Senin, 28 September 2015

Membumikan Pesan Haji Wada Rasulullah

Membumikan Pesan Haji Wada Rasulullah

Masdar Hilmy ;  Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
                                                    JAWA POS, 23 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

HARI ini seluruh jamaah haji berkumpul di Arafah untuk wukuf. Pelaksanaan ibadah haji tahun ini diwarnai insiden jatuhnya crane di Masjidilharam (11/9) yang mengakibatkan 111 korban jiwa dan ratusan lainnya korban luka. Di tengah duka mendalam gara-gara kecelakaan tersebut, ada baiknya pesan Rasulullah tentang sakralitas jiwa (the sanctity of life) yang disampaikan ketika wukuf di Arafah pada haji wada (perpisahan) 10 Hijriah kita refleksikan lagi.

Sebagaimana terdapat dalam hadis dan Sirah Nabawiyah (Riwayat Perjalanan Nabi) karya Ibnu Hisyam, potongan redaksi lengkap dari pesan Rasulullah sebagai berikut. ”Wahai manusia, sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram (suci) bagi kalian hingga kalian berjumpa dengan Allah sebagaimana haram (suci)-nya hari dan bulan kalian ini.” Itu adalah rangkaian kalimat pertama yang disampaikan Rasulullah setelah kalimat pembuka.

Pertumpahan Darah

Pesan itu sangat relevan bagi seluruh umat manusia di muka bumi. Itu bukan semata terkait dengan kecelakaan jatuhnya crane tempo hari, melainkan karena nyawa dan jiwa manusia sering direduksi menjadi sekadar angka-angka tak bermakna. Yang menyedihkan, pertumpahan darah sering dijustifikasi oleh alasan agama. Radikalisme, terorisme, dan konflik bernuansa agama menjadi ladang pembantaian paling mematikan yang telah merenggut ratusan ribu, bahkan jutaan, nyawa tak berdosa.

Belum lagi jika kita melihat kasuskasus genosida atas nama agama selama beberapa dekade terakhir. Lebih dari 8.000 jiwa di kalangan muslim melayang gara-gara genosida di wilayah Serbia-Bosnia sepanjang perang sipil 1992– 1995. Jumlah itu belum termasuk korban jiwa di sejumlah negara lain seperti Sudan, Myanmar (muslim Rohingya), Jerman ( holocaust), dan sebagainya. Jika ditotal, seluruh korban jiwa gara-gara genosida di muka bumi ini bisa mencapai angka yang mencengangkan.

Pembunuhan, pembantaian, atau penghilangan nyawa terjadi karena absennya penghormatan terhadap kesucian jiwa manusia sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah. Apa pun motif dan modusnya, pembunuhan terhadap manusia merupakan tragedi kemanusiaan yang dalam terminologi hukum Islam digolongkan ke dosa-dosa besar ( al kaba’ir). Para pelaku dosa besar itu sulit diampuni oleh Allah, kecuali melakukan pertobatan yang sungguh-sungguh dan berjanji tidak mengulangi perbuatan yang sama di kemudian hari.

Menurut jenisnya, penghilangan nyawa seseorang atau pembunuhan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni pembunuhan langsung dan tak langsung atau struktural. Pembunuhan langsung adalah penghilangan nyawa yang dilakukan oleh seorang pembunuh yang berakibat kematian. Sementara itu, pembunuhan tak langsung atau struktural adalah terjadinya kematian gara-gara penerapan sebuah kebijakan politik.

Sekalipun pembunuhan tidak kasatmata, tidak bisa dikatakan bahwa pembunuhan langsung lebih keji ketimbang pembunuhan tak langsung. Dalam banyak kasus, pembunuhan tak langsung bahkan menimbulkan efek yang jauh lebih dahsyat dan sistemis daripada pembunuhan langsung. Selain itu, pembunuhan tak langsung dapat menimbulkan jatuhnya korban jiwa secara perlahan.

Pembunuhan Struktural

Pembunuhan struktural akibat korupsi menyebabkan efek domino bagi masyarakat. Menurut laporan Unicef, angka kematian anak balita di Indonesia gara-gara gizi buruk mencapai 152.000 orang pada 2012. Mayoritas di antara mereka adalah anak dari keluarga miskin dan terpinggirkan. Yang lebih tragis, mereka meninggal karena menderita penyakit yang mudah dicegah dan diobati seperti pneumonia serta diare.

Angka kematian ibu (AKI) melahirkan juga menjadi contoh pembunuhan struktural. Sesuai dengan data yang dirilis Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), terjadi peningkatan AKI secara signifikan. Pada 2007, AKI mencapai 228 orang per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut meningkat menjadi 359 orang per 100.000 kelahiran hidup pada 2012. Hal itu terjadi karena kebijakan kesehatan belum menjadi prioritas utama di luar kebijakan politik dan ekonomi nasional.

Belum lagi jika melihat fakta mencengangkan di balik angka kematian akibat buruknya fasilitas atau infrastruktur publik seperti jalan raya, jembatan, dan semacamnya. Menurut rilis Global Status Report on Road Safety 2013 dari WHO, Indonesia menempati peringkat kelima dalam hal fatalitas kecelakaan lalu lintas. Di negeri ini, tiap jam 3–4 nyawa melayang siasia gara-gara kecelakaan. Selain itu, menurut laporan Polri pada 2011, 31.324 nyawa melayang sia-sia di jalan raya karena kecelakaan.

Kematian sia-sia di kalangan masyarakat miskin dan terpinggirkan tidak mungkin terjadi jika programprogram yang berorientasi kesejahteraan rakyat sampai ke tangan mereka. Persoalannya, hak-hak ekonomi dan kesejahteraan rakyat sering dicegat di tengah jalan oleh para koruptor yang senantiasa mengintip di setiap kebijakan negara. Akibatnya, rakyat mengalami kesulitan ekonomi dan tak jarang berujung kematian anak-anak mereka.

Di dalam Alquran (QS 5:32), Allah memperingatkan seluruh manusia bahwa membunuh satu orang seperti membunuh seluruh umat manusia di bumi. Hal itu sangat relevan dengan pesan Nabi SAW saat haji wada bahwa darah (jiwa/nyawa) dan harta manusia haram (suci). Menumpahkan darah atau menghilangkan nyawa orang lain, apa pun motif dan alasannya, tidak sejalan dengan pesan eternal Islam yang begitu menghormati serta mengagungkan kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar