Selasa, 27 Oktober 2015

Kisah Rp 235 Triliun

Kisah Rp 235 Triliun

Aris Prasetyo  ;  Wartawan Kompas
                                                       KOMPAS, 26 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Salah satu praktisi pertambangan di Indonesia menyebut, hanya karena PT Freeport Indonesia, perusahaan tambang yang berinduk di Amerika Serikat, berkomitmen menanamkan investasi 18 miliar dollar AS yang setara sekitar Rp 235 triliun, pemerintah sudah memberikan jaminan bahwa operasi perusahaan tersebut di Papua diperpanjang. Investasi ratusan triliun memang investasi kelas kakap, bukan kelas teri.

Presiden Joko Widodo dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said sama-sama menyatakan, investasi ratusan triliun rupiah di sektor tambang adalah investasi yang sangat besar. Untuk mengelola tambang bawah tanah di Papua, selain butuh keahlian teknis, ratusan triliun tadi sebagai penggeraknya. Belum lagi jaringan pemasaran hasil tambang.

Ringkasnya, pemerintah memang sedang butuh investor untuk mengelola timbunan emas dan tembaga di bumi Papua tersebut yang sudah 40 tahun lebih dioperasikan PT Freeport Indonesia. Pemerintah, melalui Menteri ESDM, berulang kali mengatakan yang pada intinya pemerintah menginginkan Freeport Indonesia tetap berinvestasi.

Kontrak karya mengelola tambang di Papua oleh Freeport Indonesia akan habis pada 2021. Berdasarkan aturan, perusahaan tersebut baru boleh mengajukan perpanjangan izin operasi secepatnya 2 tahun sebelum kontrak mereka berakhir atau pada 2019. Artinya, sebelum 2019 nanti, pemerintah sekarang haram hukumnya memberikan izin perpanjangan operasi bagi Freeport Indonesia.

Menteri ESDM dan jajarannya memiliki rencana untuk merevisi peraturan yang mengatur mekanisme perpanjangan izin operasi tambang yang semula secepatnya 2 tahun sebelum kontrak berakhir menjadi 10 tahun. Apabila revisi terwujud tahun ini, itu artinya Freeport Indonesia berhak mengajukan perpanjangan izin operasi kemudian. Dan, pemerintah sudah memberi kode izin itu dikabulkan.

Boleh jadi, Freeport Indonesia memang ditakdirkan mengelola kekayaan emas dan tembaga, termasuk perak, yang melimpah di tanah Papua itu. Bisa jadi pula, Freeport Indonesia nanti akan memenuhi takdirnya kembali lewat perpanjangan izin operasi yang mereka dapat.

Pertanyaannya sekarang, seberapa besar keuntungan yang didapat rakyat Papua, dan Indonesia secara keseluruhan, apabila Freeport Indonesia diberi hak kelola tambang tersebut? Presiden sudah menegaskan bahwa harus ada peningkatan royalti yang wajar bagi negara. Harus ada manfaat ekonomi yang lebih besar.

Saat ini, saham Pemerintah Indonesia hanya 9,36 persen. Berdasarkan aturan lagi, paling besar saham yang bisa dimiliki hanya 30 persen. Tahun ini, Freeport harus melepas saham mereka (divestasi) untuk pemerintah sampai menjadi 20 persen. Belum ada sikap jelas dari pemerintah untuk mengambil sisa saham 19,64 persen tersebut.

Jika memang, seperti yang dikatakan Presiden, Indonesia belum mampu secara mandiri mengelola tambang emas dan tembaga di bumi Papua tersebut, setidaknya manfaat yang didapat harus lebih besar. Sudah ada enam poin renegosiasi kontrak karya yang prosesnya masih terus berlangsung.

Namun, kecut juga mendengar kalimat akhir praktisi pertambangan yang disinggung di atas. Saat berbincang dengan Kompas, ia seperti mengeluh: Bung, kita sudah merdeka 70 tahun dan seharusnya kita sudah merdeka berdaulat penuh atas sumber daya alam kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar