Minggu, 27 September 2015

Trump dan Berubahnya Politik AS

Trump dan Berubahnya Politik AS

Rizal Mallarangeng ;  Direktur Eksekutif Freedom Institute, Jakarta
                                                     KOMPAS, 26 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

America now is so in play. Itulah ungkapan Peggy Noonan, kolumnis The Wall Street Journal dan mantan penulis pidato Presiden Ronald Reagan, dalam menggambarkan fenomena Donald Trump yang menggoyang politik Amerika sepanjang musim panas tahun ini.

Kata-kata kuncinya adalah so in play: berubah, bergerak, membingungkan sekaligus menggairahkan, sering menjengkelkan, tetapi juga membuka sebuah celah baru. Betapa tidak? Sepanjang sejarah prakonvensi partai di AS, belum pernah terjadi dinamika seriuh dan sepanas ini. Rating Foxnews dan CNN menembus rekor setiap kali meliput debat yang dihadiri Trump. Tokoh-tokoh superkaya Amerika memang kerap tampil di arena politik (Nelson Rockefeller, Ross Perot), tetapi mereka tidak pernah sampai ke Gedung Putih.

Namun, Trump, dengan kekayaan pribadi lebih dari 10 miliar dollar AS atau hampir Rp 150 triliun dalam kurs sekarang, yang diperoleh dari usaha properti, termasuk kasino, mungkin akan menghasilkan cerita berbeda.

Dengan harta sebanyak itu, ia bisa melakukan apa saja tanpa tergantung kepada siapa pun. Ia memiliki armada pribadi, termasuk pesawat jet segala ukuran, semua dengan logo ”Trump” yang dibuat mencolok. Ia sanggup menyewa konsultan kampanye, dari yang paling eksklusif di Washington DC sampai yang ecek-ecek di kota kecil.

Pada awalnya Trump tidak dianggap serius. Ia memang superkaya, tetapi sangat kontroversial. Gaya pribadi serta kata-katanya cenderung kampungan—agresif, blak-blakan, sering merendahkan, walau terkadang cukup jenaka. Dia pebisnis ulung, tetapi di mimbar politik lidahnya sering tak terkontrol, unpolished.

Presiden Obama, misalnya, dia kecilkan sebagai pemimpin yang tak kompeten. Sementara kaum politisi di Capitol Hill disebutnya sebagai orang-orang tolol dan boneka yang gampang dibeli oleh kaum pemilik duit. Bahkan, para komentator televisi tidak luput dari sentilan Trump. ”They think they are smart, but actually they are a bunch of fools.”

Sebaliknya, terhadap dirinya sendiri, ia memuji setinggi langit. ”I am so rich, tak terbayangkan oleh orang biasa. Saya lulusan Wharton School of Business di universitas terbaik Amerika. Saya mendirikan perusahaan kelas dunia. Karena itu, saya pasti berhasil sebagai presiden. Istri saya cantik jelita. Anak saya juga. Saya tidak ada beban. Rakyat butuh saya untuk memulihkan kebesaran Amerika.”

Dengan semua itu, wajar jika Trump dianggap unpresidential, tidak menampakkan sosok dan wibawa seorang presiden. Karena itu, hampir semua talking heads, komentator, dan ahli politik sejak awal sudah meramalkan bahwa raja properti itu tinggal menunggu waktu saja. Trump menggali kuburnya sendiri. Kejatuhannya adalah niscaya, seperti hukum gravitasi.Namun, tunggu punya tunggu, setelah kontroversi datang-pergi, ternyata hasil survei berkata lain. Bukannya turun, tingkat dukungan bagi Trump makin melangit. Sekarang angkanya sudah mencapai batas psikologis 40 persen di beberapa wilayah, jauh di atas pesaing lain, termasuk Jeb Bush, yang semula dianggap kandidat terkuat.

Pada September ini, gelombang dukungan bagi Trump bahkan sudah dianggap sebagai sebuah movement, mirip dengan fenomena Obama pada pemilu 2008. Sebagian pengamat dan kaum intelektual mulai khawatir bahwa tokoh kontroversial itu betul-betul akan menjadi presiden.

Perubahan

Apa yang sesungguhnya terjadi? Trump bukan tokoh baru. Dua kali mencoba menjadi kandidat presiden, ia selalu gagal total. Dalam pemilu 2012, dia malah dianggap lelucon.

Faktor apa yang kini berubah dalam masyarakat Amerika? Kenapa saat ini Trump menjadi kandidat terdepan dan terus menguat, bukan hanya di kalangan pemilih Republiken, tetapi juga dalam batas-batas tertentu di kalangan Demokrat dan kaum independen? Apa yang terjadi padamu, Uncle Sam?

Pada hemat saya, ada tiga faktor penting di sini. Pertama, suasana anti partai dan anti politisi kini sangat kental di kalangan pemilih. Rakyat rupanya ingin sesuatu yang lain sekarang, lebih populis, lebih cair, praktis, serta berjarak dari partai politik.

Faktor ini tidak hanya terjadi di AS, tetapi juga di Eropa dan banyak negeri demokrasi lain. Hampir semua kandidat presiden yang ada, baik Republiken maupun Demokrat, menjadikan Washington DC—simbol politik dan pemerintahan—sebagai sasaran kecaman.

Suasana hati pemilih semacam itu sangat menguntungkan Trump. Bertahun-tahun ia telah memiliki brand yang kuat di luar politik, baik sebagai pengusaha sukses maupun sebagai pembawa acara populer di televisi, The Apprentice. Dengan mudah ia menjadi tokoh alternatif pada saat rakyat sekarang membutuhkan sebuah pilihan di luar sistem. Hal ini sulitterjadi pada Hillary Clinton dan Jeb Bush karena latar belakang mereka yang begitu berakar pada politik dan pemerintahan.

Kalau sudah klik dengan suasana hati rakyat, segala kelemahan Trump akan dilihat dari sudut lain. Keangkuhannya dipahami sebagai daya tarik tersendiri.Dalam hal ini, saya teringat pada Muhammad Ali, yang pernah berkata bahwa dia adalah orang hitam paling ganteng, bergerak bagaikan angin, dan memukul KO George Foreman semudah merobohkan rumput kering. Terhadap arogansi ini, para pemuja Muhammad Ali pada dekade 1970-an akan bertepuk tangan sambil tersenyum, bukan mencemooh atau berpaling. Hal seperti inilah yang sekarang sedang terjadi pada Trump.

Faktor kedua adalah jurang yang melebar antara kaum atas dan pemilih umumnya, khususnya dalam masalah kultural dan persepsi terhadap kehidupan.

Kaum elite AS makin tidak mengerti apa yang terjadi atau apa yang diinginkan the political base.

Satu contoh menarik di sini menyangkut isu imigrasi. Trump sangat menyudutkan kaum migran ilegal dari Meksiko dan menjadikannya sebagai isu sentral. Hal ini dikecam keras oleh kaum elite AS dari semua spektrum politik. Ia dianggap tidak manusiawi. Namun, ternyata banyak orang Hispanik yang mendukung Trump sebab mereka juga cemas pada kaum migran ilegal yang merambah ke mana-mana.

Satu atau dua dekade lalu, isu ini mungkin tidak relevan. Namun, sekarang, ketika jumlah pemilih Hispanik sudah mencapai 15 persen, melampaui jumlah pemilih kaum hitam, isu ini bukan lagi persoalan remeh. Trump mengerti hal ini dan berhasil menggunakannya sebagai salah satu sumber penarik dukungan yang efektif.

Faktor ketiga berhubungan dengan media sosial. Di masa lalu, jika semua jaringan media konvensional sudah menyudutkan seorang kandidat, riwayat kandidat tersebut akan tamat. Sekarang, walau The New York Times, CNN, dan Foxnews bisa dikatakan bersikap anti Trump, dampaknya sudah jauh berkurang.

Malah bisa jadi efeknya justru memukul balik: semakin dikecam, rakyat kebanyakan semakin bersimpati kepada Trump dan menyalurkan perasaan mereka lewat jutaan pesan serempak di Twitter, Facebook, atau Youtube. Kita bisa berbeda pendapat tentang kekuatan pengaruhnya, tetapi tanpa mengerti peran medium baru ini, perkembangan politik Amerika akan sulit dipahami.

Konstruktif?

Pastilah ketiga faktor perubahan di atas tidak berperan sendiri-sendiri. Ketiganya berkombinasi serta dalam takaran masing-masing mengubah fondasi politik. Perubahan ini, tanpa banyak disadari, kini menghasilkan sesuatu yang mengejutkan, yaitu the Trump phenomenon.

Saat ini, ia hanyalah salah satu kejutan yang dilahirkan oleh perubahan tersebut. Di masa depan, pasti masih akan ada lagi berbagai kejutan lain. America now is so in play: kita berharap, kalau terjadi, kejutan tersebut akan mengarah pada sesuatu yang lebih konstruktif.

Bagaimanapun, Amerika adalah negara demokrasi modern pertama yang tetap menjadi sumber inspirasi bagi banyak negara lain, termasuk kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar