Minggu, 27 September 2015

Kembali ke Politik

Kembali ke Politik

M Alfan Alfian  ;  Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
                                                     KOMPAS, 23 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Belakangan ini, media massa ramai oleh berita membajirnya pengungsi dari Suriah dan negara-negara yang dilanda krisis politik ke negara-negara Eropa.
Mereka bergerak melalui laut dan darat. Yang meninggal dalam perjalanan cukup banyak, termasuk Aylan Kurdi, anak kecil yang tergeletak di pinggir pantai setelah tenggelam di Laut Mediterania. Mata dunia terbelalak dengan krisis kemanusiaan itu.

Negara-negara Eropa terbelah sikap, ada yang menerima secara terbuka ada yang tidak. Eropa menjadi pilihan karena mereka lebih terbuka ketimbang negara-negara kaya di Timur Tengah. Tentu ada faktor lain yang dapat menjelaskan fenomena ini. Negara-negara kaya Timur Tengah lebih memilih jalan yang pragmatis dengan tidak mau kerepotan menampung pengungsi. Ini menggambarkan wajah paradoks Timur Tengah.

Krisis politik telah memicu krisis kemanusiaan yang lebih luas. Dalam hal ini, tampaknya tidak ada jalan keluar kecuali dengan rumus kembali ke politik. Tidak ada negara tanpa politik. Politiklah yang menggerakkan negara. Ketika para pemimpin politik gagal mencapai konsensus dan jalan kekerasan yang mengemuka berlarut-larut, harus ada jalan politik untuk mengakhirinya.

Dalam hal ini, David Runciman dalam bukunya berjudul Politics (2014) memberi ulasan menarik. Profesor Ilmu Politik Cambridge University tersebut mengulas kekontrasan kondisi dua negara: Denmark dan Suriah. Apabila Anda hidup di Suriah sekarang, kondisinya masih sangat runyam dan Anda terjebak pada kondisi yang seperti neraka: hidup penuh dengan ketakutan, kecemasan, kekerasan, ketidakpastian, kelaparan, dan keputusasaan. Perang saudara telah meluluhlantakkan Suriah. Puluhan hingga ratusan ribu orang tewas dalam tragedi kemanusiaan yang memilukan di abad ke-21 ini. Banyak yang mengungsi ke berbagai negara.

Sebaliknya, Anda merupakan orang yang beruntung manakala hidup di Denmark. Negara ini dilukiskan Runciman sebagai versi lain dari ”surga”; hidup nyaman, sejahtera, damai, tertib, dan beradab. Yang membedakan Suriah dan Denmark bukan kenyamanannya, bukan pula sumber daya alam dan kekayaan khazanah sejarahnya. Perbedaan Denmark dan Suriah ialah politiknya. Politik telah menolong Denmark seperti keadaannya sekarang. Politik pulalah yang menjadikan Suriah seperti sekarang.

Politik sebagai kunci

Bagaimana penjelasannya? Mengapa politik menentukan? Runciman menjelaskan bahwa politiklah yang bertanggung jawab apakah suatu negara menjadi negara nyaman dan damai atau sebaliknya, berantakan dan penuh konflik. Tentu maksudnya ialah bagaimana inisiatif para politisi yang berada di balik kebijakan-kebijakan politik. Apakah mereka mampu menjadi pemimpin politik yang berkualitas dalam menghadirkan kebijakan-kebijakan publik yang bagus atau sebaliknya, manipulatif.

Merekalah, para pemimpin politik, yang membuat Denmark dan Suriah menjadi yang sekarang. Ada beberapa catatan yang perlu kita camkan. Pertama, soal kekerasan; bahwa kontrol kekerasan ialah jantung dari politik. Politik ialah ikhtiar mencapai tujuan-tujuan baik, tanpa kekerasan. Dalam politik ada argumen, dialog, persetujuan, penolakan, titik temu atau konsensus dan sebagainya. Politik ialah jalan damai, perang ialah jalan kekerasan. Yang terakhir ini terjadi manakala politik gagal. Hakikat politik ialah mengendalikan kekerasan dan negara merupakan kekuatan absah untuk itu. Dalam hal ini, khazanah politik Barat memperkenalkan pandangan Hobbes bahwa negara itu seperti Leviathan, yang suka menindas rakyatnya.

Namun, catat Runciman, ”politik (dunia) kita dewasa ini sudah jauh darigambaran Hobbes”, tetapi di sisi lain, ”dunia Hobbes itu masih ada”. Runciman mengingatkan soal adanya politisi bertangan kotor (dirty hands). Merekalah yang suka memakai kekerasan sebagai jalan pintas. Cara-cara kotor tentu saja menodai politik.

Kedua, soal perkembangan teknologi. Ini menyangkut bagaimana perkembangan teknologi memengaruhi perilaku politik di satu sisi dan bagaimana para politisi memanfaatkannya. Ketiga, soal keadilan. Bagaimana konstitusi menjamin keadilan bisa ditegakkan oleh semua. Pun bagaimana demokrasi mampu diaktualisasikan oleh para politisi sedemikian rupa.

Jadi, sebenarnya yang diuraikan Runciman jelas. Politik itu kebijakan, seperangkat aturan. Ia melibatkan orang-orang dan lembaga-lembaga. Pada praktiknya, politik membentuk budaya politik para pelakunya, ada kesadaran dan kedisiplinan bersama. Dalam konteks inilah kebijakan politik akan menggerakkan yang lain pula, yakni kepastian hukum dan ekonomi yang berkembang. Ujungnya ialah kesejahteraan bagi rakyat secara luas. Inilah politik sebagai berkah.

Politik pun bisa menjadi musibah. Maka, rentetannya sebaliknya, yakni para politisi gagal mengendalikan kekerasan, gagal membuat kebijakan yang baik dan benar, dan gagal menciptakan stabilitas, yang ujung-ujungnya ialah kekacauan.

Politik dan kemanusiaan

Politik yang baik tentu memberi ruang yang lapang bagi kemanusiaan sebab memang demikianlah tarikan dasarnya. Politik dan kebijakannya lahir dari filosofi dan basis nilai kemanusiaan. Dalam hal ini, pentinglah kiranya membuang jauh egoisme politik atau politik anti kemanusiaan. Berbagai peristiwa besar dunia, setidaknya menandai dua perang besar pada abad yang lalu, yakni Perang Dunia I dan II, telah secara jelas meninggalkan pesan-pesan kemanusiaan universal itu.

Sayangnya, pada praktiknya, politik lebih sering tidak berpihak kepada kemanusiaan. Konon, Mahatma Gandhi mengatakan, dan ini diamini juga oleh Bung Karno, ”My nationalism is humanity”, bahwa batas-batas nasionalitas kita adalah tak terbatas bagi kemanusiaan. Nasionalisme sebagai produk politik sudah jelas terkandung di dalamnya pula kemanusiaan. Ini terkait dengan konteks solidaritas kemanusiaan global yang sudah seharusnya menjadi tanggung jawab bersama. Kembali ke politik berarti kembali ke dasar kemanusiaan kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar