Kamis, 24 September 2015

Sumbangan Pendidikan untuk Perdamaian Dunia

Sumbangan Pendidikan untuk Perdamaian Dunia

Titik Firawati  ;  Staf Pengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
dan Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM
                                           MEDIA INDONESIA, 21 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

APA sumbangan pendidikan Indonesia untuk perdamaian dunia? Jawabannya ialah sumbangan mencetak calon pemimpin dunia yang problem solver. Hasrat itu akan terwujud jika pendidikan dalam praktik dan teorinya mengutamakan arti penting pemecahan masalah. Resolusi konflik bermula dari pendidikan. 

Memandang suatu masalah sebagai masalah dan menanganinya hingga ke akar itulah makna resolusi konflik, atau yang biasa kita dengar dengan istilah pemecahan masalah (problem solving). Dunia yang aman dan damai bergantung pada pemimpin-pemimpin yang berkehendak sebagai problem solver

Sayangnya, kini tidak banyak pemimpin yang seperti itu.

Potret Aylan Kurdi membuktikan, untuk ke sekian kalinya, para pemimpin dunia telah gagal dalam mengatasi masalah.Anak Suriah berusia tiga tahun itu ditemukan di tepi Pantai Turki di tengah-tengah perjuangannya bersama ayah, ibu, dan seorang saudaranya mencapai Pulau Kos, Yunani. Semuanya tewas, kecuali sang ayah. Potretnya menggemparkan dunia, tertelungkup lengkap dengan baju dan sepatu yang masih melekat di badannya seperti sedang tertidur pulas, tapi ternyata sudah tak bernapas.

Kematian Aylan Kurdi ialah potret abadi penderitaan manusia yang, selain para pemimpin, kita turut andil di dalamnya. Kita sudah mendengar sejumlah warga negara Indonesia yang ‘berjihad’ bersama Islamic State (IS). Suara lantang dari Indonesia menentang intervensi militer AS bersama sekutu terhadap IS juga tidak terdengar. Lantas, apa upaya fundamental yang sudah kita desakkan untuk menghentikan kekerasan yang ada?

Niat IS dan AS bersama sekutunya berbeda,—-yang satu ingin mendirikan negara Islam dan satunya menciptakan keamanan dan perdamaian-tapi kelakuan keduanya sama-sama menggelorakan kekerasan yang justru memperumit masalah yang ada. Kini, beberapa negara Eropa dipusingkan dengan masalah pengungsi.

Prinsip resolusi konflik

Gagasan pentingnya pemecahan masalah terdengar utopis, teoretis, normatif, rumit, atau lama. Yang justru dibutuhkan sekarang ialah aksi nyata dan hasil cepat. Namun, bukannya yang utopis, teoretis, normatif, rumit, atau lama yang justru selama ini mungkin kita abaikan sehingga tragedi Aylan Kurdi terjadi. Intervensi militer AS, misalnya, merupakan contoh konkret bentuk pengabaian tersebut. Malah, aksi nyata dan hasil cepat itu gagal menyelesaikan masalah. Dengan demikian, resolusi konflik bisa dihadirkan sebagai prinsip hidup sekaligus alternatif solusi yang betul-betul dibutuhkan.

Meminjam ide revolusioner John Burton tentang prinsip resolusi konflik, yaitu “Conflict will have to be defi ned as a problem to be resolved rather than a situation in which behaviours have to be controlled”. (Konflik harus diartikan sebagai sebuah masalah untuk diselesaikan daripada sebuah situasi ketika perilaku harus dikontrol).

Ide revolusioner ini sebetulnya kritik Burton terhadap orang-orang realis yang menurutnya melihat masalah sebagai agresi (lawan) sehingga menanganinya dengan agresi pula.

Pandangan Burton sejalan dengan William W Wilmot dan Joyce L Hocker, keduanya pakar konfl ik di level antarpribadi. Mereka mengatakan, “When conflict is viewed as a problem to be solved instead of a battle to be won or interaction to be avoided, creative solutions can be found.” (Ketika konflik dipandang sebagai sebuah masalah untuk diselesaikan daripada perkelahian untuk dimenangkan atau interaksi untuk dihindari, solusi-solusi kreatif akan ditemukan).

Dalam konteks problem solving ala Burtonian, salah satu petunjuk mengatasi masalah pengungsi di atas ialah meninjau kembali apa kebutuhan dasar manusia (human needs) yang diabaikan di Suriah sehingga negara-negara di Eropa harus mengalami ‘darurat pengungsi’.

Pendidikan dan resolusi konflik

Karena dihadapkan pada salah satu contoh persoalan dunia tersebut dan persoalanpersoalan kekerasan lainnya di Tanah Air, pengetahuan dan keterampilan dalam mengasah kemampuan memecahkan masalah menjadi penting. Pendidikan dasar dan menengah perlu (dan memang pada esensinya) disiapkan sebagai lahan untuk menyemai bibit-bibit pembiasaan memecahkan suatu masalah agar di kemudian hari seseorang terbiasa mendudukkan masalah sebagai masalah, bukan demi prinsip ‘kekalahanmu ialah kemenanganku’, dan menyelesaikan masalah dengan cara-cara kreatif. Pendidikan di Indonesia sudah waktunya menghasilkan pemimpin-pemimpin dunia yang berkehendak sebagai problem solver.

Jika dikaitkan dengan proses belajar-mengajar, pembiasaan problem solving bisa dimulai di kelas baik antara guru dengan murid maupun murid dengan murid yang dipandu guru. Untuk mewujudkan pembiasaan itu, menurut Matthew McKay, sarjana komunikasi, diperlu kan pendekatan komunikasi yang bersifat kooperatif daripada otoriter atau permisif. Kooperatif maksudnya kekuasaan terletak pada orang dewasa (dalam hal ini guru) dan anak (murid), sedangkan otoriter kekuasaan terletak pada guru dan permisif kekuasaan terletak pada murid.

Masih menurut McKay, langkah-langkah yang biasa diterapkan dalam rangka memecahkan masalah secara berurutan ialah mengidentifi kasi dan mendefi nisikan masalah yang ada, menghasilkan kemungkinan-kemungkinan solusi, mengevaluasi baik dan buruknya setiap kemungkinan solusi tersebut, memilih solusi terbaik, menerapkan solusi yang sudah dipilih, dan mengevaluasi hasil dari solusi yang sudah diputuskan.

Dengan menggunakan komunikasi yang kooperatif, langkah-langkah memecahkan masalah di atas bisa dilatihkan pada anak-anak di level SD, SMP, dan SMA atau bahkan anak-anak usia TK atau PAUD yang disesuaikan dengan bahasa mereka. Tidak hanya dari jenjang sekolah, pengetahuan dan keterampilan memecahkan masalah juga bisa diterapkan di semua mata pelajaran atau ketika kegiatan ekstrakurikuler berlangsung. Dengan demikian, metode hafalan yang dianggap sebagai cara jitu mendidik anak sudah barang tentu menjadi tidak relevan, apakah masalah pengungsi Suriah bisa diatasi dengan hafalan butir-butir Pancasila? Untuk keadaan tertentu seperti mengingat istilah atau konsep, hafalan memang diperlukan, tapi manfaatnya sangat terbatas.

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, pendidikan di Indonesia sudah waktunya menghasilkan pemimpin-pemimpin dunia yang berkehendak sebagai problem solver, bukan orang-orang yang menghadiri pertemuan internasional yang mem bahas masalah serius, tapi diam seribu bahasa karena malu, tidak punya ide, tidak paham masalah, atau tidak peduli.

Motivasi tersebut perlu diupayakan lebih keras mengingat pendidikan reso lusi konflik dapat menyumbangkan keuntungan yang tak ternilai harganya terhadap pembentukan sikap dan watak anak Indonesia sebagai calon pemimpin dunia. Misalnya, mengedepankan arti penting kerja sama daripada kompetisi atau agresi, kesetaraan, kedewasaan, tanggung jawab, kreativitas, visi jangka panjang, dan yang paling penting memanusiakan manusia.

Sekali lagi, sumbangan pendidikan Indonesia untuk perdamaian internasional ialah melahirkan calon pemimpin global yang problem solver. Impian ini hanya bisa diwujudkan melalui pendidikan yang berorientasi pada pemecahan masalah. Beginilah kira-kira bentuk nyata sumbangan pendidikan Indonesia yang dari dulu telah dicita-citakan menjadi bagian tak terpisahkan dari usaha menciptakan perdamaian dunia yang abadi. Selamat memperingati Hari Perdamaian Internasional!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar