Minggu, 25 Oktober 2015

Bela Negara atau Bela Warga?

Bela Negara atau Bela Warga?

Fajar Kurnianto  ;  Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)
Universitas Paramadina, Jakarta
                                                      JAWA POS, 21 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

NEGARA ini tidak sedang menghadapi ancaman peperangan fisik dengan negara lain. Namun, Menhan Jenderal (pur) Ryamizad Ryacudu melontarkan gagasan program bela negara. Akan direkrut 100 juta kader dengan pelatihan gaya militeris untuk 10 tahun ke depan. Ryamirzad bahkan menyatakan warga negara yang menolak perlu angkat kaki dari Indonesia. Pernyataan yang agaknya berlebihan untuk sesuatu yang tidak memiliki urgensi saat ini.

Rencana program ini mengingatkan kita akan perkataan John F. Kennedy, 
presiden Amerika Serikat (AS) yang ditembak mati di Dallas, Texas, pada 1963. ’’Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tetapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu.” Dalam perspektif ini, warga negara yang harus berperan aktif memberikan kontribusi positif bagi negara. Dengan kata lain, wargalah yang harus ’’memberi’’. Di sisi lain, negara adalah pihak yang ’’diberi’’ atau ’’menerima’’. Jadi, negara menuntut warganya untuk membelanya dalam kondisi apa pun.

Negara, kata Max Weber, adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah dengan berdasar sistem hukum yang diselenggarakan suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa (Funny, 2008).

Roger F. Soultau mendefinisikan negara sebagai alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat. Sementara itu, Aristoteles menyebut negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama (Oetari Budiyanto, 2012).

Dari beberapa definisi tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa negara adalah organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai alat (agency) yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup dalam wilayah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat dengan berdasar sistem hukum yang diselenggarakan dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.

Dalam konteks yang lebih spesifik, negara adalah pemerintahan yang punya mandat atau kekuasaan untuk menjaga wilayah dan segala isinya dari pihak-pihak di luar wilayah yang ingin berbuat jahat atau merongrong kedaulatan negara.

Menurut doktrin nasionalisme, dalam situasi perang menghadapi kekuataan asing, segenap warga negara wajib membela mati-matian bersama pemerintah dan organisasi militer di bawahnya. Jiwa raga diserahkan untuk membela negara. Sebuah ungkapan religius-teologis dari literatur Islam menyebutkan, ’’Cinta tanah air adalah bagian dari iman.’’ Kata-kata inilah yang membuat seorang KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), misalnya, menggemakan kewajiban berjihad melawan penjajah Belanda dan Jepang sampai titik darah penghabisan.

Nasionalisme dalam konteks negara sedang perang adalah ikut serta membela dan mempertahankan negara. Apakah wajib juga membela negara ketika tidak dalam situasi perang fisik seperti zaman dahulu? Saat ini, perang tak lagi fisik, tetapi ekonomi. Di dunia yang didominasi ideologi kapitalis dengan mantra pasar bebasnya, peran negara tak lagi signifikan, bahkan cenderung coba dikerdilkan, dibatasi, atau diminimalisasi. Penguasa dalam perang ekonomi adalah korporasi atau perusahaan-perusahaan mul tinasional yang melewati batas-batas negara.

Kenichi Ohmae bahkan dengan berani menulis buku berjudul The End of Nation State (1995). Inilah buku yang secara eksplisit mengumumkan berakhirnya ’’ nation state’’ atau ’’negara bangsa’’ atau nasionalisme. Menurut Ohmae, negara adalah ’’the artefact of the 18th and 19th centuries’’ (batu peninggalan abad ke-18 dan ke-19).

Dalam situasi seperti itu, organisasi militer atau aparat keamanan pemerintahan suatu negara memang tetap ada. Tapi, bukan untuk menghadang, melainkan untuk ’’mengamankan’’ kepentingan korporasi itu.

Bagaimana dengan warga negara yang kemudian terlibat konflik dengan korporasi? Misalnya, dalam konflik agraria atau lahan yang diklaim oleh kedua pihak? Dalam banyak hal, negara terlihat lebih membela korporasi, apalagi korporasi asing dan besar yang punya begitu banyak dana. Warga negara seperti asing atau teralienasi di negeri sendiri.

Siapakah yang membela warga negara dalam situasi demikian? Merekalah sesungguhnya warga yang perlu dibela. Dan, bagi mereka yang berkondisi demikian, bela negara tak ada gunanya, apalagi urgensinya. Apa gunanya membela negara yang tak membela mereka? Merekalah yang sesungguhnya perlu dibela untuk menghadapi korporasi yang membuat kehidupan ekonomi mereka jadi sulit setiap hari, menjadi korban perang ekonomi yang tak mereka lihat secara nyata, tetapi dampaknya begitu nyata mereka rasakan.

Perang yang dihadapi negara dan warganya, terutama warga lapis bawah, bukanlah perang fisik, melainkan perang ekonomi. Dalam perang ini, bukan negara yang harus dibela, melainkan warga negara. Negaralah yang harus membela dan melindungi warganya dari akibat buruknya. Maka, program bela negara bagi warga, tampaknya, tidak tepat sasaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar