Jumat, 16 Oktober 2015

Dusta Komunis di Tengah Bangsa

Dusta Komunis di Tengah Bangsa

Achmad Fazeri  ;  Wartawan Kelompok Media Hidayatullah;
Alumnus Sekolah Tinggi Agama Islam Lukman Al-Hakim Surabaya
                                                    REPUBLIKA, 01 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Masih ingatkah kita dengan Marxisme-Leninisme-Stalinisme-Maoisme? Mereka merupakan penganut ideologi komunisme di seluruh dunia sejak abad ke-20 dan masuk ke Indonesia pada awal abad ke-21. Bahkan sampai sekarang mereka masih saja tetap gigih memperagakan "wajah berlapis topeng" dengan tiga dusta raksasa melalui berbagai media massa.

Kita tahu bahwa Muso sang pembawa paham komunisme di Indonesia itu merupakan salah satu pengikut atau bisa disebut sebagai binaan Stalin. Ia adalah tokoh Partai Komunis Indonesia yang melakukan pemberontakan pada 1926, kemudian kabur ke Moskow. Hingga akhirnya ia kembali ke Indonesia pada 11 Agustus 1948 setelah sekitar 22 tahun ia bermukin di ibu kota Rusia Soviet tersebut.

Penulis tidak akan membahas sepak terjang pemberontakan Muso dengan pembantaian yang dilakukan bersama anak buahnya di Indonesia. Namun, dalam pemaparannya penulis akan mengulas tiga dusta yang digencarkan pengikut keempat paham komunisme di atas hingga kini.

Meski kita tahu paham komunis itu sudah babak belur bersama robohnya Tembok Berlin dan runtuhnya 21 negara komunis di seantero dunia, di Indonesia mereka masih gigih mencoba bangkit memanfaatkan kesempatan pada zaman reformasi dengan keterbukaan dalam kebebasan berekspresinya. Kegigihan itu mereka tuangkan dalam dusta yang sangat luar biasa.

Topeng tiga dusta raksasa mantan komunis yang mereka perankan sekarang ini sebagai sebuah senjata, yaitu pejuang hak asasi manusia (HAM), prodemokrasi, dan tidak antiagama. Kalau dibahasakan dengan kalimat sastra ala Taufiq Ismail, ketiga wajah topeng tersebut digambarkan dalam tarian panggung sandiwara dengan berbagai bentuk maupun warnanya, iringan instrumen musiknya pun bisa memanfaatkan gamelan tradisional atau bahkan band pop anak-anak muda yang mutaakhir.

Kemudian, pementasannya disesuaikan dengan tempat dan kelas dari penonton yang hadir. (Taufiq Ismail, Katastrofi Mendunia, Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoxisma, Narkoba, Yayasan Titik Infinitum, Jakarta, Juni 2005, Cetakan Ketiga).

Belum pernah ada satu kelompok manusia, bangsa, agama, ataupun partai politik di seluruh jagat raya ini yang mampu menandingi keganasan partai komunis dalam menganiaya HAM. Penganiayaan mereka terhadap HAM yang paling klimaks adalah pencabutan nyawa secara massal melalui pembantaian manusia yang dilakukan secara sadis dan keji. Mereka selalu mengaku-aku sebagai pembela HAM, tetapi faktanya adalah penganiaya HAM yang paling ganas dalam sejarah kemanusiaan.

Berikut bukti hasil temuan keganasan pembantaian manusia pada abad ke-20 yang dilakukan oleh pengikut Palu Arit: 500 ribu rakyat Rusia dibantai Lenin (1917-1923), 6 juta petani kulak Rusia dibantai Stalin (1929), 40 juta rakyat Rusia dibantai Stalin (1925-1953), 2,5 juta rakyat Kamboja dibantai Pol Pot (1975-1979), 50 juta penduduk Cina dibantai rezim komunis Rusia Soviet (1950-1980-an), 150 ribu rakyat Amerika Latin dan 1,7 juta rakyat Afrika dibantai, serta 1,5 juta rakyat Afghanistan dibantai Najibullah (1978-1987). (Stephen Courtois [editor], The Black Book of Comunism-Crimes, Terror, Repression, Havard University Press, 2006, dengan enam penulis kontributor, 858 halaman).

Jika penganiayaan HAM itu direkonstruksi dalam kerangka waktu, bisa terbaca dengan perkiraan sebagai berikut. Selama 74 tahun (1917-1991), partai komunis sedunia telah membantai 100 juta manusia di 76 negara sehingga rata-rata 1,350 juta orang setahun atau 3.702 sehari, 154 per jam, 2,5 orang per menit.

Angka-angka di atas membuktikan bahwa partai komunis sedunia, bahkan partai komunis yang dibawa Muso ke Indonesia, juga merupakan kumpulan penganiayaan HAM terganas sepanjang catatan sejarah. Dan HAM yang dianiaya bukan saja hak berbicara, berserikat, maupun berkeluarga, tetapi juga hak menggunakan nyawa yang diberikan oleh Tuhan yang Maha Esa.

Seluruh geng Palu Arit secara tidak sengaja harus ikut bertanggung jawab terhadap kekejaman kolektif itu. Tidak ada kepemimpinan komunis yang berani menentang Josef Stalin kecuali Yugoslavia di bawah Josip Broz Tito yang akhirnya juga dikucilkan oleh sesama negara Palu Arit karena dicap sebagai revisionis.

Dengan bukti angka-angka pembantaian itu, klaim mantan dan simpatisan baru PKI atau Komunis Gaya Baru (KGB) pada abad ke-21 ini yang mengaku-aku diri mereka sebagai sang pembela HAM, dengan sendirinya terbantah begitu telaknya.

Pada zaman reformasi seperti sekarang ini, kebebasan berekspresi di media sangat dijunjung tinggi, sebagaimana negara Indonesia yang menerapkan asas demokrasi. Namun, bisa kita cermati sekilas, sebuah negara Palu Arit di Polandia, di mana mereka menjamin yang namanya kebebasan, tetapi supaya tidak anarkistis, maka penting adanya sejumlah pembatasan. Kisi-kisi dari pembatasan itulah disebut dengan istilah "Sepuluh Tidak Boleh" yang perlu diperhatikan setiap warga negara.

Di negara komunis tidak ada yang namanya demokrasi. Kekuasaan dalam gaya komunis harus direbut paksa melalui cara apa saja dengan doktrin tujuan menghalakan segala cara. Ringkasnya, apa pun yang dicapai sebagai tujuan, maka cara yang digunakan bebas untuk dipilih. (Colegrove: 1957, Schwarz: 1972, Conquest: 1990, Nihan: 1991, Moeljanto: 1995, dll).

Dari situ jelas, di negara komunis yang mengaku menjamin kebebasan berekspresi di media sebagai wujud dari asas demokrasi, tetapi justru senarai ketidakbebasan dalam berekspresi. Dan ketidakbebasan media di Polandia pada 1908-an ini kurang lebih sama seperti di negara Palu Arit lainnya, yang selalu menganggap diri mereka prodemokrasi.

Partai komunis dunia maupun Indonesia sejatinya tidak berani berterus-terang memperlihatkan ciri keateisan (anti-Tuhan) mereka dengan alasan karena tidak ingin kehilangan para pengikutnya, apalagi di Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim. Tapi, jika mereka berdiskusi di kalangan internal, orang-orang yang shalat, ibadah haji, bahkan pastor dilecehkan habis-habisan. Presiden Sukarno yang marhaenis saja diejek sebagai priyayi borjuis (Moeljanto: 1995).

Ekspresi anti-Tuhan di bidang kesenian juga pernah tampak melalui sebuah drama dengan lakon berjudul "Matine Gusti Allah" (Matinya Tuhan) yang dipentaskan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di Yogyakarta dan di berbagai kota di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Kenekatan Lekra—salah satu organisasi komunis—mementaskan drama ini ke beberapa kota dinilai melecehkan agama. Dan di setiap pementasan selalu terjadi perkelahian (Moeljanto: 1995).

Jika mencermati perkataan para penggagas komunisme kelas dunia, justru mereka jauh lebih berani lagi melecehkan keberadaan Tuhan, sebagaimana dikatakan Marx, "Eksistensi Tuhan tidak masuk akal. Tuhan adalah konsep yang menjijikkan. Pendek kata, aku menaruh dendam ke semua Tuhan." Sementara, Lenin kecil di usia yang ke-16 tahun pernah berucap, "Aku sudah patah arang dengan semua masalah agama, kalung salibku kucopot dan kucampakkan ke tong sampah," (Volkogonov 1994).

Bahkan Lenin menyeru, "Matilah agama dan hiduplah ateisme! Ateisme adalah bagian alamiah dan tak terpisahkan dari Marxisme, dari teori dan praktik sosialisme ilmiah. Propaganda kita memang mencakup propaganda ateisme."

Dengan fakta ini, topeng mereka yang menyatakan tidak anti-Tuhan itu percuma dan dengan sendirinya terbantahkan. Menurut hemat penulis—sekaligus masukan bagi para pemuja komunis ataupun saudara-saudara mantan komunis—alangkah baiknya setelah membaca tulisan ini, kemudian ikhlas menanggalkan ideologi yang penuh kedustaan itu.

Andai kata masih tetap berkukuh untuk terus berupaya membangkitkan komunis, mengibarkan panji berlambang palu arit di Indonesia, pastikan bahwa bangsa dan negara ini akan menolak keras hingga semua upaya itu menemui kegagalan.

Pemerintah sudah pernah memaafkan kekejian dan keganasan partai komunis dalam melakukan pembantaian, meskipun itu tidak berlangsung lama. Namun, hal terpenting yang perlu menjadi catatan bagi saudara-saudara kita yang masih simpati dan membela komunis adalah bangsa dan umat ini menolak keras ideologi komunis ada di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar