Rabu, 23 September 2015

Legalisasi Stigma

Legalisasi Stigma

Bahrul Fuad  ;  Research Associate Pusat Kajian Disabilitas Universitas Indonesia
                                                     KOMPAS, 22 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Perjuangan kesetaraan dan penghapusan stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas telah berlangsung sejak sebelum masa reformasi.
Aktivis gerakan disabilitas di Indonesia tak pernah berhenti melakukan advokasi agar pemerintah meratifikasi United Nations Convention on the Rights of Persons with Disabilities (UNCRPD). Hasilnya, pada 10 November 2011, Pemerintah Indonesia menerbitkan UU No 19/2011 tentang Pengesahan UNCRPD.

Selanjutnya, berdasarkan UU tersebut, para penyandang disabilitas memandang perlu dilakukan amandemen terhadap UU No 4/1997 tentang Penyandang Cacat. UU ini dipandang sangat kental dengan nuansa karitatif yang memosisikan penyandang disabilitas sekadar obyek kebijakan. Pemerintah mengakomodasi hal tersebut dengan menyelenggarakan berbagai seminar dan lokakarya dalam rangka menyusun draf rancangan perubahan UU Penyandang Disabilitas (RUU Disabilitas).

Pasal bumerang

Semangat RUU Disabilitas, yang terdiri dari 14 bab dan 259 pasal, adalah meningkatkan harkat dan martabat para penyandang disabilitas sebagaimana tertuang dalam prinsip umum UNCRPD. Salah satu prinsip menyatakan, negara berkewajiban memberikan penghormatan pada martabat yang melekat, otonomi individu, termasuk kebebasan menentukan pilihan dan kemerdekaan perseorangan.

Namun, nyatanya dalam RUU Disabilitas yang sekarang berada di meja Badan Legislasi DPR RI masih terdapat beberapa pasal ”bumerang”, yang apabila dicantumkan dapat memperteguh stigma negatif terhadap penyandang disabilitas.

Misalnya Pasal 158 tentang Konsesi yang menyebutkan kewajiban pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memberikan konsesi (potongan harga) yang besarnya 25 persen hingga 50 persen, mulai dari tagihan listrik hingga pembelian rumah. Pasal konsesi tentu bertentangan dengan spirit kesetaraan yang diperjuangkan penyandang disabilitas. Jika yang dimaksud konsesi adalah kemudahan bagi penyandang disabilitas, hal itu harus diberikan dalam kerangka reasonable accommodation (kebutuhan yang beralasan terkait dengan disabilitas).

Pada bagian lain RUU Disabilitas ini juga diatur tentang kartu penyandang disabilitas (KPD). Ketentuan itu diatur dalam Pasal 167-170 yang menyebutkan bahwa penyandang disabilitas akan mendapatkan KPD. Hal yang perlu dicermati pada pasal tersebut adalah dampak sosial atas kepemilikan KPD. Sejak lama penyandang disabilitas telah distigmakan dengan ciri fisik yang dimilikinya, dan ini yang dilawan oleh aktivis gerakan disabilitas. Pemberian KPD berpotensi memunculkan labelisasi (stigma) baru terhadap penyandang disabilitas.

Terlebih lagi pada Pasal 169 (4) disebutkan bahwa penyelenggara layanan kesehatan milik pemerintah wajib melayani permintaan penilaian dan pengisian formulir keterangan disabilitas tanpa dipungut biaya. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan definisi dalam UNCRPD bahwa disabilitas merupakan hasil dari interaksi antara orang dengan keterbatasan kemampuan dan sikap serta lingkungan yang menghambat partisipasi penuh mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya. Dengan kata lain, jika RUU Disabilitas ini disahkan tanpa menghapus kedua ketentuan di atas, sama artinya dengan melakukan legalisasi stigma terhadap penyandang disabilitas.

Selain itu, Pasal 191 RUU Disabilitas menyatakan bahwa dalam rangka memastikan dan memantau pelaksanaan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan hak penyandang disabilitas, dibentuk Komisi Nasional Disabilitas Indonesia (KNDI) yang bersifat independen. Pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden No 176/2014 pernah membubarkan 10 lembaga nonstruktural. Salah satunya adalah Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, yang anggotanya terdiri dari berbagai unsur pemerintah dan masyarakat.

Bagi saya, pembentukan KNDI justru memperlambat proses pengarusutamaan isu disabilitas dalam semua kebijakan. Hal itu juga tidak sejalan dengan semangat inklusivitas yang selama ini disuarakan oleh para aktivis gerakan disabilitas.

Kita sudah memiliki banyak organisasi disabilitas dari berbagai jenis atau tipe disabilitas, baik yang berkedudukan di pusat maupun di daerah; mulai provinsi hingga kabupaten kota. Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia sebagai organisasi payung disabilitas telah berdiri selama puluhan tahun. Semestinya yang sekarang didorong adalah mengoptimalkan peran dan fungsi organisasi payung itu.

Maksud dan tujuan KNDI akan lebih efektif jika diakomodasi ke dalam komisi nasional (komnas) yang sekarang ini telah eksis, seperti Komnas Hak Asasi Manusia, Komnas Perempuan, dan Komnas Perlindungan Anak. Dengan demikian, setiap komisi nasional tersebut akan menjadi lebih peka dan berperspektif disabilitas.

Dengan begitu, isu disabilitas tidak lagi dipandang sebagai persoalan yang eksklusif milik penyandang disabilitas, tetapi lebih menjadi persoalan lintas sektor dan lintas bidang.

Fokus pada substansi

Sudah semestinya kita tidak terjebak pada simbol-simbol dalam memperjuangkan kesetaraan hak penyandang disabilitas. Persoalan utama yang dihadapi penyandang disabilitas adalah hambatan sosial dari masyarakat dalam bentuk stigma dan perilaku diskriminatif yang telah mengakar kuat dalam jalan pikir masyarakat kita. Penghapusan stigma dan diskriminasi merupakan substansi dari perjuangan gerakan disabilitas.

Oleh karena itu, cara yang harus dilakukan adalah mendorong perubahan cara pandang masyarakat terhadap disabilitas. UU Disabilitas bukanlah tujuan akhir dari perjuangan penyandang disabilitas, melainkan hanya salah satu instrumen dari perjuangan itu sendiri. Tujuan utama adalah mewujudkan masyarakat inklusi tanpa stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar