Sabtu, 19 September 2015

Ketidakpekaan Elite DPR

Ketidakpekaan Elite DPR

Fransisca Ayu Kumalasari  ;  Alumnus Fakultas Hukum UGM
                                               KORAN TEMPO, 18 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam Konferensi Ketua Parlemen Dunia IV yang digelar di New York pada 31 Agustus-2 September 2015, yang kebetulan dihadiri Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai panelis, pemimpin parlemen Kenya, J. Muturi, mengatakan banyaknya penyelewengan yang dilakukan sejumlah legislator, seperti korupsi, telah membuat masyarakat makin antipati terhadap parlemen.

Kritik Muturi tampaknya hanya hiasan kata-kata yang membentur dinding. Buktinya, di tengah agenda kenegaraan tersebut, Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon tiba-tiba ikut menghadiri kampanye kandidat Presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump. Kehadiran Novanto dan Fadli itu oleh banyak kalangan dianggap melanggar etika. Sejumlah anggota DPR membawa kasus itu ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) karena keduanya dianggap telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 292 Tata Tertib DPR tentang Kode Etik, yang menyebutkan setiap anggota DPR harus menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR. Bukan hanya itu, kedua pemimpin DPR itu diduga telah melanggar Pasal 1 sampai 6 tentang Kode Etik yang memerintahkan anggota DPR mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi.

Kenapa melanggar etika? Selain karena pertemuan tersebut bagi publik di luar agenda lawatan DPR, Novanto dan Fadli bertemu dengan calon Presiden Amerika Serikat yang tengah menggalang simpati dan dukungan publik. Dalam video yang bisa kita saksikan di YouTube, pada waktu itu Trump sebenarnya sudah menyelesaikan sesi jumpa persnya yang antara lain membahas bagaimana daya tahan ekonomi AS menghadapi pengaruh ekonomi dari Cina dan bagaimana Amerika Serikat tidak akan terpengaruh.

Setelah turun dari podium, Trump berjalan ke arah kiri, menemui sekumpulan pendukungnya sambil melambaikan tangan. Lalu ia mendekat ke beberapa orang dan disodori selembar kertas. Ia pun kembali lagi ke podium, dan kali ini bersama Novanto. Novanto tampak tersenyum kecil. Dalam momentum itulah Trump memperkenalkan Novanto sembari menepuk pundak Ketua DPR itu: "Hey ladies and gentlemen, this is a very amazing man. He is as you know…the speaker of the House of Indonesia. He's here to see me, Setya Novanto." Trump memuji Novanto sebagai "one of the most powerful men and a great man... and his whole group is here to see me today". Trump lalu menoleh ke Novanto. "And we will do great things for the United States, is that correct?" Kepala Trump mengangguk seolah-olah meminta persetujuan. Novanto tersenyum dan menatap Trump sambil menjawab, "Yes." Persis  di belakang mereka, ada Fadli Zon yang ikut tersenyum.

Dalam pertemuan yang disiarkan langsung oleh televisi Amerika Serikat itu, Trump mengucapkan: "Novanto one of the most powerful men and a great man... and his whole group is here to see me today. And we will do great things for the United States." Ada dua poin yang patut digarisbawahi. Pertama, Novanto dianggap sebagai orang berpengaruh dan masyarakat Indonesia, menurut Novanto, mencintai Trump.

Ini secara tak langsung menunjukkan bahwa Novanto memakai kehadiran dan posisinya sebagai Ketua DPR untuk mendukung sikap dan kebijakan Trump. Padahal opini Trump kerap kontroversial dan bertentangan dengan prinsip dan nilai-nilai kebangsaan kita. Ia pernah menyebut kaum imigran di Meksio sebagai kaum pemberontak dan pemerkosa. Trump juga adalah raja kasino dan pencetus penyelenggaraan kontes Miss Universe-acara yang diprotes kaum agamawan di Indonesia.

Kedua, kalimat "we will do great things for the United States", yang terjemahannya "kami akan melakukan banyak hal hebat untuk Amerika Serikat", membikin kita bertanya. Masak, seorang Novanto disuruh berkomitmen bagi kejayaan AS, atau bahkan untuk seorang Trump? Kepentingan Indonesia di mana posisinya? Meski sebatas kampanye, artikulasi tersebut bisa saja memantik kecurigaan: jangan-jangan ada agenda lain di balik pertemuan tersebut. Apalagi Trump dalam waktu dekat akan berinvestasi di Bali dan Bogor. Ditambah pula bahwa, konon, pertemuan Novanto dan Trump difasilitasi oleh pengusaha Hary Tanoesoedibjo,  yang tentu mempunyai kepentingan bisnis. Jika ini benar, tuntutan agar MKD segera memeriksa Novanto dan Fadli menjadi relevan untuk mencari tahu apa motif pertemuan tersebut. Juga meminta pertanggungjawaban Rp 4,6 miliar dana kunjungan yang sangat tidak masuk akal dan penuh pemborosan itu.

Selama ini, DPR selalu disebut-sebut sebagai lembaga yang dipersepsikan terkorup oleh masyarakat-bersama partai politik, lembaga peradilan, dan kepolisian. Ini bukan tanpa alasan. Bayangkan saja, belum satu tahun DPR 2014-2019 bekerja, sudah ada satu anggotanya yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi.

Selain itu, DPR tetap mempertontonkan ketidakpekaan nuraninya dengan mengajukan anggaran pembangunan Kompleks Parlemen yang menelan biaya sekitar Rp 1,6 triliun. Pada saat yang sama, Dewan Perwakilan Daerah ingin melanjutkan rencana membangun kantor perwakilan di daerah yang tentu saja makan dana tak sedikit.

Padahal masyakat saat ini sedang bersedu-sedan, terutama karena efek perlambatan ekonomi. Gelombang pemutusan hubungan kerja serta kenaikan harga bahan pokok pun mulai merebak di mana-mana. DPR mestinya lebih menyuarakan pergumulan rakyat ketimbang menghitung-hitung kepentingannya sendiri. Inilah gejala demokrasi yang ke-PD-an, saat para politikusnya berlomba-lomba berbuat sesuatu karena merasa memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja, termasuk mengajukan anggaran irasional, studi banding ke mana dan tentang apa saja, bebas bertemu dan "berdiplomasi" dengan siapa dan tentang apa saja, tanpa peduli muruah bangsa.

Padahal, menurut Nurcholis Madjid, salah satu tatanan yang berguna untuk memperkuat bangunan demokrasi ialah kebebasan nurani, juga persamaan hak dan kewajiban bagi semua orang (egalitarianisme). Nurani harus menjadi patokan mutlak dalam bersikap agar nilai egalitarianisme dapat diwujudkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar