Minggu, 27 September 2015

Dua Telinga, Satu Mulut

Dua Telinga, Satu Mulut

M Subhan SD ;  Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 26 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Jalan pemimpin itu bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah menderita.
(Kasman Singodimedjo, 1925)

Menjadi rakyat memang tidak enak: selalu dipersalahkan, dianggap bodoh, dan tidak tahu apa-apa. Dalam sejarah, rakyat selalu ditindas oleh rezim apa pun juga. Mobutu Sese Seko, diktator Kongo, Afrika, yang berkuasa 1965-1997, misalnya, memperlakukan rakyatnya sangat keji. Bukan saja terhadap lawan-lawan politiknya, rakyat tanpa daya, seperti gelandangan atau pengemis, di Kinshasa pun ditangkapi dan dibuang hidup-hidup ke sungai.

Barangkali menjadi wakil rakyat akan lebih enak: hidup nyaman dengan segala fasilitas, merasa paling benar dan paling tahu, bebas berkoar-koar seenaknya, bisa jalan-jalan ke luar negeri bersama keluarga, hingga ber-selfie ria bersama tokoh asing. Buktinya, wakil rakyat tenang saja mengajukan megaproyek gedung baru yang anggarannya bisa mencapai Rp 2,7 triliun. Padahal, usulan itu adalah proyek basi dan selalu ditolak rakyat setiap kali diajukan. Lalu, muncul lagi rencana kenaikan tunjangan. Padahal, tunjangan wakil rakyat sudah berderet-deret. Saat ekonomi sedang ngos-ngosan, kok, tega-teganya minta kenaikan tunjangan?

Padahal, sebelumnya sudah gaduh ketika ada wakil rakyat menyelipkan agenda bertemu Donald Trump, salah satu bakal calon presiden Amerika Serikat, seusai menghadiri pertemuan antarparlemen di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New Yok, Amerika Serikat. Dalam keadaban berpolitik, pertemuan dengan satu bakal calon presiden itu sungguh tidak elok. Jika ingin bertemu, semestinya semua kandidat ditemui. Bagaimanapun, para wakil rakyat itu pergi ke New York atas nama negara dan bangsa. Sayangnya, kita hidup dalam panggung politik yang tidak punya keadaban.

Pertemuan itu pun dapat dimaknai intensi atau sinyal keberpihakan orang Indonesia kepada Trump. Apalagi, ketika Trump bertanya apakah rakyat Indonesia suka kepada dirinya, lalu dijawab "iya", tentu jawaban basa-basi itu berimplikasi luas. Di negaranya, Trump kerap kontroversial, bahkan dianggap berbahaya, antara lain terkait dengan sikapnya yang rasis. Misalnya, The Economist (5/9) menurunkan "Why the Donald is dangerous" atau di The Atlantic (27/8) Michael Signer menulis, "Trump and the Dangers of Passionate Politics". Jurnalis Univision, Jorge Ramos, berdebat sengit dengan Trump soal imigran, sampai dikeluarkan dari jumpa pers. Ramos lalu bilang, "Donald Trump berbahaya".

Meskipun demikian, apabila wakil rakyat berselfie ria dengan Trump atau pendukungnya, tentu boleh-boleh saja. Akan tetapi, jagalah martabat wakil rakyat yang datang ke AS atas nama bangsa dan negara, bukan seperti fans yang gembira bertemu idola. Wakil rakyat republik ini tidak boleh bermental inferior. Sepertinya, revolusi mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo harus dimulai dari bagian kepala (petinggi negara) sebelum sampai ke bagian ekor (rakyat jelata).

Lalu, jangan pula karena merasa telah bekerja dan berkorban untuk bangsa dan negara, lantas bisa mengajak keluarga dalam acara resmi kenegaraan. Menarik menyimak ucapan pemimpin rakyat Myanmar, yang juga pejuang demokrasi dan hak asasi manusia, Aung San Suu Kyi, "Jika Anda memilih untuk melakukan sesuatu, Anda tidak harus mengatakan itu sebuah pengorbanan karena tidak ada yang memaksa Anda untuk melakukannya. Itu bukan pengorbanan, itu pilihan."

Belum selesai isu itu, tahu-tahu sejumlah unsur pimpinan DPR sudah pergi berhaji ke Haramain. Kabarnya, mereka diundang Raja Salman bin Abdul Aziz, penguasa Arab Saudi. Tentu sah-sah saja dan lumrah pula Raja Arab Saudi mengundang pemimpin republik ini, termasuk pemimpin Parlemen. Kalau rakyat biasa, mungkinkah mereka mendapat undangan berhaji? Terkadang ingin sekali mendengar mereka menjawab, "Biarlah undangan Paduka Raja akan kami berikan kepada rakyat kami karena mereka terlalu lama antre untuk berhaji".

Seorang pemimpin adalah mereka yang mendahulukan urusan rakyatnya. Tahun 1925, salah satu pendiri bangsa, yang kemudian menjadi Ketua DPR pertama (dulu bernama KNIP), Kasman Singodimedjo (1904-1982), saat melukiskan sosok H Agus Salim, "Jalan pemimpin itu bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah menderita (een leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden)". Khalifah Umar bin Khattab (memerintah 634-644) bahkan memanggul sendiri karung gandum setelah tahu ada rakyat yang kelaparan.

Jadi, seandainya menjadi wakil rakyat, saya akan lebih mengasah kepekaan, rasa malu, dan makin tahu diri di tengah zaman penuh hipokrit ini. Secara teoretik, wakil rakyat harus mengurus semua rakyat, bukan cuma yang memilihnya (di dapil masing-masing) saat pemilu. Wakil rakyat juga agen perantara (the people's agents) sehingga harus mengikuti kehendak pemilihnya, bukan mempunyai kehendak sendiri.

Itulah sebabnya, mengapa kita memiliki dua telinga dan satu mulut. Dengan begitu, kata filsuf Epictetus (55-135), kita dapat mendengarkan dua kali lebih banyak daripada kita berbicara. Kecuali jika wakil rakyat sudah lupa diri. Tetapi, saya menyadari, menjadi rakyat justru merasa lebih terhormat, tidak inferior, dan bisa berdiri tegak sejajar bangsa asing, seperti diajarkan Bung Karno dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar