Sabtu, 17 Oktober 2015

High Speed Rail Versus Matinya BUMN

High Speed Rail Versus Matinya BUMN

Agus Pambagio  ;  Pengamat Kebijakan Publik
                                                    DETIKNEWS, 05 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pembangunan High Speed Rail (HSR) atau kereta super cepat akhirnya disetujui oleh Presiden Jokowi dengan syarat tidak menggunakan dana APBN atau harus dibangun oleh swasta atau business to business (B to B) serta tanpa jaminan dari Pemerintah. Rupanya lobi pemrakarsa ke Presiden dan pihak China, sangat dasyat. Pertanyaannya, pihak swasta nasional mana yang sanggup membangun infrastruktur seperti HSR yang sarat capital dan merupakan investasi berjangka panjang?

Munculnya investor China ini sebagai pemenang untuk pembangunan HSR, memang mengejutkan banyak pihak, mengingat studi kelayakan mereka dibuat relatif sangat singkat (3 bulan) dan bisa menang. Yang lebih mengejutkan isi studi kelayakan (FS) mirip dengan studi kelayakan yang dibuat oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) selama 1,5 tahun lebih. Alasan Menteri Negara BUMN, kerjasama dengan China lebih menguntungkan daripada dengan JICA, karena tingkat suku bunga lebih rendah dan tidak diperlukan dana dan jaminan Pemerintah RI.

Apakah betul tanpa jaminan Pemerintah dan penggunaan dana APBN, proyek ini bisa berjalan? Apakah sudah dikaji bahwa ke empat BUMN (PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga Tbk, PTPN VIII dan PT KAI) yang ditugaskan secara finansial mampu? Bagaimana jika equity masing-masing BUMN tersebut tidak cukup dan harus menanggung hutang jangka panjang dalam mata uang asing (kemungkian Yuan dan US Dollar)?

Benarkah Dana APBN Tidak Dibutuhkan Dalam Pembangunan HSR ?

Menurut saya hampir tidak mungkin membangun infrastruktur mahal dan selalu merugi dalam operasinya, tidak memerlukan dana Pemerintah. Menurut FS yang dibuat oleh Konsorsium China, dengan harga tiket sekitar Rp 200 ribu/orang dan asumsi jumlah penumpang mencapai 44 ribu orang/hari pada tahun pertama, 68 ribu penumpang pada tahun 2030 dan 148 ribu orang/hari pada 2050, HSR akan untung besar.

Pertanyaannya, bagaimana kalau target penumpang tidak tercapai dan nilai Rupiah terus meluncur? Ketika target tidak tercapai dan kemudian operasional HSR mengalami kerugian, maka pemerintah tidak akan mungkin diam membiarkan infrastruktur yang sudah jadi itu tidak berfungsi. Ujung-ujungnya pasti Pemerintah akan memberikan Penyertaan Modal Negara (PMN) atau mengeluarkan subsidi untuk operasional HSR. Keduanya bersumber pada APBN. Lalu dimana B to B nya?

Mari kita kupas sisi lain, yaitu investasi dan regulasi yang akan memayungi pembangunan dan operasional HSR. Dalam waktu dekat akan segera diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) dan dilanjutkan dengan pembentukan Special Purpose Vehicle (SPV). Dimana komposisi saham konsorsium BUMN Indonesia sebesar 60% (4 BUMN, dipimpin oleh PT Wika, Tbk) dan konsorsium BUMN China 40% (6 Perusahaan, dipimpin oleh China Railway).

Dari total investasi sekitar Rp. 78 T (1 USD = Rp. 14.000), equity konsorsium BUMN Indonesia adalah 25% (Rp. 19,5 T) yang harus disiapkan sesuai dengan permintaan perbankan China sebagai pemberi pinjaman. Sisanya 75% (Rp. 58,5 T) berupa pinjaman konsorsium BUMN ke Pemerintah China dalam mata uang asing (Yuan atau USD).

Adapun komposisi saham konsorsium ke 4 BUMN (60%) adalah sebagai berikut: PT Wijaya Karya (WIKA) Tbk 38%, PT Jasa Marga (JM) Tbk 12%, PTPN VIII 25% dan PT KAI 25%. Di konsorsium, PT WIka Tbk akan terbebani equity sebesar 38% x Rp. 19,5 T = Rp. 7,41 T; PT JM Tbk sebesar 12% x Rp. 19,5 T = Rp. 2,34 T; PTPN VIII sebesar 25% x Rp. 19,5 T = Rp. 4,875 T; dan PT KAI sebesar 25% x Rp. 19,5 T = Rp. 4,875 T. Atau total equity yang harus disetor Konsorsium BUMN Indonesia adalah Rp. 19,5 T.

Pertanyaannya, apakah ke 4 BUMN tersebut mampu  membangun dan mengoperasikan HST dengan kemampuan sendiri untuk modal SPV ? Kalau tidak mau menggunakan PMN, pastinya harus pinjam juga. Jadi dasyat betul beban yang harus ditanggung oleh 4 BUMN tersebut. Sebagai penganalisa jalanan, saya sampaikan pula, bahwa mustahil ke 4 BUMN ini bisa survive dan melanjutkan bisnis intinya.

Berdasarkan data publik, total consolidated equity (termasuk anak perusahaan) PT Wika,Tbk hanya sebesar Rp. 5 T dan PT JM Tbk hanya sebesar Rp. 11,4 T. Lalu ketika harus mengusung HST dengan setoran saham dan hutang yang besar, apakah keduanya bisa langsung berinvestasi tanpa meminta persetujuan pemegang saham minoritas ? Ini inmaterial, jadi menurut saya harus melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Apalagi resiko investasi HST sangat tinggi.

Dari sisi PT KAI dan PTPN VIII yang bukan perusahaan publik, menjalankan bisnisnya dengan aset yang berbentuk tanah tentunya juga tidak mudah. Equity PT KAI sekitar Rp. 7 T, sedangkan PTPN VIII belum selesai saya kaji. PT KAI tahun 2014 harus kehilangan 25% labanya karena ditarik sebagai deviden oleh Pemerintah dan mulai tahun ini harus membayar hutang investasi lebih dari Rp. 1,2 T/tahun. Tahun ini PT KAI harus menunda pembelian rangkaian kereta karena dananya tidak mencukupi. Lalu bagimana ketika harus setor Rp. 4,875 T untuk HSR ?

Nah kalau sudah seperti itu maka kejatuhan 4 BUMN ada didepan mata, kecuali Pemerintah mau menyetorkan PMN kepada mereka supaya secara keuangan prudent. Lalu dimana skema B to B nya ? Mohon ibu Rini Soemarno bisa menjelaskan kepada publik skema B to B nya HSR secepatnya.

Langkah Yang Harus Diambil

Tidak ada jalan lain, utnuk menyelamatkan 4 BUMN tersebut, Pemerintah harus mengalokasikan PMN melalui APBN atau siapkan subsidi ketika HSR ini beroperasi atau batalkan HSR. Kalau ternyata Pemerintah menyuntikan PMN kepada 4 BUMN tersebut, artinya ada pembohongan publik yang dilakukan oleh Pemerintah karena proyek HSR ini bukan Business to Business tetapi menggunakan APBN. Tahu dan sadarkah Presiden ? Terus apa maksud Menteri BUMN begitu semangatnya memaksakan HSR ini dibangun, sementara Menteri
Perhubungan menolak. Tanpa HSR pun bangsa Indonesia tidak rugi. Pasti ada udang dibalik jendela.

Kesimpulannya batalkan HSR karena investasi dan operasionalnya terlalu mahal dan menyimpang dari Nawacita. Kemudian warga Jakarta atau Bandung juga belum memerlukan HSR, cukup perbaiki saja sarana kereta api yang ada supaya dapat menjadi medium speed train tidak perlu HSR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar