Minggu, 18 Oktober 2015

Desentralisasi Bencana Nasional

Desentralisasi Bencana Nasional

Donny Sofyan  ;  Dosen Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas Padang Sumatera Barat
                                                      JAWA POS, 16 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SUNGGUHPUN sudah menelan korban lantaran telah berlangsung dalam hitungan bulan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menetapkan bahwa kabut asap bukan bencana nasional. Bagaimana mungkin kabut asap yang dampaknya lintas desa, lintas kecamatan, lintas kabupaten, lintas kota, lintas provinsi, lintas pulau, bahkan lintas negara belum dianggap sebagai bencana nasional? Sementara itu, kasus Lapindo, yang menelan satu kecamatan, Porong, sudah ditetapkan sebagai bencana nasional. Apakah keputusan tersebut diambil karena musibah ini tidak berlangsung di Jakarta atau Jawa?

Pemerintah lewat BNPB seharusnya menetapkan bencana kabut asap yang melingkupi wilayah Kalimantan dan Sumatera ini sebagai bencana nasional. Ini bukan saja karena wilayah cakupannya yang sangat luas dengan dampak penurunan kualitas kesehatan masyarakat pada titik terendah.

Ini sudah menjadi terorisme lingkungan dengan dampak kerusakan alam jangka panjang secara reguler. Mengecam pemerintah pusat yang seolah-olah melakukan pembiaran dan tidak peduli tidak akan mengurai benang kusut dari krisis lingkungan ini.

Presiden Jokowi bahkan sudah datang dan memberikan instruksi agar bencana ini bisa ditanggulangi. Pasukan TNI sedang berjibaku dengan alat yang ada untuk memadamkan atau melokalisasi kebakaran.

Upaya untuk mengatasi kabut asap ini sejatinya adalah sebuah proyek peradaban yang dimulai dari setiap daerah di negeri ini. Karena itu, perang terhadap terorisme lingkungan mesti dipahami sebagai desentralisasi bencana nasional.

Yakni, sebuah gerakan mengatasi krisis lingkungan secara nasional tanpa lagi terjebak dengan permainan saling mengambinghitamkan antara pemerintah pusat dan daerah. Jujur saja, pemerintah daerah juga perlu bersikap sportif karena krisis lingkungan ini terkait dengan kelalaian mereka.

Publik bisa saja bertanya siapa yang memberikan izin menebang hutan kepada perusahaan pertambangan dan HPH (hak pengusahaan hutan) kepada pengusaha? Lantas, apa kerja bupati, wali kota, atau gubernur di seluruh provinsi? Belum lagi, apa kontribusi perusahaan pertambangan dan HPH milik asing untuk memadamkan kebakaran hutan di Indonesia?

Keniscayaan desentralisasi bencana nasional ini amat urgen untuk mempersiapkan rencana jangka pendek dan jangka panjang yang komprehensif dengan melibatkan semua stakeholder. Yaitu, lewat penegakan hukum agar hal ini tak akan terulang kembali tahun depan dan seterusnya.

Ini tentu diawali dengan adanya kepemimpinan yang kuat dan penuh kepeloporan di daerah dalam memobilisasi rakyat. Kemampuan menggerakkan segenap lapisan warga akan memberikan pelajaran secara langsung kepada masyarakat agar menjaga lingkungan, terlebih hutan.

Apa yang dilakukan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil bisa menjadi contoh yang menarik. Sebelum penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Bandung beberapa waktu lalu, Ridwan Kamil mengajak semua warga untuk kerja bakti. Ini terbukti mujarab bagi kesuksesan penyelenggaraan pergelaran tersebut.

Pendekatan serupa seyogianya bisa juga diterapkan di daerah-daerah yang terkena kebakaran hutan. Wali kota atau bupati di daerah terkena kabut hendaknya bisa mengajak semua warga untuk bergotong royong melakukan pemadaman atau membuat kanal guna mempercepat proses pemadaman kebakaran.

Pemerintah daerah juga perlu melibatkan masyarakat penghuni hutan belantara yang selama ini tanpa berdosa sering diasosiasikan dengan suku-suku primitif. Padahal, mereka juga adalah korban yang tak kalah parahnya dibandingkan saudara-saudara mereka di perkotaan.

Sungguh miris banyak penduduk asli perkampungan Sakai di tengah hutan Riau atau perkampungan Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi yang tidak tahu bahwa asap itu berasal dari hutan yang dibakar.

Tak kalah pentingnya, upaya desentralisasi bencana nasional ini akan lebih efektif bila pemerintah daerah bekerja sama dengan tokohtokoh informal atau mantan pejabat daerah yang terkenal karismatis.

Di Sumatera Barat, sebagai salah satu daerah yang terkena dampak kabut asap, upaya ini bisa dijalankan lewat adanya kesadaran kolektif untuk melakukan derantaunisasi. Yakni, sebuah gerakan pulang kampung secara sadar guna terjun langsung demi berkontribusi bagi Ranah Minang.

Pemerintah Kota Padang, misalnya, bisa mengundang dan memberikan ruang sosial bagi sosok karismatis seperti Syahrul Ujud, wali kota Padang 1983–1993, untuk sepenuhnya tinggal di Padang dalam rangka memadukan semangat warga Padang menyukseskan gerakan mengatasi bencana nasional.

Umur administratif seorang Syahrul Ujud memang telah berakhir seiring dengan habisnya jabatannya sebagai wali kota Padang pada 1993. Namun, umur kulturalnya belum usai, tidak hanya di ruang hati orang-orang yang pernah merasakan kepemimpinannya, tapi juga di alam pikiran orang-orang yang sekadar mendengar indahnya masa lalu (good old days) di bawah kepemimpinan sang wali kota.

Ikhtiar kolektif untuk memerangi terorisme lingkungan di daerah merupakan strategi jitu. Upaya tersebut mengandung konsekuensi jangka panjang bagi kelestarian lingkungan di satu sisi dan peningkatan kualitas kesehatan kemanusiaan di sisi lain. Sebab, gerakan ini menyenyawakan etos kemandirian dan kearifan lokal secara tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar