Selasa, 29 September 2015

Hukum Bukan Sekadar Ilmu, tapi Juga Gerakan

Hukum Bukan Sekadar Ilmu, tapi Juga Gerakan

Moh. Mahfud MD ;  Guru Besar Fakultas Hukum UII Jogjakarta;
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
                                                    JAWA POS, 26 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

RABU tengah hari, tiga hari yang lalu (23/9), saya baru mendarat di Kuala Lumpur, Malaysia. Saya berada di sana untuk memenuhi janji menyampaikan khotbah Idul Adha di KBRI keesokan harinya. Di sana saya sekaligus berbicara tentang ”Islam dan Kebangsaan” dengan warga NU dan komunitas Gusdurian yang menggelar acara diskusi di Universitas Islam Antarbangsa Malaysia.
Saat makan siang, Duta Besar Indonesia di Kuala Lumpur Herman Prayitno menyampaikan berita duka itu. ”Adnan Buyung Nasution wafat, Pak,” katanya. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

Sehebat apa pun manusia, setinggi apa pun kedudukannya, sebanyak apa pun kekayaannya, akhirnya akan kembali kepada-Nya. Adnan Buyung Nasution atau akrab disapa Bang Buyung sudah kembali kepada-Nya. Bang Buyung kini tinggal menjadi kenangan indah bagi dunia penegakan hukum di negeri ini.

Saya mengenal nama Bang Buyung sejak masih menjadi mahasiswa tingkat sarjana muda (tingkat III) pada awal 1980-an. Namanya begitu moncer di seantero Indonesia sebagai advokat dan perannya sebagai pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang penuh idealisme itu.

Bang Buyung menyadarkan kita bahwa Indonesia ini membutuhkan banyak advokat atau pengacara yang berintegritas dan profesional. Sebab, banyak orang miskin yang diperlakukan sewenang-wenang dan disiksa tanpa mendapat pembelaan hukum.

Bang Buyung mengajarkan, hukum bukan sekadar pasal-pasal dan cara menafsirkannya agar sinkron secara horizontal dan vertikal. Di balik halhal yang teknis-prosedural seperti itu, ada yang lebih penting: keadilan sebagai sukma hukum. Hukum tidak bertumpu pada otak atau logika semata, tapi juga pada bisikan hati nurani agar hukum bisa ditegakkan sesuai dengan sukmanya, yaitu keadilan.

Tanpa menjadi dosen resmi, saat itu Bang Buyung telah mengajari para pelajar bidang hukum bahwa hukum itu bukan sekadar ilmu, tapi juga gerakan. Gerakan membela kaum yang lemah. Gerakan menegakkan keadilan.

Melalui berbagai kegiatannya, Bang Buyung telah melahirkan banyak pejuang penegak hukum, bukan hanya para pembelajar hukum sebagai ilmu. Dia berkeliling ke berbagai tempat untuk mengampanyekan gerakannya dalam penegakan hukum dan keadilan. Dari binaannyalah lahir tokoh-tokoh pejuang hukum di berbagai tempat.

Di Jakarta, misalnya, ada nama Todung Mulya Lubis dan Abdul Rahman Saleh. Di Jogjakarta ada nama Artidjo Alkostar, Dahlan Thaib, Kamal Firdauz, dan Henry Yosodiningrat. Di Jawa Timur ada nama Zaidun, Munir, dan lain-lain. Otto Hasibuan dan Bambang Widjojanto juga jebolan LBH hasil besutan Bang Buyung.

Bang Buyung juga mampu memancing orang dari luar fakultas hukum untuk menjadi pejuang-pejuang hukum. Sebutlah Mulyana W. Kusumah yang orang FISIP UI, Hendardi yang lulusan ITB, atau Teten Masduki yang lulusan IKIP. Pasca peluncuran LBH pada 1979/1980 oleh Bang Buyung, dunia penegakan hukum di Indonesia menjadi meriah.

Di kampus-kampus banyak mahasiswa yang mengidolakan dan ingin menjadi advokat seperti Bang Buyung. Kalau Bang Buyung hadir dalam sidang atau berdiskusi di kampus, banyak mahasiswa yang histeris mengelu-elukannya. Seruannya selalu konsisten, ”Kalian harus berjuang menegakkan hukum dan keadilan. Negara kita ini negara hukum.”

Pada awal 1980-an saya termasuk salah seorang yang sering mengejar acara-acara Bang Buyung. Penampilannya selalu memukau. Logikanya bagus. Sikapnya tegas, bahkan terkesan garang.

Seusai kuliah, saya sering diundang dalam acara-acara penting Bang Buyung, baik acara temu ilmiah maupun acara keluarga. Saya juga selalu diundang pada hari ulang tahunnya. Bahkan diundang untuk berbicara atau memberikan sambutan dalam acaraacara penting yang diadakannya. Karena rasa hormat saya pula, saya menyempatkan diri hadir saat Bang Buyung dikukuhkan sebagai guru besar pada Melbourne Law School, The University of Melbourne, Australia.

Meski begitu, saya juga sering mengkritik Bang Buyung, baik langsung maupun melalui SMS. Bahkan juga menulis di koran. Saat dia membela terdakwa korupsi, saya kritik dia dengan mengingatkan bahwa dia mengajari kita untuk menegakkan keadilan. Dia menjawab, ”Saya tak pernah membela kejahatan atau korupsinya. Saya membela hakhaknya agar tidak diperlakukan sewenang-wenang.”

Dulu Bang Buyung memanggil saya dengan nama saya saja, Mahfud. Tapi, sesudah saya menjadi menteri, sejak 2000-an dia memanggil saya ”adik” atau ”dinda”. Meski begitu, dia selalu korek dan bersikap sebagai profesional sejati. Ketika menangani perkara di Mahkamah Konstitusi dan saya yang memimpin sidang, Bang Buyung tetap berlaku hormat terhadap pengadilan.

Setiap diberi kesempatan berbicara, Bang Buyung selalu berdiri dengan penuh hormat, memulai pembicaraan dengan membungkuk hormat, dan mengakhirinya dengan membungkuk pula. Saya yang kalau bertemu dengannya di luar sidang biasanya dipanggil ”Mahfud” atau ”adik” saja, di dalam sidang Bang Buyung memanggil saya ”yang mulia” dengan serius, tanpa dibuat-buat.

Sebenarnya, sebelum terbang ke Malaysia, saya sudah berjanji dengan Todung Mulya Lubis untuk bertemu dengan Bang Buyung. Bang Buyung sudah mengiyakan. Tapi, Allah telah memanggilnya sebelum pertemuan itu berlangsung. Selamat jalan, Bang Buyung. Sejarah dunia penegakan hukum akan mencatat nama Abang dengan tinta emasnya. Beristirahatlah di sana dengan tenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar