Jumat, 18 September 2015

Revolusi Kebijakan Penganggaran

Revolusi Kebijakan Penganggaran

Boediarso Teguh Widodo  ;  Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan
Kementerian Keuangan
                                                     KOMPAS, 17 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam penyusunan RAPBN 2016 ada perubahan mendasar terhadap strategi kebijakan fiskal dan politik anggaran. Salah satunya yang cukup revolusioner adalah reformulasi kebijakan penganggaran transfer ke daerah dan dana desa.

Perubahan kebijakan penganggaran transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) pada RAPBN 2016 tersebut tidak hanya bersifat transformasional, melainkan juga sangat radikal dan fundamental. Selain merupakan instrumen kebijakan yang tepat dalam mewujudkan misi ”membangun Indonesia dari pinggiran”, sekaligus lebih memperkuat jati diri Indonesia sebagai negara yang konsisten melaksanakan asas otonomi daerah dan desentralisasi dalam wadah NKRI.

Sebagaimana disampaikan Presiden dalam pidato pengantar penyampaian RAPBN 2016 dan Nota Keuangan 14/8/2015, ada empat langkah perubahan fundamental dalam kebijakan TKDD mulai 2016. Pertama, meningkatkan alokasi anggaran TKDD sehingga lebih besar dari anggaran belanja kementerian dan lembaga (K/L), agar lebih mencerminkan ciri Indonesia sebagai negara yang menjalankan desentralisasi fiskal penuh.

Kedua, memperluas cakupan dan struktur anggaran TKDD agar lebih sesuai dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Ketiga, mereformulasi dan penguatan kebijakan dana alokasi khusus (DAK) dan dana insentif daerah (DID). Keempat, meningkatkan alokasi dana desa sekurang-kurangnya 6 persen dari dan di luar transfer ke daerah guna memenuhi secara bertahap amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Pertama terjadi

Langkah menaikkan alokasi anggaran TKDD sehingga jumlahnya lebih besar dari alokasi belanja K/L merupakan kali pertama dalam sejarah perencanaan anggaran dan penyusunan APBN. Selama ini anggaran TKDD hanya naik rata-rata 14,1 persen dalam lima tahun terakhir. Pada RAPBN 2016 anggaran TKDD mencapai Rp 782,2 triliun, naik Rp 117,6 triliun (17,8 persen) dari pagu anggaran TKDD dalam APBN-P 2015.

Sebaliknya, anggaran belanja K/L yang dalam lima tahun terakhir tumbuh rata-rata 19,7 persen per tahun, dalam RAPBN 2016 justru turun Rp 15,1 triliun (1,9 persen), dari Rp 795,5 triliun pada APBN-P 2015 menjadi Rp 780,4 triliun. Perubahan orientasi ini juga diikuti dengan kebijakan realokasi belanja K/L, khususnya dana-dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan (dana dekon dan tugas pembantuan/TP), terutama bagi K/L yang fungsi, urusan, dan kewenangannya sudah diserahkan ke daerah.

Setidaknya ada tiga makna penting dari perubahan ini. Pertama, lebih besarnya anggaran TKDD dibandingkan anggaran belanja K/L membuktikan kuatnya komitmen pemerintah untuk memperkuat desentralisasi fiskal dengan mengalokasikan anggaran berdasarkan prinsip money follows function, sekaligus solusi mengatasi keterbatasan ruang fiskal RAPBN 2016 dalam memenuhi kewajiban penyediaan anggaran ataupun menstimulasi perekonomian masyarakat terutama di daerah.

Kedua, perubahan orientasi kebijakan diyakini lebih memperkuat peran daerah dalam penyediaan dan pemberian pelayanan publik sesuai standar pelayanan nasional dan sekaligus mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Ketiga, kebijakan anggaran yang berpihak ke daerah dapat meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran, terutama karena menghindari tumpang tindih dan atau duplikasi pendanaan kegiatan antara pemerintah pusat dan daerah.

Perubahan mendasar lain dari penganggaran TKDD dalam RAPBN 2016 terletak pada penyempurnaan struktur, penyederhanaan klasifikasi, dan perluasan cakupan TKDD untuk lebih meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran negara.

Anggaran TKDD yang selama ini meliputi empat unsur utama, yaitu (i) dana perimbangan, (ii) dana otonomi khusus, (iii) dana keistimewaan Yogyakarta, dan (iv) dana transfer lainnya, disederhanakan menjadi tiga komponen utama, yaitu (i) dana perimbangan, (ii) dana insentif daerah, serta (iii) dana otonomi khusus dan keistimewaan Yogyakarta.

Pada komponen dana perimbangan, yang semula mencakup dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK), diubah menjadi (i) dana transfer umum dan (ii) dana transfer khusus.

Restrukturisasi fundamental terjadi pada nomenklatur baru dana transfer khusus, yang mengelompokkan DAK tidak hanya mencakup DAK fisik, tetapi juga meliputi DAK nonfisik. Komponen DAK fisik ini terdiri dari DAK reguler, DAK infrastruktur publik daerah, dan DAK afirmasi untuk daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan.

DAK reguler difokuskan untuk mendanai 10 bidang dan DAK infrastruktur publik daerah diarahkan untuk mendanai penyediaan infrastruktur di daerah. Keduanya bisa menjadi strategi tepat untuk memperluas akses dan mempercepat peningkatan kualitas layanan publik sesuai target SPM. DAK nonfisik merupakan jenis dana transfer yang diperuntukkan, terutama guna mendanai kegiatan nonfisik tertentu yang menjadi prioritas nasional dan atau diamanatkan oleh perundang-undangan.

Penganggaran dari bawah

Untuk mendukung pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas belanja pemerintah, reformulasi DAK bisa menjadi salah satu instrumen kebijakan yang dapat memengaruhi daerah dalam mempercepat penyediaan infrastruktur serta sarana dan prasarana publik di daerah.

Semua reformulasi ini dapat menjadi instrumen efektif untuk mengatasi keterbatasan dan ketimpangan infrastruktur publik di daerah. Selama ini, besaran pagu DAK hanya naik secara incremental, jauh di bawah kebutuhan daerah dalam penyediaan infrastruktur publik. Mekanisme pengalokasian DAK yang lebih bersifat top-down belum bisa menjawab apa yang menjadi kebutuhan daerah. Sebagai konsekuensinya, alokasi DAK bisa menjadi salah sasaran akibat terbatasnya informasi pemerintah pusat.

Ada beberapa daerah yang relatif kurang membutuhkan justru mendapatkan alokasi DAK bidang tertentu dan sebaliknya. Selain itu, menu kegiatan yang ditentukan ada yang tidak sesuai dengan kebutuhan daerah sehingga justru menimbulkan inefisiensi anggaran.

Untuk itu, pemerintah tidak hanya menaikkan pagu DAK secara sangat signifikan, tetapi juga mengubah formulasi dan mekanisme pengalokasian DAK. Dalam RAPBN 2016, pagu anggaran DAK ditingkatkan dari Rp 58,8 triliun pada APBN-P 2015 menjadi Rp 215,2 triliun dalam RAPBN 2016 atau naik Rp 156,4 triliun (266 persen).

Lompatan kenaikan pagu DAK juga diikuti dengan perubahan mekanisme pengalokasian DAK, dari sistem top-down ke sistem bottom-up, dengan memperhatikan prioritas nasional jangka pendek ataupun menengah. Pengalokasian DAK tidak lagi sepenuhnya mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah (kriteria umum) dan karakteristik kewilayahan (kriteria khusus), tetapi juga lebih memperhitungkan prioritas dan kebutuhan daerah.

Implementasi pendekatan bottom-up diwujudkan melalui mekanisme penyampaian usulan dari daerah ke pemerintah pusat (proposal based). Dengan pendekatan ini, diharapkan alokasi DAK lebih tepat sasaran karena lebih bisa mencerminkan kebutuhan dan prioritas daerah.

Keberagaman tema pembangunan di setiap daerah sesuai dengan kekhasan, potensi, dan kebutuhan masing-masing akan dapat terfasilitasi jika alokasi DAK berbasis usulan daerah. Sekaligus juga meningkatkan optimalisasi penggunaan DAK.

Perubahan signifikan lain pada kebijakan TKDD dalam RAPBN 2016 adalah dinaikkannya anggaran dana desa sebesar Rp 26,3 triliun (126 persen) menjadi Rp 46,9 triliun dari Rp 20,7 triliun pada APBN-P 2015. Jumlah dana desa ini setara dengan 6 persen dari anggaran TKDD, dalam rangka memenuhi secara bertahap kewajiban penyediaan anggaran dana desa 10 persen.

Setiap desa juga masih akan mendapatkan alokasi dana dari APBD berupa alokasi dana desa (ADD) yang besarnya 10 persen dari bagian dana perimbangan setiap kabupaten/kota di luar DAK, dan dana bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) kabupaten/kota.

Revolusi kebijakan anggaran TKDD hanya akan berhasil dengan baik jika didukung sistem reward and punishment. Sebaliknya, dalam rangka menghindari dana TKDD tidak digunakan secara maksimal dan cenderung disimpan di bank, juga akan dilakukan sistem pengendalian secara ketat. Daerah-daerah yang memiliki dana idle tinggi akan mendapat punishment berupa tidak disalurkannya DAU dan/atau DBH dalam bentuk kas dan diganti dalam bentuk surat berharga negara (SBN).

Sanksi juga akan diterapkan bagi daerah yang tidak mampu menyerap DAK berupa hukuman ganda, yaitu selain penggantian penyaluran DBH dan DAU tahun berjalan dengan SBN, juga akan dikurangi alokasi DAK pada tahun berikutnya.

Masalah krusial yang perlu diwaspadai berkenaan dengan semakin besarnya alokasi TKDD tersebut adalah ”persiapan pelaksanaan”, terutama berkaitan dengan penyelenggaraan pilkada serentak pada 9 Desember 2015, yang perlu diantisipasi dampaknya pada penyerapan anggaran belanja dalam APBD 2016.

Agenda politik pilkada serentak itu diperkirakan akan memengaruhi penganggaran dan penetapan APBD 2016 sehingga pada akhirnya bisa memengaruhi pula tingkat penyerapan APBD dan pelaksanaan dana TKDD. Untuk itu, diperlukan kebijakan khusus untuk mengantisipasi dan mengatasi kendala tersebut.

Kita tentu berharap, kiranya pilkada serentak dapat berjalan lancar dan menghasilkan kepala daerah yang bisa memperbaiki kinerja pemerintahan dan pembangunan daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar