Senin, 19 Oktober 2015

Integrasi Ekonomi dan Volatilitas

Integrasi Ekonomi dan Volatilitas

Firmanzah  ;  Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar FEUI
                                                  KORAN SINDO, 12 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam satu minggu terakhir, nilai tukar rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG) melonjak. Nilai tukar rupiah berdasarkan Bloomberg Index pada Jumat (9/10) menguat 475 poin atau 3,42% ke level Rp13.412 per dolar Amerika Serikat (AS).

IHSG pada hari yang sama naik 2,18% ke level 4.589. Nilai tukar rupiah tercatat telah terapresiasi signifikan setelah pernah menyentuh titik terendah Rp14.900 per dolar AS beberapa waktu lalu. IHSG juga sempat mengalami tekanan dan berada di titik terendah pada Agustus 2015 di level 4.163.

Naik turunnya nilai tukar dan indeks saham tidak hanya dialami Indonesia, melainkan juga sejumlah negara berkembang lain seperti Malaysia, Brasil, Thailand, dan Afrika Selatan. Volatilitas di pasar keuangan menjadi konsekuensi dari semakin terintegrasinya ekonomi suatu negara ke sistem ekonomi kawasan maupun global. Saya melihat menguatnya nilai tukar rupiah dan IHSG dalam beberapa waktu terakhir merupakan hasil kombinasi dari dua hal.

Pertama, keseriusan otoritas ekonomi, baik pemerintah, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang secara kolektif memperkuat daya tahan dan fundamental ekonomi nasional. Para pelaku pasar mulai melihat arah perbaikan baik di sektor moneter, fiskal maupun sektor riil setelah pemerintah meluncurkan serangkaian paket kebijakan ekonomi.

Kedua, sentimen eksternal yang selama ini sangat menekan ekonomi Indonesia, yaitu ditundanya kenaikan suku bunga The Fed yang banyak kalangan memproyeksikan dilakukan pada tahun ini. Rilis data sektor ketenagakerjaan dan pernyataan sejumlah pejabat Bank Sentral AS menurunkan spekulasi kenaikan suku bunga tahun ini. Hal ini membuat investor kembali memasukkan dananya ke pasar keuangan negara berkembang dan emerging.

Sementara itu, stimulus moneter Jepang dan Uni Eropa juga memberikan sentimen positif dan meningkatkan likuiditas global. Langkah dua otoritas tersebut membuat uang beredar terjaga dan meningkatkan permintaan terhadap surat utang negara (SUN) maupun obligasi yang diterbitkan korporasi. Capital-inflow ke sejumlah negara berkembang dan emerging terjadi dan membuat nilai tukar mata uang dan pasar modal sejumlah negara yang selama ini tertekan kembali naik.

Tidak hanya nilai tukar rupiah, tetapi juga ringgit Malaysia yang dalam sepekan telah terapresiasi sebesar 6,25%. Mata uang Brasil juga menguat menjadi 3,76 per dolar AS setelah berada di titik terlemah pada September 2015, yaitu di level 4,18 per dolar AS. Sentimen penundaan kenaikan suku bunga The Fed telah memberikan angin segar kepada sejumlah negara berkembang dan emerging untuk bernapas sebentar sekaligus momentum untuk memperkuat fundamental ekonomi.

Terlebih, sejumlah persoalan di tingkat eksternal masih membayangi pemulihan ekonomi negara berkembang dan emerging seperti pelemahan ekonomi China dan merosotnya harga komoditas. Pelajaran yang dapat kita petik dari situasi di pasar keuangan dalam beberapa waktu terakhir adalah kesadaran bahwa ekonomi nasional semakin terintegrasi dengan sentimen regional dan global. Aliran dana asing keluar-masuk ke ekonomi nasional akan mudah terjadi mengikuti kinerja ekonomi riil dan faktor psikologis investor atau bahkan aspek spekulasi para fund-manager global.

Ketika investasi di suatu negara dianggap kurang menguntungkan dan peluang mendapatkan keuntungan di tempat lain lebih tinggi, akan dengan mudah dana berpindah keluar dari negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, apabila suatu negara dianggap lebih memberikan keuntungan investasi yang lebih tinggi, dana asing akan masuk. Di era globalisasi dan semakin dalamnya integrasi ekonomi, proses ini terjadi secara intens dan tidak lagi gradual.

Membuat capital outflow maupuninflow terjadi secara masif dan dalam waktu singkat. Hal ini terlihat secara statistik dengan persentase kenaikan atau penurunan indikator secara tajam dan mendadak. Lantas apa yang dapat dilakukan oleh otoritas baik moneter, fiskal maupun sektor riil di suatu negara? Menurut saya, peran otoritas di suatu negara menjadi sangat penting untuk tetap menjaga daya tahan dan fundamental ekonomi terjaga.

Dihadapkan pada gejolak eksternal yang sering terjadi dan bersifat mendadak telah membuat kebijakan ekonomi di banyak negara bersifat adaptif dan responsif. Dengan semakin terintegrasi dan volatilitas ekonomi global yang sangat tinggi, banyak pihak semakin sulit merancang kebijakan yang bersifat jangka menengah maupun jangka panjang. Bahkan sering kali proyeksi kinerja ekonomi satu tahun ke depan harus beberapa kali direvisi untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan situasi yang terjadi.

Lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, OECD, ADB, dan WTO sering kali melakukan revisi atas proyeksi indikator ekonomi dunia. Bagi Indonesia, tantangan bagi pembuat kebijakan ekonomi nasional saat ini terfokus pada dua hal. Pertama, kebijakan yang bersifat responsif dan adaptif dengan perkembangan ekonomi dunia.

Sering kali untuk menjaga daya saing, daya tahan, dan fundamental ekonomi nasional, para pembuat kebijakan tidak dapat hanya inwardlooking saja. Benchmarking-policy dengan negara lain, paling tidak di kawasan ASEAN, perlu dilakukan agar kebijakan yang dihasilkan tidak hanya lebih baik dari kebijakan di masa lalu, tetapi juga kompetitif bila dibandingkan dengan kebijakan negara lain.

Misalnya kebijakan untuk menarik investasi dalam membangun proyek infrastruktur yang saat ini berjalan. Komparasi stimulus dan kemudahan yang ditawarkan oleh negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand, dan Filipina perlu menjadi acuan untuk penyusunan kebijakan. Investor dipastikan akan membandingkan tawaran yang diberikan oleh negara lain sebelum memutuskan di mana investasi tersebut dilakukan.

Kedua , kebijakan yang terfokus pada penyelesaian sejumlah agenda pembangunan nasional. Di tengah volatilitas perekonomian dunia, tugas penting bagi pengambil kebijakan adalah penuntasan agendaagenda pembangunan nasional. Agenda pembangunan infrastruktur, penanganan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, industrialisasi, penguatan daya beli masyarakat, penguatan sektor UMKM, dan penyerapan anggaran negara harus tetap menjadi prioritas nasional.

Gejolak di perekonomian dunia hanya akan termitigasi dampaknya apabila ekonomi domestik memiliki ketahanan dan daya saing yang baik. Sebaliknya, apabila kita tidak memiliki ekonomi domestik yang kuat, kita akan sangat rentan (vulnerable) atas setiap gejolak ekonomi kawasan dan global yang tidak terduga-duga kemunculannya. Ketika ekonomi suatu negara rapuh, gejolak ekonomi dalam skala kecil dan menengah dari eksternal akan berdampak serius bagi perekonomian negara tersebut. Krisis ekonomi 1998 menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua.

Dengan tekanan yang sama dialami oleh negara lain seperti Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia, tetapi dengan kerapuhan sistem ekonomi, politik, dan kepercayaan, dampak ke ekonomi Indonesia jauh lebih buruk dibandingkan dengan negara lain.

Kita tentunya berharap dan optimistis bahwa reformasi telah menghasilkan pembenahan tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga politik, sosial-budaya, dan kemasyarakatan. Hal ini perlu terus kita perkuat dan perbaiki sebagai modal menghadapi ekonomi dunia yang penuh dengan gejolak dan volatilitas yang tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar