Jumat, 30 Oktober 2015

Namaku Bahasa Indonesia

Namaku Bahasa Indonesia

Ali Kusno  ;  Pengkaji Bahasa di Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur
                                                      JAWA POS, 23 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

HAMPIR setiap orang di negeri ini menggunakanku. Sayang, hanya sebagian kecil dari kalian yang paham siapa aku. Mungkin hanya sastrawan, jurnalis, linguis, dan kalangan pendidikan yang mencoba mengenalku dengan lebih baik.

Bahasa Indonesia, itu namaku. Aku lahir dan besar seiring sejarah panjang negeri ini. Aku lahir dari semangat para pemuda mempersatukan bangsa. Tekad Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menobatkanku sebagai bahasa persatuan.
Mempersatukan saudara-saudaraku, bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Dayak, bahasa Banjar, dan ratusan bahasa daerah yang lain. Mempersatukan bangsa yang beribu pulau. Itu sebuah kepercayaan sekaligus kehormatan. 

Namaku bahasa Indonesia, bahasa perjuangan. Aku hadir dalam setiap komando melawan penjajah. Aku bangga menjadi bahasa perjuangan Bung Tomo, memekikkan semangat arek-arek Surabaya pada 10 November 1945.
”... Kita, bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini, akan menerima tantangan tentara Inggris itu. Dan kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia, ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini, dengarkanlah ini tentara Inggris. Ini jawaban kita. Ini jawaban rakyat Surabaya...”

Aku pun bangga dipercaya pemimpin besar, Ir Soekarno, menggunakanku sebagai bahasa teks proklamasi. Kalian mungkin tidak tahu betapa terharunya aku.

Namaku bahasa Indonesia, bahasa aspirasi. Pada masa pembangunan, aku menjadi bahasa suara ketimpangan dan ketidakadilan. Aku begitu sederhana dan mudah dipahami siapa saja, termasuk para pemangku kebijakan bangsa ini. Mereka pasti tahu, kecuali pura-pura tidak tahu, atau tidak mau tahu.

Namaku bahasa Indonesia, bahasa kerukunan. Aku bangga menjadi sarana menyampaikan pesan-pesan agama, mengajak kebaikan, dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Akulah jembatan perbedaan. Menghindari kesalahpahaman dan permusuhan. Akulah sarana penyampai pesan kasih sayang. Dengan kasih sayang kita simpan bedil dan kelewang Punahlah gairah pada darah (W.S. Rendra)

Namaku bahasa Indonesia. Katanya aku dibutuhkan, namun faktanya malah terabaikan. Tinggal menghitung hari usia 87 tahun. Tak terhitung pengorbanan yang kuberikan. Tak terkira lelah yang kuderita. Terus menjaga bangsa ini dalam satu dekapan.

Tapi kenyataannya, ya begitulah. Sebenarnya aku tidak ingin berkeluh kesah. Mungkin hiruk pikuk kehidupan kalian membuatku pantas terabaikan. Luangkan sejenak waktu kalian untuk mendengarkan kegetiran yang kurasakan agar kalian tersadar dan tersulut semangat para pemuda yang dulu melahirkanku.

Aku cukup senang, sebagian kecil dari kalian telah berupaya melestarikan dan mengembangkanku. Bulan ini Bulan Bahasa. Meski tak sesemarak Agustusan. Tapi, setidaknya sekolah, kampus, dan balai bahasa mengadakan beragam kegiatan. Pemilihan putra-putri duta bahasa, lomba baca dan musikalisasi puisi, lomba menulis esai, lomba menulis cerpen, lomba mendongeng, serta aneka lomba lain. Terima kasih sudah mencoba membuatku riang.

Sekadar kalian tahu, segalanya sudah kucurahkan untuk bangsa ini. Sedang apa balasan kalian? Politisi hitam memperalatku, menyuarakan kepentingan sesaat atas nama rakyat.

Para mafia hukum menyusun pasal-pasal ambigu yang sarat kepentingan. Pemangku kebijakan yang tidak amanah lihai memainkan gaya bahasa membuai harapan.

Rasanya, aku begitu kotor. Kalian gunakan aku untuk menghina dan menghujat. Hinaan dan hujatan bertebarandalamorasi-orasijalanan, di televisi, dan di ruang dewan yang katanya terhormat. Bahkan, seorang presiden pun tak luput dari hinaan dan hujatan kalian. Kesantunan tutur kian hancur. Tidakkah kalian sadari, anak-cucu kalian meniru yang kalian pertontonkan.

Kalian tentu tak ingin diabaikan, terlebih diduakan. Namun, entah sadar atau tidak, kalian telah berlaku demikian. Bahasa Inggris kalian bangga-banggakan.
Jalanan, perkantoran, hotel, dan pusat perbelanjaan penuh sesak kata-kata yang sebagian besar kalian tidak mengerti. Mungkin aku kalah gengsi. Kini kalian benar-benar asing di negeri sendiri. Aku pun terima itu semua meski menyesakkan.

Lagi-lagi aku harus menambah arti kesabaran. Kewajiban pekerja asing mengerti aku kini tinggal kenangan. Demi kepentingan investasi, aku pun harus merelakan.

Para pekerja asing itu tidak perlu mengerti aku. Mereka tidak perlu bisa membahasakanku. Namun, kalian tidak menyadari bahwa mengerti dan memahamiku salah satu jalan mengerti bangsa ini. Yah, sudahlah.

Tidakkah kalian malu pada bangsa lain? Apakah perlu bangsa lain menyadarkan arti diriku? Apakah aku harus senasib seperti wayang kulit, reog, tari pendet, dan batik? Saat hendak diakui bangsa lain, baru kalian pedulikan.

Bahkan, Bapak Bangsa Singapura Lee Kuan Yew pun salut kepadaku. Baginya, keutuhan bangsa ini berkat peranku. Sebagai warisan para pendiri bangsa, aku sangat sentral menjaga keutuhan bangsa. Seandainya aku sirna, lalu dengan apa lagi bangsa ini kalian persatukan?

Namaku bahasa Indonesia. Aku telah menemani perjalanan panjang bangsa ini. Namaku bahasa Indonesia. Rasa cintaku pada bangsa ini tidak perlu kalian ragukan lagi. Namamu bangsa Indonesia, bagaimana perasaanmu terhadapku?

Membuat Jera Predator Seksual

Membuat Jera Predator Seksual

Bagong Suyanto  ;  Dosen FISIP Universitas Airlangga;
Pernah meneliti anak perempuan korban pemerkosaan di Jawa Timur
                                                      JAWA POS, 23 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KEPRIHATINAN berbagai pihak terhadap merebaknya kasus kejahatan seksual pada akhirnya memunculkan lagi ide tentang perlunya diterapkan hukuman kebiri bagi predator seksual (Jawa Pos, 22 Oktober 2015). Meski dalam KUHP telah dicantumkan sanksi yang berat bagi predator seksual, dalam kenyataan sanksi itu tampaknya tidak cukup mujarab untuk membuat jera orang-orang jahat yang ingin mengumbar nafsu syahwatnya kepada perempuan, khususnya anak perempuan.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menyatakan, Indonesia saat ini boleh dikata berada dalam keadaan darurat kejahatan seksual terhadap anak. Menurut catatan Komnas PA, dari sekitar 21 juta anak Indonesia yang menjadi korban dan mengalami tindak kekerasan, lebih dari separonya (58 persen) adalah korban kejahatan seksual. Ironisnya, para predator seksual yang mengancam keselamatan anak-anak itu biasanya justru orang-orang yang dekat dengan korban, mulai ayah kandung, kakek, paman, hingga tetangga.

Studi yang dilakukan Bagong Suyanto et al. (1995) terhadap beritaberita di harian Jawa Pos selama 1993–1994 menemukan bahwa 49,1 persen korban pemerkosaan ternyata anak-anak di bawah usia 14 tahun. Bahkan, 14,2 persen di antaranya berusia di bawah 8 tahun. Di Surabaya, bahkan belum lama ini dilaporkan ada anak yang baru berusia 1,5 tahun yang menjadi korban kebiadaban pamannya sendiri. Korban diperkosa lewat alat kelamin dan anusnya sehingga akhirnya jatuh sakit, kemudian tewas.

Dengan menyimak ulah predator seksual yang makin sadis dan tak berperikemanusiaan itulah, akhirnya muncul desakan agar pelaku kejahatan seksual, selain dihukum penjara yang seberat-beratnya, juga ditambah dengan hukuman kebiri. Berbagai pihak, mulai presiden, partai politik, pengamat, KPAI, dan lain-lain, pada intinya sepakat bahwa hukuman kebiri merupakan instrumen tambahan yang diharapkan dan dipercaya dapat melahirkan efek jera yang lebih efektif.

Kebiri atau kastrasi pada dasarnya adalah tindakan bedah atau penggunaan bahan kimia tertentu yang bertujuan menghilangkan fungsi testis pada para pejantan agar tidak lagi terdorong oleh libidonya untuk mencari korban-korban baru guna memuaskan nafsu seksualnya.

Pengebirian terhadap predator seksual sudah barang tentu tidak berupa pemotongan alat kelamin seperti pada zaman dulu, tetapi lebih ke tindakan medis dengan memberikan atau menyuntikkan hormon perempuan kepada predator seksual supaya hasratnya hilang. Hukuman kebiri itu sudah tentu baru akan ditetapkan setelah vonis dijatuhkan dan putusan inkracht keluar.

Meski banyak pihak menyetujui hukuman kebiri diberlakukan bagi para predator seksual, di pihak lain sebetulnya masih ada sebagian pengamat dan ahli yang meragukan efektivitas hukuman itu. Bahkan, tidak sedikit pula yang menolak.
Pemberian hukuman kebiri kepada predator seksual, selain diyakini tidak akan membuat para pemerkosa surut, juga dikhawatirkan malah menstimulasi kemarahan dan tindakan yang makin brutal dari para pelaku kejahatan seksual.

Hukuman kebiri bagi predator seksual dikhawatirkan tidak efektif karena dari segi penegakan hukum belum menjanjikan. Pertama, karena konstruksi yuridis hukum (KUHP) di Indonesia terhadap tindak kejahatan seksual ditengarai masih bersifat diskriminatif terhadap perempuan.

Sebab, ancaman sanksi cenderung dibangun dengan pandangan yang bersifat positivisme-rasional, yang dalam konteks ini sama sekali tidak memasukkan penderitaan korban dalam pertimbangan yuridis. Kedua, dalam pembuktian tindak kejahatan seksual, sering terjadi perempuan dan anak yang menjadi korban justru mengalami pelecehan.

Di Indonesia, dalam banyak kasus kejahatan seksual, konstruksi yang berkembang di masyarakat maupun benak aparat penegak hukum adalah tindak kejahatan itu tidak sepenuhnya terjadi karena kesalahan pelaku. Di Indonesia, kejahatan seksual lebih diyakini terjadi karena stimulasi korban.

Studi yang dilakukan Marzuki (1997) terhadap 63 kasus pemerkosaan menemukan bahwa seductive rape merupakan kasus terbanyak (47,6 persen), kemudian baru diikuti dengan tipe domination rape (30,2 persen) dan exploitation rape (14,3 persen).

Kendati tak eksplisit menyebut, kesimpulan dan temuan penelitian Marzuki itu 
sedikit banyak menyalahkan atau menempatkan korban sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab.

Selain hukuman kebiri, salah satu usulan yang menarik dan diyakini lebih efektif untuk membuat para predator seksual jera adalah hukuman yang memiliki dampak sosial kuat seperti pemberian simbol khusus –entah kalung, tato, pakaian, dan lain-lain– bagi para predator seksual. Tujuannya, masyarakat di sekitarnya dengan cepat mengetahui potensi ancaman di belakang penampilan pelaku.

Apa pun hukuman yang diusulkan untuk membuat jera predator seksual, entah kebiri atau pemberian tanda khusus, yang penting adalah bagaimana negara dan masyarakat membangun kesepahaman bersama tentang bagaimana kita harus melindungi serta menghormati kaum perempuan.

Seperti dikatakan Kathryn Chadwick dan Catherine Little (1993), membahas masalah pemerkosaan harus ditempatkan pada konteks yang lebih luas. Yakni, konteks di mana posisi kaum perempuan dan perilakunya secara sosial didefinisikan serta dikontrol.

Jadi, tidak cukup hanya menghukum seberat-beratnya lelaki bejat yang menjadi pelakunya. Yang tak kalah penting adalah bagaimana memberdayakan perempuan agar mampu melawan hegemoni, dominasi, dan tekanan yang dialami selama ini. ●

Selasa, 27 Oktober 2015

Negara Vs Pancasila

Negara Vs Pancasila

Mochtar Pabottingi  ;  Profesor Riset LIPI
                                                       KOMPAS, 27 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kontroversi soal "bela negara" membawa kita pada empat hal penting yang perlu disoroti. Pertama, siapa pun yang hendak menjadi pelaksana pendidikan bela negara seyogianya memiliki wibawa dan kredibilitas untuk itu. Kedua, sasaran kelompok usia dan sasaran target waktu pendidikan bela negara mestilah ditentukan oleh realitas di Tanah Air. Ketiga, jika program ini dimaksudkan sebagai jalan mewujudkan apa yang disebut "revolusi mental", ia adalah jalan yang vulgar-kasar dan menggampangkan. Terakhir, di atas semuanya, kontroversi ini membuka pintu bagi kita untuk menilai bagaimana laku para pelaksana negara vis-à-vis ideal-ideal tertinggi bangsa kita. Dengan kata lain, bagaimana sebenarnya negara memperlakukan Pancasila selama ini.

Saya belum melihat adanya cabang atau perangkat pemerintahan yang cukup memiliki wibawa dan kredibilitas untuk dijadikan pelaksana pendidikan bela negara. Sebagian besar cabang atau perangkat pemerintahan kita sudah puluhan tahun kehilangan wibawa dan kredibilitas itu. Kita tahu bahwa pendidikan tanpa wibawa dan kredibilitas akan sia-sia, bahkan munafik. Sama sia-sia dan munafiknya dengan P4 di sepanjang Orde Baru. Di sini "revolusi mental" dalam arti kata sesungguhnya justru dicibiri dan dicampakkan, mustahil klop.

Kita tahu bahwa perusakan sendi-sendi kehidupan di dalamnya sudah berlangsung puluhan tahun ini dan mayoritas pelakunya para pelaksana negara sendiri berikut alat-alatnya-dulu lebih pada TNI, kini lebih pada Polri. Ini berarti negara-bangsa kita menuntut koreksi tidak di masa depan, tetapi sudah selama puluhan tahun ini, dan sasarannya pastilah bukan terutama kaum muda, melainkan terutama kaum berusia empat puluh tahun ke atas-mereka yang kini menjadi penyelenggara negara atau alat-alat negara. Kita tak memiliki kemewahan untuk membenahi negara-bangsa kita sepuluh atau dua puluhan tahun lagi.

Kita ketahui bahwa sejak Demokrasi Terpimpin, apalagi sejak Orde Baru, dan tak terkecuali di sepanjang apa yang disebut era Reformasi, para pelaksana negara beserta alat-alatnya sudah "suspect" vis-à-vis Pancasila. Selama itu, deretan panjang "dosa masif" terhadap Pancasila telah dilakukan oleh para pelaksana negara sehingga sulit membuat bangsa kita melepaskan diri tidak hanya dari hujaman trauma politik, tetapi juga dari tiadanya kepercayaan masyarakat (societal trust) kepada para pelaksana negara.

Penghalalan cara

Lantaran timbunan pengkhianatan Orde Baru tak pernah dikoreksi, rangkaian borok dan ideologinya yang menempatkan negara di atas segalanya dan sebagai tak pernah salah terus berlanjut dan disebarkan dengan modus sarat muslihat. Mereka terus berpose sebagai tak pernah melakukan dosa-dosa masif. Stiker Soeharto tersenyum berbunyi "Piye kabare Le...?" adalah bagian dari modus demikian-bukti bahwa jiwa Orde Baru masih terus bercokol dan bekerja menyesatkan masyarakat luas bangsa kita.

Dua ciri utama Orde Baru tak boleh kita lupakan: laku kental penghalalan cara dan/atau penyalahgunaan kekuasaan sistemik. Inilah dua sumber utama pengkhianatan para pelaksana negara terhadap Pancasila. Semua laku yang secara sistemik mencampakkan ideal-deal tertinggi negara-bangsa kita haruslah disebut pengkhianatan. Hingga kini pun tak terhitung penyelenggara negara yang masih terus melancarkan kedua laku nista itu. Sekitar lima tahun pertama Reformasi ditandai perampokan atau penggadaian besar-besaran atas dana-dana publik, aset-aset negara, dan sumber-sumber daya alam kita. Bertahun-tahun kebijakan impor terang-terangan membunuh inisiatif, potensi, hak-hak, dan jerih payah kaum tani kita, dan baru kini mulai akan dikoreksi. Dan kita disuguhi legislasi-legislasi yang dibuat bukan untuk kepentingan nasional, melainkan oligarki.

Semua laku penghalalan cara atau penyalahgunaan kekuasaan itu ditutup-tutupi dengan obral slogan menipu, pernyataan culas, dan shibboleth pandir tentang negara. Mereka terus berusaha membutakan masyarakat perihal hukum politik kontradiktoris yang inheren pada negara, yaitu bahwa negara, manakala pelaksanaannya baik, akan menjadi kekuatan pemberadab terbesar; tetapi manakala pelaksanaannya salah, ia akan menjadi kekuatan pembiadab terbesar.

Mungkin baru di sini hukum tersebut dieksplisitkan. Namun, persis itulah yang dituju oleh para raksasa pemikir politik seperti Aristoteles, Locke, Montesquieu, John Stuart Mill, dan John Rawls dalam karya monumentalnya masing-masing, yaitu untuk mengatasi sifat kontradiktoris yang inheren pada negara. Untuk itu pulalah Adnan Buyung Nasution menulis studi seriusnya atas Konstituante. Wanti-wanti mutakhir tentang "sifat dasamuka" negara antara lain disampaikan oleh Skocpol et al dalam Bringing the State Back In (1985): "Kasus-kasus di mana negara menimbulkan rangkaian 'malapetaka kolektif' haruslah diperiksa secara sama ketatnya dengan kasus-kasus di mana negara menciptakan rangkaian 'berkah kolektif'."

Dari sepanjang 70 tahun masa kemerdekaan bangsa kita, sebanyak empat perlimanya, yaitu 56 tahun (dari 1959 hingga saat ini), negara kita masih terus salah jalan lantaran kentalnya jiwa Orde Baru tadi. Itu pula sebabnya, para pelaksana negara beserta alat-alat negara masih terus menjadi "suspect".

Di parlemen kita kini laku penghalalan cara atau penyalahgunaan kekuasaan terus berlangsung dalam aneka praktik busuk para "wakil rakyat" untuk tiada hentinya menguras dana publik. "Rumah aspirasi", "studi banding", dan kehendak memaksakan "dana dapil", misalnya, lahir dari argumen-argumen tengik. Banyak anggota parlemen menjadikan ketiga tugas pokoknya bukan untuk membuktikan kenegarawanan serta menetapkan patokan-patokan cerdas-bermartabat dalam rangka menyejahterakan negara-bangsa kita, melainkan terutama sebagai alat merampas dana publik, sebagai "komoditas-komoditas barteran" untuk memperkaya diri, dan sarana-sarana mega-ekstorsi secara yang pada umumnya sungguh tak bermalu. Sulit dibantah bahwa Parlemen Reformasi adalah episentrum korupsi- sekaligus wajah terburuk demokrasi kita yang salah jalan.

Pengkhianatan parlemen

Praktik culas-kuras dana publik atas nama studi banding serba mewah ke luar negeri tak pernah dipertanggungjawabkan. Alih-alih menjadi korpus rujukan bermutu yang kumulatif dari tahun-tahun panjang berlakunya agenda konyol itu, hasil-hasil studi banding para anggota parlemen tak pernah dilaporkan, apalagi dibuka kepada rakyat yang katanya mereka wakili, sebab tujuannya memang sulit dilepaskan dari kenistaan. Sama sekali tak ada niat parlemen untuk menjadikan studi banding itu tulus dan bermartabat, tanpa harus berjemaah melakukan perjalanan rampok dana publik ke luar negeri.

Maka jadilah kinerja legislasi mereka buruk tiga kali lipat: kerdil produktivitas, kerdil kualitas, dan kerdil integritas. Kenyataan ini berbanding terbalik dengan magnifikasi biaya yang tak henti-hentinya mereka ada-adakan dan tuntut tanpa malu secuil pun. Perbandingan mereka dengan para legislator di masa Demokrasi Parlementer ibarat bumi dan langit.

Perlu dicanangkan bahwa parlemen di era Reformasi adalah yang paling khianat di sepanjang masa kemerdekaan. Mayoritas masyarakat bangsa kita sudah lama menanggungkan kemuakan atas aneka laku nista, laku munafik, dan terutama laku serakah tanpa batas anggota parlemen. Ia tidak atau belum sampai dibubarkan jelas bukan karena semua anggotanya berharkat, melainkan semata-mata karena, beda dengan situasi-kondisi negara-bangsa kita di pengujung 1950-an, kini kita tak lagi memiliki lembaga otoritatif atau figur panutan politik nasional untuk mencegah risiko gejolak politik tak terkendali manakala pembubaran dilakukan.

Parlemen di era Reformasi adalah buah simalakama terbesar dari negara-bangsa kita di sepanjang sejarahnya. Kerjanya lebih banyak menggiring bangsa kita ke arah pengkhianatan dibandingkan ke arah kemaslahatan. Hingga kini bangsa kita masih terus menoleransinya semata-mata lantaran keterpaksaan yang menyakitkan. Toh, toleransi negatif demikian tak bisa "taken for granted", sebab ia bisa terus bertumbuh sebagai "flash point" atau "titik didih" bagi suatu ledakan gejolak politik raksasa.

Kisah di kalangan eksekutif dan yudikatif tak jauh beda. Di kedua lembaga ini pun penyalahgunaan kekuasaan sama sekali tidak kurang. Penyalahgunaan kekuasaan sistemik bermula di masa Demokrasi Terpimpin lewat pencampakan demokrasi dengan segala akibat tragisnya. Genosida terbesar di abad ke-20 atas saudara-saudara sebangsa berlaku tepat di persimpangan akhir Demokrasi Terpimpin dan awal Orde Baru.

Sepanjang rezimnya, Soeharto tak hanya mencampakkan demokrasi, tetapi juga menginjak-injak nasion serta menegakkan hukum rimba. Padahal, dalam korpus ilmu politik modern makin disadari niscayanya simbiosis nasion dan demokrasi. Krisis multi-dimensi yang menimpa bangsa kita dalam 17 tahun terakhir merupakan konsekuensi penafian pakem demokrasi dan penginjak-injakan nasion. Pencampakan nasion-demokrasi itu pulalah yang paling menandai kiprah dan panggung politik era Reformasi.

Laku penghalalan cara dan/atau penyalahgunaan kekuasaan baik dari Demokrasi Terpimpin maupun terutama dari Orde Baru masih membelit ketiga cabang pemerintahan kita. Seperti Presiden Jokowi banyak tersandera oleh kalangan partai berjiwa atau bermetamorfosis Orde Baru, begitu pula bangunan politik Reformasi masih terbelit kencang oleh masa lalu. Di dalam keterpenjaraan pada laku penghalalan cara dan/atau penyalahgunaan kekuasaan itulah mayoritas perilaku, praktik, dan kebijakan negara kita melecehkan, mengkhianati, dan mencampakkan Pancasila. Tidak berlebihan jika kita tegaskan bahwa pengkhianatan terbesar terhadap Pancasila dilakukan negara kita sendiri lewat para pelaksana dan alat-alatnya.

Maka, kembali perlu ditegaskan bahwa wacana "empat pilar kebangsaan" beserta sadurannya "empat pilar MPR" merupakan siasat eskapis yang sangat menipu karena keduanya menolak hukum kontradiktoris negara. Sebelum menjadi ideologi negara, Pancasila pada hakikatnya adalah falsafah nasion. Subyek Pancasila bukanlah negara, melainkan nasion. Sebutan "negara-bangsa" atau nation-state juga men-subyek-kan nasion, bukan negara. Dalam kondisi negara ideal sekalipun, kita harus selalu menyadari bahwa ia tetap derivat nasion yang perlu terus diwaspadai. Menjadikan Pancasila ideologi negara berarti negaralah yang seyogianya menjadi penjunjung tertinggi dan pelaksana terdepan dari ideal-ideal Pancasila. Jika negara tak melaksanakan itu, para pelaksana dan alat-alatnya mesti dikoreksi secara tegas.

Dengan kesadaran akan nasion sebagai subyek yang per sejarah sungguh tak selalu dijunjung oleh negara itu, tidaklah berlebihan untuk menyatakan bahwa di sepanjang empat perlima masa kemerdekaan kita, kumulasi pengkhianatan terbesar terhadap Pancasila dilakukan oleh negara melalui para pelaksana dan alat-alatnya. Maka, lebih daripada bela negara, yang paling imperatif bagi bangsa kita dewasa ini demi penjunjungan pada Pancasila ialah mengoreksi para penyelenggara negara beserta segenap alat-alatnya dari segenap laku penghalalan cara dan/atau penyalahgunaan kekuasaan.

Kedaulatan Asap RI

Kedaulatan Asap RI

Christianto Wibisono  ;  Pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia
                                                      JAWA POS, 23 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menko Polhukam mengumumkan secara dramatis bahwa ia membatalkan keikutsertaan dalam rombongan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat untuk koordinasi pemadaman api yang sudah menjadi fokus masyarakat internasional.

Indonesia akan jadi sorotan karena pada 30 November-11 Desember 2015 di Paris berlangsung KTT Lingkungan Hidup yang dikenal sebagai COP 21atau 21st Session of the Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change (COP21/CMP11).

Kebakaran hutan bisa terjadi di mana saja, termasuk di negara maju, seperti Australia, Kanada, dan AS. Kebakaran di Indonesia semakin menarik perhatian karena melintasi tapal batas negara yang tak mungkin dipagari kawat untuk mencegah asap memenuhi atmosfer negara tetangga kita. Tentu harus segera dicamkan, musibah tahun ini tak hanya meracuni negara tetangga, tetapi juga penduduk Sumatera dan Kalimantan, sebangsa dan setanah air menderita keracunan asap serius dan dalam jangka panjang akan melahirkan generasi pengidap radang pernapasan dan paru-paru tercemar asap.

Dua mazhab

Kami termasuk pengusul integrasi kementerian kehutanan dan lingkungan hidup karena sepakat dengan pendekatan komprehensif sinergi ekonomi dan ekologi. Kedua bidang yang seolah-olah bertentangan satu sama lain itu harus diintegrasikan.

Dalam masalah pelestarian lingkungan dan pemeliharaan hutan tropis sebagai paru-paru dunia dan warisan umat manusia, dua mazhab seolah-olah bertentangan. Mazhab pertama adalah kubu yang apriori menghentikan seluruh pengelolaan hutan industri dan komersial dengan dalih bahwa hutan harus dilestarikan. Dalam mazhab ini tentu tersua para pendekar lingkungan dari LSM yang gurem sampai yang konglomerat, seperti The Nature Conservancy yang asetnya 6,7 miliar dollar AS.

Pada 24 September 2007 di sela-sela KTT Lingkungan Hidup PBB di New York, 11 negara lokasi hutan hujan tropis membentuk Forestry 11 yang diprakarsai Presiden SBY dan Presiden Luiz Ignacio Lula da Silva dari Brasil. Lula yang tokoh buruh berpandangan unik tentang pelestarian hutan tropis: berkeberatan bahwa Brasil (dan negara tropis lain seperti Indonesia dan Kongo) hanya boleh berperan jadi satpam penjaga hutan dengan uang receh satpam 1-2 miliar dollar AS, lalu dilarang total mengembangkan industri kehutanan yang merupakan aset nasional, di samping perannya sebagai warisan umat manusia dan paru-paru dunia.

Lula menyatakan bahwa 11 negara hutan tropis yang tergabung dalam Forestry 11 harus boleh dan bisa mengembangkan industri berbasis kehutanan dengan tetap melestarikan hutan tropis. Lima besar negara hutan tropis: Brasil (1.800.000 mil2), Republik Demokratik Kongo (683.400 mil2), Indonesia (490.349 mil2), Peru (289.576 mil2), dan Kolombia (258.688 mil2). Pada Februari 2011, Forestry 11 berkembang jadi 14 negara: Brasil, Gabon, Guatemala, Guyana, Indonesia, Kamerun, Kolombia, Kosta Rika, Malaysia, Papua Niugini, Peru, Republik Demokratik Kongo, Kongo, dan Suriname.

Tahun itu juga pakar lingkungan Bjorn Lomborg menulis buku Coot It yang menobatkannya jadi the skeptical enviromentalist. Lomborg menyatakan bahwa momok pemanasan global agak berlebihan, jadi monster yang lebih gawat dari "aslinya". Analoginya mirip waktu orang heboh takut virus atau bencana Y2K. Ketika peralihan tahun 1999 ke 2000, pakar teknologi informasi India paling laris menjual program komputer anti virus Y2K. Ternyata tiada bahaya apa pun dan sistem komputer global. Tak satu pun sistem komputer macet gara-gara ganti digit tahun.

The Washington Post juga memuat seri artikel tentang The Nature Conservancy dan LSM pejuang lingkungan lain, apabila ditelusuri tingkah lakunya mempunyai agenda menguntungkan secara pendapatan dari kampanye anti perusak lingkungan dan mengandung unsur persaingan tidak sehat. Seperti kata Lula, untuk membuat negara berkembang hanya jadi satpam dan tidak bisa menjadi raja kertas, raja kayu, raja sawit, dan raja mebel dengan dalih perusak lingkungan. Kampanye pelabelan eko dan introduksi perdagangan emisi karbon merupakan kreasi negara maju yang memungut untung dari isu lingkungan dengan memperjualbelikan legitimasi produk yang dinilai "halal" menurut "agama lingkungan hidup".

Mekanisme perdagangan emisi karbon adalah juga kiat canggih para pemburu rente pasca modern yang tak kehilangan akal menciptakan isu dan program yang bernilai luhur dan bercitra positif. Sambil tetap memegang kendali dominasi dunia pasca industri, pasca ekonomi menuju ekologi über alles.

Kebakaran hutan yang terjadi di rimba Sumatera dan Kalimantan adalah tanggung jawab Indonesia. Kita akan menyelesaikan, tetapi kita juga menuntut bahwa dunia bertanggung jawab atas pelestarian dan penyelamatan serta pemeliharaan warisan umat manusia dan paru-paru dunia itu. Anggaran untuk itu hanya mungkin apabila Forestry 11 dapat mengembangkan bisnis hutan secara berkelanjutan.

Tak mungkin Forestry 11 disu- ruh hanya jadi satpam hutan, sedangkan negara maju sudah menikmati pembangunan industri seabad sebelumnya, kemudian mencegah Forestry 11 mengembangkan industri hutan berkelanjutan. Boikot atas nama lingkungan dan penghukuman atas kebakaran hutan dan bencana asap adalah arogansi mental kolonial: mendominasi dunia dengan isu ideologi lingkungan.

Kita semua berkepentingan jadi pelestari lingkungan dan harus memelihara keberlanjutan dunia dan hutan tropis. Namun, RI dan Forestry 11 harus memperjuangkan kesetaraan dan keseimbangan ekonomi dan ekologi. Inilah misi Presiden Jokowi ke COP 21-mungkin bersama Dilma Rousseff, pengganti Lula- untuk menolak hanya jadi satpam negara yang mengkhotbahkan lingkungan dan mencegah industrialisasi emerging market pemilik hutan tropis dunia.

Kedaulatan asap yang mengepul dari hutan RI harus dikelola lintas batas regional dan memerlukan diplomasi global, tidak dengan pendekatan mantri hutan dan aktivis, tetapi oleh negarawan kelas Lula dan para pendiri Forestry 11.

Bela Negara di Tengah Asap

Bela Negara di Tengah Asap

Yudi Latif  ;  Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
                                                       KOMPAS, 27 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hidup di negara ini, warga harus semakin terbiasa untuk berdamai dengan kebingungan. Kata dan kebijakan penyelenggara negara ibarat cermin retak; setiap pecahan memantulkan kedirian yang terbelah, dengan pernyataan yang tidak saling bersambungan.

Program bela negara baru saja diluncurkan pemerintah, di tengah "pembiaran" negara, khususnya pemerintah, terhadap keselamatan jutaan warga yang terancam kepungan asap. Isu utama dalam persoalan asap ini bukan ketidakmampuan pemerintah untuk memadamkan api, karena memang pekerjaan pelik. Masalahnya terletak pada ketidakberdayaan pemerintah dalam menindak perusahaan barbar pembakar hutan (lahan) dan tidak sigap dalam manajemen krisis.

Pola berulang pembakaran hutan dan lahan setiap tahun dalam skala masif mengindikasikan betapa otoritas negara sebagai institusi kebajikan publik tunduk pada kekuatan jahat perseorangan. Perilaku pemerintah, yang membiarkan jutaan warga berbulan-bulan terkepung asap, mencerminkan ketidakhadiran negara dalam penderitaan dan keterancaman rakyatnya. Semua itu merupakan pelanggaran pemerintahan negara terhadap kewajiban konstitusionalnya untuk melindungi bangsa dan tumpah darah Indonesia.

Dalam situasi kebencanaan, sesungguhnya pemerintah bisa mendorong tentara nasional untuk menunaikan tugas-tugas humaniternya. Dan dalam keadaan genting yang mengancam keselamatan jutaan warga, tentara bisa membuktikan makna kehadirannya bagi bela negara-bela bangsa.

Yang terjadi, ketika pemerintahan negara gagal mengemban kewajibannya dalam bela negara dan perlindungan bangsa, pemerintah justru menuntut warga untuk terlibat dalam program bela negara. Dalam kasus ini, watak negara belum beranjak dari mentalitas otoritarianisme: hanya pandai meminta rakyat untuk menunaikan kewajibannya tanpa kesediaan negara untuk memenuhi hak-haknya.

Tentang program bela negara sendiri, ada hal yang perlu diluruskan. Memang benar, menurut Pasal 30 (1) Undang-Undang Dasar 1945, "Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara." Meski demikian, usaha bela negara tidaklah identik dengan wajib militer.

Pengertian bela negara yang lebih luas daripada wajib militer itu makin terasa relevansinya dalam era peperangan nonkonvensional, yang kerap disebut proxy war. Dalam peperangan generasi terakhir ini, ancaman nyata atas ketahanan nasional tidaklah berasal dari serangan bersenjata, tetapi berupa serangan ideologis dan "kekuatan lunak" lain dengan menggunakan "pemain pengganti" untuk memengaruhi pusat-pusat pengambilan keputusan (the center of gravity) dan para pemuka pendapat (critical mass), yang diarahkan untuk memenuhi kepentingan "pemain-pemain" kuat (major powers).

Dalam peperangan nonkonvensional ini, sumber ancaman yang memiliki kapasitas untuk merongrong ketahanan nasional dan keselamatan warga bukan hanya berasal dari kekuatan aktor-aktor negara, melainkan juga non-negara (korporatokrasi).

Perkembangan ini juga memaksa kita untuk meninjau ulang pemahaman tentang keamanan (security). Berakhirnya Perang Dingin, bersamaan dengan meluasnya pengaruh globalisasi peran aktor-aktor non-negara, pengertian tradisional tentang keamanan yang berfokus pada keseimbangan dan kapabilitas militer mulai bergeser menuju konsep baru mencakup "keamanan dari berbagai ancaman kronis yang ditimbulkan oleh hal-hal seperti kelaparan, penyakit, dan represi" dan juga "proteksi dari gangguan seketika dan menyakitkan dalam pola hidup sehari-hari". Muncullah istilah human security (keamanan insani) yang secara luas dapat didefinisikan sebagai "proteksi individual dari pelbagai risiko terhadap keselamatan fisik dan psikologis, martabat, dan kesejahteraan".

Konsepsi keamanan insani mentransformasikan persoalan security dari pengertian tradisionalnya yang berfokus pada keselamat- an negara dari ancaman militer menuju perhatian pada keselamatan orang dan komunitas. Keamanan insani menjanjikan fokus pada individual dan masyarakat, tetapi lebih dari itu juga pada nilai dan tujuan, seperti martabat, kesederajatan, dan kerukunan. Keamanan insani meliputi keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan, keamanan personal, keamanan komunitas, dan keamanan politik.

Dengan pergeseran itu terbentanglah di hadapan kita medan bela negara yang amat luas. Setiap warga bisa mengambil peran berbeda dalam usaha bela negara sesuai dengan potensi, tugas, dan fungsinya. Yang diperlukan adalah kemampuan untuk menyinergikan peran individual tersebut ke dalam kesatuan kepentingan dan ketahanan nasional dengan cara memperkuat kecerdasan kewargaan.

Kecerdasan kewargaan bisa dibangun dengan pendalaman dan perluasan wawasan Pancasila yang dikembangkan dengan semangat gotong-royong. Praktik gotong-royong masih berjalan, tetapi acap kali dalam konotasi toleransi negatif, "tolong-menolong dalam kejahatan dan perusakan". Gerakan revolusi mental harus menempatkan gotong-royong itu dalam konteks toleransi positif, "tolong-menolong dalam kebaikan dan pembangunan". Semangat toleransi yang memadukan kemandirian dan kerja sama dalam menunaikan pelayanan publik dan kemanusiaan penuh tanggung jawab dan bermutu untuk kemuliaan hidup bersama.

Menyoal Aturan Tata Kelola Gas Bumi

Menyoal Aturan Tata Kelola Gas Bumi

Marwan Batubara  ;  Indonesia Resources Studies, IRESS
                                                       KOMPAS, 27 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemerintah sedang menyusun Peraturan Presiden tentang Tata Kelola Gas Bumi yang akan segera terbit. Perpres itu akan merupakan bagian dari berbagai paket kebijakan ekonomi yang diterbitkan pemerintah sejak September 2015.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi IGN Wiratmaja Puja mengatakan, perpres ini akan terbit pada Oktober 2015. Ketentuan yang akan diatur dalam perpres antara lain terkait dengan masalah tata niaga, sistem alokasi, skema harga, infrastruktur gas, dan badan penyangga atau agregator gas (AG).

Tampaknya perpres memang mendesak diterbitkan karena regulasi yang liberal telah membuat industri gas nasional kekurangan pasok, infrastruktur tidak terbangun, konsumen tidak berkembang, harga antarwilayah tidak seragam, dan bauran energi memburuk. Meski demikian, ketentuan yang diatur dalam perpres perlu dipertimbangkan secara saksama agar sesuai dengan amanat konstitusi dan kepentingan ketahanan energi nasional, termasuk ketentuan tentang pembentukan AG.

Agregator gas berfungsi menjamin ketersediaan pasokan, melakukan agregasi harga dari beragam pasokan, membangun infrastruktur, mengembangkan permintaan, dan mengelola portofolio gas untuk disalurkan ke berbagai segmen pelanggan. Peran AG antara lain melakukan pengumpulan gas dari berbagai sumber, membangun infrastruktur dari sumber hingga konsumen, menjamin pelayanan sesuai dengan level kebutuhan, menjamin keamanan pasokan, mengelola infrastruktur yang terintegrasi dan melayani konsumen dengan harga seragam. Guna membentuk AG, antara lain perlu diperhatikan peran dan dampaknya dalam struktur industri gas, jenis AG yang dipilih, dan upaya penyeragaman harga gas.

Ada tiga kemungkinan implementasi AG: AG pasokan, AG konsumen (permintaan), dan AG pasokan-konsumen. Sebagai pasokan, AG bertindak sebagai badan usaha yang menjamin opti- malisasi pengelolaan portofolio pasokan gas yang bersumber dari dalam dan luar negeri bagi keandalan penyaluran gas, sekaligus melakukan agregasi harga untuk optimalisasi pemanfaatan. Agregator gas pasokan mengidentifikasi dan memetakan potensi pasokan domestik dan juga berperan sebagai importir tunggal untuk posisi tawar lebih baik. Namun, untuk penyediaan gas ke pengguna, AG pasokan melakukan mekanisme kompetisi pada pedagang dan distributor gas.

Upaya besar, waktu lama

Agregator gas konsumen berperan sebagai penjamin optimalisasi portofolio pengguna melalui agregasi atas perbedaan willingness to pay pengguna antarsegmen dan antarwilayah untuk optimalisasi pemanfaatan gas. Agregator gas konsumen juga berfungsi mengagregasi beda biaya infrastruktur antarwilayah untuk optimalisasi pemerataan pemanfaatan gas, sinkronisasi dan koordinasi pengembangan permintaan, dan menjamin pemanfaatan gas untuk produksi hulu gas. Namun, dalam kondisi tidak terjaminnya pasokan, infrastruktur yang masih terbatas, permintaan yang tersebar, dan konsumen yang masih memerlukan peningkatan daya beli, implementasi AG konsumen memerlukan upaya yang besar dan waktu lama.

Dalam AG pasokan-konsumen, badan usaha berperan menjalankan kedua fungsi agregasi berupa jaminan keandalan pasokan dan jaminan pemanfaatan gas secara terintegrasi. Menilik peran yang dapat dijalankan lebih komprehensif, maka jika dibandingkan dengan AG pasokan dan AG konsumen, badan usaha AG pasokan-konsumen, atau disebut AG nasional, dapat dianggap pilihan yang cukup layak diimplementasikan. Namun, karena industri gas saat ini lebih bermasalah pada peningkatan pemanfaatan dibandingkan dengan ketersediaan pasokan, maka badan usaha AG nasional diharapkan lebih menitikberatkan peran pada percepatan peningkatan pemanfaatan dan permintaan gas.

Dalam praktiknya, predikat AG nasional hanya layak disandang oleh BUMN, yakni PGN dan Pertamina/Pertagas. Jika ingin memilih salah satu, dan titik berat tertuju pada upaya peningkatan pemanfaatan dan konsumen, pilihan jatuh pada PGN. Namun, jika titik berat pada keandalan pasokan, pilihan jatuh pada Pertamina. Menilik kondisi riil industri gas nasional yang perlu mengejar peningkatan jumlah konsumen dan perluasan infrastruktur, predikat AG nasional tampaknya layak dijalankan oleh PGN. Untuk kedua alternatif pilihan tersebut berlaku prinsip bahwa sinergi kedua BUMN tetap harus diutamakan.

Sebelum pilihan dituangkan dalam peraturan, perlu disadari bahwa sektor pelayanan gas merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga harus dikuasai oleh negara (Pasal 33 UUD 1945). Karena itu, kebijakan yang diambil bukanlah meneruskan hal-hal yang telah telanjur liberal dalam UU No 22/2001 tentang Migas seperti ketentuan tentang alokasi dan pemanfaatan gas, unbundling dan akses terbuka, eksistensi pedagang, lelang infrastruktur, tetapi mengembalikan peran penguasaan negara melalui BUMN.

Faktanya, UU No 22/2001 dan peraturan turunannya memuat ketentuan liberal yang prematur karena-bahkan-di negara-negara asalnya (OECD) tak mendadak diterapkan. Secara global, cara paling efisien kompetisi pasar gas melewati tahap monopoli dan integrasi bisnis vertikal, kompetisi antarpipa, kompetisi pasar grosir dan akses terbuka, serta kompetisi eceran penuh. Ini sejalan dengan tingkat kematangan deregulasi tiap negara yang umumnya berevolusi melalui tahap embrionik, pertumbuhan, kematangan, dan liberalisasi. Evolusi deregulasi dan kompetisi pasar gas negara maju butuh puluhan tahun untuk sampai ke fase matang, yang salah satunya ditandai dengan terbangunnya infrastruktur di seantero negeri pada fase monopoli.

Melangkahi dua fase

Melalui UU No 22/2001, saat ini Indonesia berada pada fase liberal dengan melangkahi fase pertumbuhan dan kematangan. Padahal, jika berpegang teguh pada Pasal 33 UUD 1945, fase liberal pun tak layak dijalani. Kita harus tetap menjadikan sektor gas nasional berada di tangan BUMN yang memegang hak monopoli alamiah. Kesalahan fatal menetapkan UU No 22/2001 yang meliberalisasi sektor gas nasional pada fase embrionik, saat sebaran infrastruktur masih berada pada level 20 persen dibandingkan dengan harus matang 100 persen terlebih dulu, telah menghasilkan terhambatnya pelayanan dan pemanfaatan gas, buruknya bauran energi, rapuhnya ketahanan energi, tak berkembangnya industri, dan terdampaknya ekonomi nasional.

Jika demikian, rencana pemerintah untuk segera menerbitkan perpres tata kelola gas perlu dikaji ulang. Kita tak berharap tujuannya hanya untuk kepentingan terbitnya paket kebijakan, tetapi kehilangan substansi dan kebutuhan untuk mengatasi permasalahan. Indonesia perlu melewati berbagai fase pengembangan yang merupakan praktik terbaik di seluruh dunia yang bahkan dilalui negara-negara penganut paham liberal, seperti AS, Inggris, Perancis, Kanada, dan Selandia Baru. Apalagi, ternyata kita harus konsisten dengan amanat konstitusi di mana perekonomian disusun berdasarkan asas kekeluargaan.

Karena itu, dengan kebutuhan untuk melalui fase embrionik secara penuh agar infrastruktur terbangun dan rakyat terlayani di seantero negeri, implementasi AG nasional atau badan penyangga gas nasional menjadi tak mendesak. Monopoli industri gas di tangan BUMN akan otomatis menjamin terwujudnya berbagai manfaat pembentukan AG nasional. Bahkan, infrastruktur di wilayah marjinal dan rendah produk domestik regional bruto akan terbangun melalui subsidi silang.

Perpres tata kelola gas yang akan diterbitkan mestinya ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan berbagai ketentuan liberal dalam peraturan yang ada. Sejalan dengan itu pemerintah dan DPR dituntut segera menyelesaikan pembentukan UU migas baru yang pada 2015 ini jadi RUU Prioritas Prolegnas 2015-2019.