidup.

Sesungguhnya, perbedaan merupakan jalan untuk belajar. Seandainya dalam relasi intim kita hanya terdiri atas orang-orang yang identik dengan diri kita, perkembangan personal kita pun akan terhenti selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar