Jumat, 30 Oktober 2015

Membuat Jera Predator Seksual

Membuat Jera Predator Seksual

Bagong Suyanto  ;  Dosen FISIP Universitas Airlangga;
Pernah meneliti anak perempuan korban pemerkosaan di Jawa Timur
                                                      JAWA POS, 23 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KEPRIHATINAN berbagai pihak terhadap merebaknya kasus kejahatan seksual pada akhirnya memunculkan lagi ide tentang perlunya diterapkan hukuman kebiri bagi predator seksual (Jawa Pos, 22 Oktober 2015). Meski dalam KUHP telah dicantumkan sanksi yang berat bagi predator seksual, dalam kenyataan sanksi itu tampaknya tidak cukup mujarab untuk membuat jera orang-orang jahat yang ingin mengumbar nafsu syahwatnya kepada perempuan, khususnya anak perempuan.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menyatakan, Indonesia saat ini boleh dikata berada dalam keadaan darurat kejahatan seksual terhadap anak. Menurut catatan Komnas PA, dari sekitar 21 juta anak Indonesia yang menjadi korban dan mengalami tindak kekerasan, lebih dari separonya (58 persen) adalah korban kejahatan seksual. Ironisnya, para predator seksual yang mengancam keselamatan anak-anak itu biasanya justru orang-orang yang dekat dengan korban, mulai ayah kandung, kakek, paman, hingga tetangga.

Studi yang dilakukan Bagong Suyanto et al. (1995) terhadap beritaberita di harian Jawa Pos selama 1993–1994 menemukan bahwa 49,1 persen korban pemerkosaan ternyata anak-anak di bawah usia 14 tahun. Bahkan, 14,2 persen di antaranya berusia di bawah 8 tahun. Di Surabaya, bahkan belum lama ini dilaporkan ada anak yang baru berusia 1,5 tahun yang menjadi korban kebiadaban pamannya sendiri. Korban diperkosa lewat alat kelamin dan anusnya sehingga akhirnya jatuh sakit, kemudian tewas.

Dengan menyimak ulah predator seksual yang makin sadis dan tak berperikemanusiaan itulah, akhirnya muncul desakan agar pelaku kejahatan seksual, selain dihukum penjara yang seberat-beratnya, juga ditambah dengan hukuman kebiri. Berbagai pihak, mulai presiden, partai politik, pengamat, KPAI, dan lain-lain, pada intinya sepakat bahwa hukuman kebiri merupakan instrumen tambahan yang diharapkan dan dipercaya dapat melahirkan efek jera yang lebih efektif.

Kebiri atau kastrasi pada dasarnya adalah tindakan bedah atau penggunaan bahan kimia tertentu yang bertujuan menghilangkan fungsi testis pada para pejantan agar tidak lagi terdorong oleh libidonya untuk mencari korban-korban baru guna memuaskan nafsu seksualnya.

Pengebirian terhadap predator seksual sudah barang tentu tidak berupa pemotongan alat kelamin seperti pada zaman dulu, tetapi lebih ke tindakan medis dengan memberikan atau menyuntikkan hormon perempuan kepada predator seksual supaya hasratnya hilang. Hukuman kebiri itu sudah tentu baru akan ditetapkan setelah vonis dijatuhkan dan putusan inkracht keluar.

Meski banyak pihak menyetujui hukuman kebiri diberlakukan bagi para predator seksual, di pihak lain sebetulnya masih ada sebagian pengamat dan ahli yang meragukan efektivitas hukuman itu. Bahkan, tidak sedikit pula yang menolak.
Pemberian hukuman kebiri kepada predator seksual, selain diyakini tidak akan membuat para pemerkosa surut, juga dikhawatirkan malah menstimulasi kemarahan dan tindakan yang makin brutal dari para pelaku kejahatan seksual.

Hukuman kebiri bagi predator seksual dikhawatirkan tidak efektif karena dari segi penegakan hukum belum menjanjikan. Pertama, karena konstruksi yuridis hukum (KUHP) di Indonesia terhadap tindak kejahatan seksual ditengarai masih bersifat diskriminatif terhadap perempuan.

Sebab, ancaman sanksi cenderung dibangun dengan pandangan yang bersifat positivisme-rasional, yang dalam konteks ini sama sekali tidak memasukkan penderitaan korban dalam pertimbangan yuridis. Kedua, dalam pembuktian tindak kejahatan seksual, sering terjadi perempuan dan anak yang menjadi korban justru mengalami pelecehan.

Di Indonesia, dalam banyak kasus kejahatan seksual, konstruksi yang berkembang di masyarakat maupun benak aparat penegak hukum adalah tindak kejahatan itu tidak sepenuhnya terjadi karena kesalahan pelaku. Di Indonesia, kejahatan seksual lebih diyakini terjadi karena stimulasi korban.

Studi yang dilakukan Marzuki (1997) terhadap 63 kasus pemerkosaan menemukan bahwa seductive rape merupakan kasus terbanyak (47,6 persen), kemudian baru diikuti dengan tipe domination rape (30,2 persen) dan exploitation rape (14,3 persen).

Kendati tak eksplisit menyebut, kesimpulan dan temuan penelitian Marzuki itu 
sedikit banyak menyalahkan atau menempatkan korban sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab.

Selain hukuman kebiri, salah satu usulan yang menarik dan diyakini lebih efektif untuk membuat para predator seksual jera adalah hukuman yang memiliki dampak sosial kuat seperti pemberian simbol khusus –entah kalung, tato, pakaian, dan lain-lain– bagi para predator seksual. Tujuannya, masyarakat di sekitarnya dengan cepat mengetahui potensi ancaman di belakang penampilan pelaku.

Apa pun hukuman yang diusulkan untuk membuat jera predator seksual, entah kebiri atau pemberian tanda khusus, yang penting adalah bagaimana negara dan masyarakat membangun kesepahaman bersama tentang bagaimana kita harus melindungi serta menghormati kaum perempuan.

Seperti dikatakan Kathryn Chadwick dan Catherine Little (1993), membahas masalah pemerkosaan harus ditempatkan pada konteks yang lebih luas. Yakni, konteks di mana posisi kaum perempuan dan perilakunya secara sosial didefinisikan serta dikontrol.

Jadi, tidak cukup hanya menghukum seberat-beratnya lelaki bejat yang menjadi pelakunya. Yang tak kalah penting adalah bagaimana memberdayakan perempuan agar mampu melawan hegemoni, dominasi, dan tekanan yang dialami selama ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar