Senin, 21 September 2015

Legislasi Perang, Negara Normal

Legislasi Perang, Negara Normal

René L Pattiradjawane  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 21 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Secara gemilang, PM Jepang Shinzo Abe melakukan "kudeta parlemen", memberikan peluang bagi pemerintahannya memperluas peran militer negara yang menganut asas pasifisme selama 70 tahun sejak berakhirnya Perang Dunia II. Pengesahan legislasi akhir pekan yang memicu unjuk rasa besar di Tokyo akhir pekan lalu menarik perhatian banyak pihak yang khawatir sebagai pertanda dimulainya kembali militerisme Jepang.

Kemenangan PM Abe jelas "kudeta politik" yang dilakukan koalisi kubu mayoritas parlemen Jepang menghadapi oposisi kelompok kiri pro perdamaian yang menentang tidak hanya keterlibatan Jepang dalam konflik bersenjata pada masa mendatang, tetapi juga tunduk pada tuntutan Amerika Serikat agar Jepang meningkatkan peran militernya membantu konflik yang dipimpin AS.

Legislasi yang memutuskan Pasukan Bela Diri (SDF) Jepang untuk terlibat konflik bersenjata walaupun tidak diserang merupakan cita-cita politik lama PM Abe dan menjadi sangat agresif pada masa kedua jabatannya sebagai perdana menteri setelah pemilihan tahun 2012. Abe sebelumnya menjabat setahun sebagai perdana menteri (2006-2007) sebelum digantikan Junichiro Koizumi.

Semangat militerisme PM Abe sudah lama terpendam, setidaknya tercatat ketika ia menulis buku Kono kuni o mamoru ketsui (Tekad untuk Melindungi Negara Ini, 2004). Dalam buku yang ditulis bersama Hisahiko Okazaki (1930-2014), mantan Dubes Jepang di Thailand dan penasihat keamanan utama Abe, ia menulis, "Kalau Jepang tidak menumpahkan darahnya (chi o nagashi), kita tidak akan memiliki hubungan yang sejajar dengan Amerika."

Keputusan parlemen Jepang atas legislasi militerisme Jepang ini disambut baik Washington DC, AS, tetapi ditentang Beijing dan Seoul yang khawatir dengan peran militer Jepang pada masa datang. Baik RRT maupun Korea Selatan adalah negara yang paling menderita ketika petualangan militerisme Jepang menjelang pecahnya Perang Dunia II.

Legislasi perang

Mengesahkan "legislasi perang" yang memungkinkan Pemerintah Jepang berkuasa mengirim SDF dalam konflik mana pun di dunia tanpa persetujuan parlemen jelas melanggar Konstitusi Jepang, khususnya pasal 9.

Melalui "legislasi perang" ini, aliansi Jepang-AS akan semakin erat, termasuk pengurangan beban anggaran keamanan yang selama ini harus disediakan Washington DC. Di sisi lain, "legislasi perang" ini merupakan bagian dari antisipasi Jepang menghadapi kebangkitan RRT yang semakin kuat secara militer, khususnya dalam pengembangan angkatan lautnya.

Pada saat bersamaan, kita melihat Jepang adalah bangsa paradoks. Dari jajak pendapat yang dilakukan harian Asahi Shimbun, diterbitkan pada Senin (14/9), 68 persen pemilih Jepang menganggap "legislasi perang" ini "tidak diperlukan". Sebanyak 54 persen menentang dan 29 persen mendukung.

Mungkin antropolog AS, Ruth Benedict, benar tentang perilaku paradoks bangsa Jepang dalam bukunya, The Chrysanthemum and the Sword: Patterns of Japanese Culture (1946), untuk menjelaskan kehadiran "legislasi perang". Menurut Benedict, pada tingkat tertentu, bangsa Jepang adalah agresif dan tidak memiliki sifat militeristik dan estetika secara bersamaan, bisa bersikap sopan dan kurang ajar, serta memiliki sifat mudah beradaptasi dan kaku.

"Legislasi perang" yang dimenangi PM Abe adalah bagian dari reformasi yang ingin dilakukan oleh Jepang, khususnya Partai Demokrat Liberal (LDP), didasari atas motivasi menjadikannya sebagai "negara normal" dalam kemasan nasionalisme sekaligus internasionalisme. Motivasi ini juga memiliki nuansa agenda ekonomi yang selama ini berupaya didongkrak PM Abe dan menjengkelkan beberapa mitra dagangnya, khususnya Tiongkok.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah keberhasilan "legislasi perang" ini akan menjadikan Jepang semakin agresif, tidak hanya dalam penggelaran SDF ke seluruh bagian dunia, tetapi juga mengejar kebangkitan industri-industri militernya menjual berbagai persenjataan kepada negara-negara yang dianggap secara politik mendukungnya?

Atau, apakah ini adalah perilaku revisionis Jepang yang bersiap diri berhadapan dengan RRT yang telah menggeser kedudukannya sebagai kekuatan ekonomi terbesar setelah AS? "Legislasi perang" ini adalah awal dari Jepang menjadi "negara normal" dan akan memicu berbagai reaksi di kawasan Asia Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar