Sabtu, 24 Oktober 2015

Kedaulatan Energi dan Listrik

Kedaulatan Energi dan Listrik

Mudrajad Kuncoro  ;  Guru Besar FEB UGM
                                                       KOMPAS, 21 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemerintah akan memangkas target proyek pembangkit listrik dari 35.000 megawatt menjadi 16.000 megawatt. Pernyataan Rizal Ramli, Menteri Koordinator Kemaritiman, ini bertentangan dengan komitmen Presiden Joko Widodo dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang bersikukuh tetap akan menjalankan program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW.

Kontroversi semacam itu jelas "tidak menyejukkan", kontraproduktif, dan dinilai memberikan sentimen negatif bagi iklim investasi di Indonesia. Apakah ini cermin dari kebijakan energi nasional yang tidak jelas arah dan targetnya? Ataukah memang kedaulatan energi dan listrik hanya cita-cita?

Pertumbuhan rendah

Perekonomian Indonesia pada triwulan II-2015 tumbuh 4,67 persen (year on year), melambat dibandingkan triwulan II-2014 yang tumbuh 5,03 persen.

Pada triwulan I-2015, ekonomi Indonesia tumbuh 4,72 persen. Pertumbuhan ini didorong oleh semua lapangan usaha kecuali pertambangan dan penggalian. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh jasa pendidikan yang tumbuh 12,16 persen, diikuti oleh informasi dan komunikasi (9,56 persen), jasa kesehatan dan kegiatan sosial (8,16 persen), pertanian (6,64 persen), dan industri pengolahan (4,42 persen). Kendati demikian, sektor pertambangan dan penggalian mengalami kontraksi tajam atau tumbuh negatif 5,87 persen.

Dengan kata lain, melambatnya pertumbuhan ekonomi terutama akibat sektor pertambangan yang mengalami pertumbuhan negatif. Ini diperparah dengan pengadaan listrik dan gas yang tumbuh rendah hanya 0,5 persen. Anjloknya nilai rupiah, menurunnya semua harga komoditas tambang, serta tingginya komponen impor bahan baku dan penolong merupakan akar masalah buruknya pertumbuhan kedua sektor ini.

Menteri ESDM Sudirman Said menjelaskan, arah paket kebijakan ESDM adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menjamin kepastian hukum, memudahkan investasi, menggerakkan sektor riil, dan memperkuat industri hilir. Menteri ESDM juga telah mengeluarkan tiga peraturan menteri terkait pendelegasian wewenang pemberian izin di bidang ketenagalistrikan (Permen ESDM No 35/2014), bidang migas (Permen ESDM No 23/2015), dan bidang minerba (Permen ESDM No 25/2015) ke Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Kementerian ESDM memangkas perizinan sampai 60 persen dalam enam bulan. Jika tahun 2014 ESDM memegang 218 perizinan, sejak awal 2015 jumlah ini menyusut menjadi 89 perizinan, dengan 63 perizinan telah didelegasikan ke PTSP di BKPM.

Langkah positif tersebut agaknya belum cukup. Masalah mendasar energi adalah posisi ketahanan energi Indonesia semakin merosot dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data yang dirilis Dewan Energi Dunia, Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 129 negara pada 2014. Peringkat itu melorot tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2010, Indonesia ada di peringkat ke-29 dan pada 2011 turun ke peringkat ke-47.

Indonesia akan terus menjadi net importer minyak jika tidak melakukan langkah-langkah untuk mendapatkan cadangan minyak baru. Dengan diimpornya 60 persen kebutuhan BBM nasional dan semakin besar jumlahnya, akan semakin besar pula ketergantungan Indonesia terhadap harga BBM dunia.

Khusus gas, masalah utama terjadi kenaikan permintaan gas yang melebihi pasokan. Hingga 2012 memang ekspor lebih banyak daripada kebutuhan domestik. Namun, dengan tren permintaan gas domestik lebih dari 6 persen per tahun, sejak 2013 konsumsi domestik melebihi ekspor. Tahun 2014, defisit gas mencapai 1,773 MMSCF per hari.

Sektor industri, pupuk, dan listrik mulai berteriak kekurangan pasokan gas di hampir semua provinsi. Sungguh ironis ketika PT Pupuk Kaltim mengeluh kekurangan gas, padahal LNG Badak berada di kota yang sama. Atau rakyat Madura yang kekurangan gas ketika tambang gas ada di pulau tersebut.

Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menyadari urgensi masalah energi ini. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, kedaulatan energi dan ketenagalistrikan masuk prioritas ke-7 Nawacita, yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kedaulatan energi merupakan sasaran sektor ESDM dengan target pendapatan pemerintah Rp 1.994 triliun. Total investasi dan pendanaan pada sektor energi dan sumber daya mineral tahun 2015-2019 ditargetkan 273 miliar dollar AS dengan pendanaan APBN pada Kementerian ESDM Rp 71,5 triliun.

Prioritas kebijakan

Tidak mudah mewujudkan Nawacita ke-7 ini. Kedaulatan energi adalah kemampuan bangsa untuk menetapkan kebijakan, mengawasi pelaksanaannya, dan memastikan jaminan ketersediaan energi dengan harga terjangkau dan mudah diakses, baik rumah tangga, industri, maupun kementerian/lembaga/pemda.

Untuk itu, perlu prioritas kebijakan energi dan ketenagalistrikan berikut ini.

Pertama, realisasi produksi minyak bumi tahun 2009 sampai tahun 2015 selalu lebih rendah daripada target APBN-P. Akibatnya, makin lama impor minyak makin tinggi dan kita menjadi net importer minyak. Permasalahan yang menyebabkan target produksi minyak dan gas bumi tidak tercapai perlu dicari solusinya.

Kenyataannya, makin sulit mencari minyak dan gas di wilayah daratan, laut dangkal, dan Indonesia barat dengan biaya rendah. Insentif berupa pengurangan, apalagi penghapusan, Pajak Pertambahan Nilai untuk eksplorasi ladang migas baru perlu diterapkan. Insentif fiskal bagi mobil, bus, truk, serta sepeda motor hibrida dan listrik sudah saatnya dicoba. Di Inggris dan negara Eropa, tarif pajak untuk moda transportasi berbasis listrik dan hibrida jauh lebih murah daripada BBM.

Kedua, pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan domestik harus diutamakan. Ini perlu karena tanpa domestic obligation yang pasti, industri dan rakyat akan terus kekurangan gas. Defisit gas dialami oleh sejumlah provinsi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTB, dan Maluku. Potensi cadangan gas yang akan dikembangkan terletak jauh dari pusat konsumen/industri dan kebanyakan di laut dalam di kawasan timur Indonesia.

Untuk itu, pemerintah perlu mempercepat: (1) pembangunan floating storage regasification unit (FSRU) atau terminal LNG yang berada di lepas pantai untuk mengatasi sulitnya pembebasan lahan di daratan, (2) pembangunan pipa gas dengan total panjang 6.362 kilometer, (3) pembangunan 118 SPBG, serta (4) kontrak jangka panjang batubara sebagai energi primer PLTU dan pemberian insentif bagi industri batubara yang melambat akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok, India, dan negara mitra dagang utama.

Debirokratisasi

Ketiga, deregulasi dan debirokratisasi perlu terus dilanjutkan agar investasi di sektor energi dan listrik bergairah di tengah pelambatan ekonomi dunia dan nasional. Birokrasi di industri migas pasca UU migas baru dengan adanya perluasan wewenang Direktorat Jenderal Migas dan dibentuknya SKK Migas memunculkan berbagai birokrasi tambahan. Langkah Menteri ESDM memangkas perizinan dan mendelegasikan izin ke PTSP di BKPM perlu diapresiasi dan dilanjutkan untuk menurunkan "biaya birokrasi".

Keempat, sektor kelistrikan pemerintah harus terus mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan serta mendorong pembangkit listrik berbasis gas, bukan diesel. Untuk itu, dibutuhkan insentif bagi pembangkit listrik berbasis gas, surya, angin, air, dan lain-lain dengan memberi kelonggaran regulasi, insentif fiskal, dan moneter untuk mempercepat kenaikan rasio elektrifikasi, khususnya di kawasan timur Indonesia dan daerah/desa tertinggal.

Hingga kini, FSRU baru segelintir serta terpusat di Lampung dan Jawa Barat. Dengan konsentrasi penduduk dan industri di Jawa dan Sumatera, perluasan jalur pipa gas hingga pelosok desa mutlak diperlukan. Kawasan timur Indonesia butuh lebih banyak FSRU dengan jaringan LNG mengambang berbasis tol laut.

Kelima, perlu sinergi kebijakan energi dengan kebijakan industri dan BUMN. PGN, Pertamina, Pelindo, dan PLN perlu menyusun peta jalan agar tak berebut "kue" di hulu dan hilir sektor energi, listrik, dan distribusinya. Strategi coopetition, yaitu mengawinkan strategi bekerja sama dan sekaligus bersaing di industri hulu dan hilir energi, amat relevan agar perusahaan pelat merah menomorsatukan kepentingan nasional. Alternatifnya, barangkali perlu dijajaki merger antara BUMN di bidang energi, khususnya PGN dan Pertamina ataupun Pelindo dan PLN, mengingat kesamaan jenis bisnis dan sinergi yang meningkatkan jika perusahaan pelat merah "dikawinkan".

Percepatan pembangkit listrik 35.000 MW perlu dilakukan dengan program aksi dengan target yang jelas. Sudah tidak saatnya berwacana, mulailah bekerja. Semoga kedaulatan energi dan listrik bukan hanya cita-cita, melainkan menjadi realitas yang dinanti rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar