Selasa, 20 Oktober 2015

Menangani Bencana Asap

Menangani Bencana Asap

Dinna Wisnu  ;  Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
                                                  KORAN SINDO, 14 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun ini kita dihentakkan oleh kenyataan bahwa bencana asap lintas batas adalah problem serius yang makin mendesak untuk diselesaikan secara diplomatis oleh Indonesia. Berbagai data yang beredar menunjukkan bahwa bencana asap 2015 di Indonesia adalah yang terburuk sejak 1997. Pasalnya bencana ini menyebabkan ragam problem sosial, kesehatan, dan ekonomi, baik di dalam negeri (di Pulau Sumatera dan Kalimantan) maupun di luar negeri (di Singapura, Malaysia, bahkan hingga ke daerah wisata Phuket di Thailand).

Lebih parah lagi, berita-berita tersebut dibumbui dengan informasi bahwa masalah asap ini sebenarnya rutin terjadi setiap tahun sejak 18 tahun terakhir. Berita-berita macam itu mempertanyakan kredibilitas Pemerintah Indonesia dalam menangani problem ini secara cepat dan tuntas. Secara diplomatik, problem kredibilitas macam ini berpotensi mengurangi daya tawar Indonesia dalam perundingan-perundingan di lini lain sehingga perlu kita cermati. Berikut ini sejumlah catatan yang perlu ditangani dengan baik oleh diplomat kita.

Pertama-tama berita bahwa sumberdari problem asap ini adalah pembakaran (sengaja) dan kebakaran (tidak sengaja) di lahan gambut yang luas jumlahnya di Indonesia dan kerap ditanami kelapa sawit. Titik apinya dikabarkan mencapai lebih dari 1.000 per hari! Kedua bahwa terbakarnya lahan gambut ini kerap terjadi karena kelompok petani sawit tertentu masih memilih cara pembakaran lahan untuk membuka lahan baru.

Ada yang menuding ini perilaku petani sawit rakyat, tetapi ada juga yang menunjuk perkebunan sawit besar. Ketiga bahwa kebakaran di lahan gambut memproduksi gas rumah kaca yang sangat besar. Global Fire Emission Database mengeluarkan pernyataan bahwa kebakaran yang berlangsung selama 3 bulan pada 2015 ini telah memproduksi kira-kira 600 juta ton gas rumah kaca.

Hal ini setara dengan jumlah karbondioksida yang diproduksi oleh industri di Jerman dalam setahun! Keempat , ada teknologi yang sudah mendeteksi keseriusan tingkat kebakaran besar pada 2015. Guido van der Werf dari VU University Amsterdam mengatakan bahwa satelit pendeteksi kebakaran telah memperkirakan sejak September 2015 bahwa potensi kebakaran di Indonesia ini adalah yang tertinggi sejak tahun 2003.

Robert Field dari NASAs Goddard Institute for Space Studies telah meramalkan bahwa titik api dan kebakaran hutan di Indonesia tahun ini bisa jadi seserius problem 1997. Herry Purnomo, pakar bencana asap di Centre for International Forestry Research, juga mengamini hal tersebut. Catatan-catatan itu perlu disikapi dengan cermat. Kalau Pemerintah Indonesia terkesan mengecilkan masalah, efeknya justru buruk bagi kita.

Kalau kita menyangkal besaran masalah atau tampil tidak simpatik, efeknya justru akan memojokkan Pemerintah Indonesia sebagai tidak peka dan tidak peduli pada efek ekonomi dan sosial dari bencana asap ini. Untuk itu berita bahwa Presiden Joko Widodo telah meminta maaf kepada negara tetangga adalah langkah yang tepat.

Perdana Menteri Malaysia Najib Razak tampak menghargai sinyal bahwa Presiden RI tertekan dan malu serta membuka diri untuk bantuan penyelesaian masalah dari negara lain setelah menimbang besaran masalah. Namun meminta maaf dan membuka diri saja tidaklah cukup. Kaitan problem asap ini dengan pengelolaan lahan sawit di Indonesia perlu ditanggapi juga.

Selama ini Indonesia berpegang pada argumen bahwa perusahaan- perusahaan sawitdi Indonesia sudah mengikat diri pada sertifikasi lembaga internasional untuk sawit seperti RSPO (Roundtable of Sustainable Palm Oil) atau sertifikasi nasional ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil).

Dan dalam syarat sertifikasi telah jelas disebutkan penerapan kebijakan zero burning, antipembakaran lahan. Beberapa perusahaan bahkan membentuk Indonesia Palm Oil Pledge bersama Kadin demi menunjukkan standar-standar tertinggi dalamindustrikelapasawit yang telah mereka terapkan. Yang problematis dari argumen di atas adalah karena sertifikasi tersebut belum mencakup seluruh pemilik lahan sawit di Indonesia.

Publik tahu persis bahwa sertifikasi tersebut terlalu mahal untuk diterapkan oleh pemilik lahan kecil yang mayoritas adalah petani sawit rakyat. Dari sisi luas lahan, petani rakyat baik petani plasma maupun petani mandiri semakin banyak jumlahnya. Data dari Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa luas lahan petani rakyat mencapai 4,5 juta ha di tahun 2014, sementara total lahan perkebunan besar adalah 5,6 juta ha.

Jika dilihat dari percepatan pertumbuhan lahan sawit, pertumbuhan lahan sawit rakyat meningkat lebih cepat (6,5%) daripada lahan sawit perkebunan besar (5,4%). Publik juga telah mengendus lemahnya mekanisme penegakan hukum untuk melacak pengusaha yang melakukan pembakaran hutan secara sengaja. Selain karena medan pengawasan yang sulit dan terpencil, jumlah pengawas belum memadai jumlahnya. Artinya kecurigaan bahwa kebakaran hutan tersebut terkait dengan upaya pembukaan lahan seakan menjadi fakta yang tak terbantahkan.

Di satu sisi perluasan lahan sawit rakyat sebenarnya memiliki efek keuntungan yang baik bagi masyarakat lokal. Karena perusahaan rakyat biasanya mengalokasikan keuntungannya untuk penduduk setempat dan di sektor industri sejenis. Dan karena itu penanganan petani sawit rakyat tidak bisa lagi setengah-setengah. Mereka tidak bisa dibiarkan berkembang secara swadaya atau sekadar menunggu uluran tangan perusahaanbesaryangmembuka pertanian plasma.

Di dunia, jumlah petani pemilik lahan kecil juga mayoritas, bahkan termasuk di Malaysia, kompetitor sawit kita. Council for Palm Oil Producer Countries (Dewan Negara-Negara ProdusenKelapaSawit) yang digagas Indonesia tahun ini dan dipakai untuk mengikat kerja sama bilateral yang lebih erat dengan Malaysia adalah langkah baik untuk mendorong sesama negara penghasil sawit untuk saling mendukung.

Namun bagaimana kerja dewan ini masih harus terus kita pantau. Sebagai wadah dialog antarnegara, dewan ini patut diapresiasi. Namun dewan ini tidak bisa menyelesaikan problem di dalam negeri di mana petani kita tidak semua terpantau aktivitasnya. Sudah saatnya pemerintah kita memikirkan terobosan teknologi untuk memantau kegiatan industri kelapa sawit dan memberikan insentif yang layak bagi petani sawit rakyat yang patuh pada standar ISPO.

Mungkin keberadaan teknologi tersebut bisa dipikirkan bersama dalam Dewan Negara-Negara Produsen Kelapa Sawit tersebut, tetapi implementasinya akan sangat bergantung pada kesiapan tenaga pengawas di lapangan. Namun, sayangnya, Menteri Pertanian sudah mengeluarkan peraturan yang membebaskan petani dari kewajiban menyertifikasi lahannya. Sebetulnya juga amat disayangkan apabila petani mandiri tidak diwajibkan untuk mematuhi ISPO.

Di satu sisi mungkin petani dapat lega karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk sertifikasi, tetapi di sisi lain ketidakwajiban ini membuat negara melepaskan tanggung jawabnya dalam membina petani sawit. Diplomasi memang mencakup teknik menegosiasikan kepentingan, tetapi dalam konteks problem asap, diplomasi harus bisa membingkis realitas di lapangan sebagai kepentingan bersama yang patut ditangani secara bersama-sama pula.

Dalam politik, suatu masalah hanya bisa ditangani bersama jika pihak yang paling berkepentingan untuk dipandang kredibel (yakni pemerintah) bersedia memberi modal untuk terjadinya perubahan penanganan masalah. Siapkah pemerintahan saat ini bertindak lebih konkret dengan mengalokasikan lebih banyak perhatian dan sumber daya untuk perbaikan pengawasan industri sawit di lapangan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar