Senin, 28 September 2015

Dijamin Mutu atau Dijamin Lulus?

Dijamin Mutu atau Dijamin Lulus?

Amirullah ;  Dosen Universitas Bhayangkara Surabaya; Mahasiswa S-3 ITS Surabaya
                                                    JAWA POS, 23 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PENYELENGGARAAN perkuliahan secara abnormal kembali mengemuka. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) menggerebek wisuda ilegal yang diikuti 1.235 orang pada Sabtu (19/9) di Universitas Terbuka Convention Center Pondok Labu, Ciputat, Tangerang.
Wisudawan merupakan gabungan dari tiga kampus. Yakni, Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Telematika, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Suluh Bangsa, dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Tangerang Raya. Tiga kampus tersebut berada di bawah naungan Yayasan Aldiana Nusantara. Penyelenggaraan wisuda dianggap tidak sah karena tidak didaftarkan ke Kopertis III (kepanjangan tangan Kemenristek-Dikti) sebagai syarat wajib untuk mendapatkan nomor ijazah bagi calon wisudawan ( Jawa Pos, 20/9/2015).

Sebelumnya, pada akhir Mei 2015, praktik jual beli ijazah ditemukan langsung oleh Menristek Dikti M. Nasir ketika melakukan kunjungan mendadak ke belasan kampus di Jabodetabek. Salah satu modusnya adalah meluluskan mahasiswa yang baru kuliah 16 SKS. Kampus tersebut hanya mensyaratkan mahasiswanya kuliah satu atau dua semester.

Harga ijazah S-1 berkisar Rp 16 juta–Rp 25 juta. Harga ijazah S-2 dua kali lipat. Jauh sebelumnya, permasalahan serupa menimpa seorang penyanyi dangdut atas gelar profesor dari perguruan tinggi kelas jauh berbasis di Amerika Serikat.
Padahal, sudah ada regulasi sanksi pidana bagi penggunaan gelar akademisi yang tidak sesuai. Hal itu diatur dalam pasal 68 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Di dalam ayat 2 dan 4 pasal tersebut disebutkan, ”Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Di dalam ayat 4 pasal 68 disebutkan, ”Setiap orang yang memperoleh dan/ atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.

Secara umum, ada dua kategori penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Kategori pertama adalah penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan jaminan mutu. Mekanisme pendidikan dan gelar akademik yang diraih ditempuh dengan mekanisme yang wajar. Wajar yang dimaksud adalah adanya garansi bahwa pemakai gelar telah menyelesaikan seluruh kewajiban akademik (perkuliahan, tugas, praktikum, praktik, skripsi, tesis, ataupun disertasi) dan ditempuh dalam rentang waktu studi minimal dan maksimal yang dipersyaratkan di perguruan tinggi atau program studi (prodi) terakreditasi.

Kategori kedua adalah penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan jaminan lulus. Kondisi tersebut dipicu oleh antusiasme masyarakat untuk mendapatkan gelar dan kemudian dimanfaatkan segelintir oknum lembaga pendidikan tinggi sebagai peluang untuk menawarkan gelar. Meskipun gelar tersebut diperoleh dengan cara secepat mungkin. Tentunya juga ada beragam janji, fasilitas, dan kemudahan.

Kemudahan dapat berbentuk dispensasi atau pembebasan kewajiban akademik. Misalnya, mahasiswa tidak harus bersusah payah mengikuti perkuliahan, ujian, menyusun dan mempertahankan skripsi, tesis ataupun disertasi, serta adanya jaminan nilai dan indeks prestasi kumulatif (IPK) memuaskan. Kemudahan tersebut diperparah dengan adanya garansi lulus kepada para mahasiswa.

Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) No. 810/ D/T/2003 tanggal 16 April 2003 menyebutkan, setidaknya terdapat 22 lembaga pendidikan ilegal di Indonesia yang umumnya memakai istilah asing dan memberikan gelar. Istilah asing ini, misalnya, lembaga pendidikan berlabel; international university, world university, global university, distance learning institute, American institute, western university, dsb.

Undang-Undang (UU) No 20/2003 tentang Sisdiknas menggariskan bahwa penggunaan gelar tertentu hanya pantas digunakan dalam tataran akademik. Jadi, paradigma bahwa gelar akademik dapat melambungkan status sosial seseorang harus diubah. Contohnya, gelar doktor (S-3) atau profesor (guru besar) hanya relevan jika para penyandangnya mengajar di kampus.

Berkaca pada perundangan di atas, sudah sepatutnya para elite birokrat, politisi, anggota DPR/DPRD, calon kepala daerah, artis, dan para pemakai gelar lainnya tidak menggunakan atribut akademik yang tidak relevan dengan kompetensi, jabatan dan kedudukannya. Seandainya cara ini diikuti, niscaya masyarakat tidak perlu tergila-gila mengejar titel akademik.

Kopertis sebagai penghubung PTS dengan Dikti juga bertanggung jawab melakukan pembinaan dan pengawasan total terhadap PTS karena mayoritas pelanggaran atau penyimpangan pemberian gelar terjadi di PTS. Pejabat kopertis sebaiknya tidak menghadiri undangan wisuda oleh PTS yang diindikasikan menyelenggarakan pendidikan tinggi melanggar etika akademik. 
Kehadiran pejabat negara pada seremonial ini dikhawatirkan menjadi justifikasi pembenar bahwa kopertis mengakui semua proses penyelenggaraan pendidikan sekaligus ijazah yang diterbitkan PTS tersebut. Jika semua upaya simultan itu sudah dilakukan, masyarakat tinggal memilih mau kuliah di PT yang dijamin mutu atau dijamin lulus?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar