Selasa, 20 Oktober 2015

Psikologi Hijrah Nabi

Psikologi Hijrah Nabi

Muhbib Abdul Wahab  ;  Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
                                                  KORAN SINDO, 14 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah merupakan perjalanan iman visioner yang didasari oleh rencana strategis yang matang kendati akhirnya tidak dapat dilepaskan dari “lampu hijau dan restu” dari Allah SWT.

Perjalanan penuh mukjizat ini sangat menarik karena menjadi garis pemisah antara dua periode sejarah kerasulan Nabi yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Hijrah Nabi SAW sarat dengan pelajaran kehidupan, terutama jika ditilik dari perspektif psikologi. Mengapa Kota Yatsrib (sebelum diubah menjadi al-Madinah al-Munawwarah) yang dipilih Nabi sebagai destinasi hijrah?

Apa makna dan suasana psikologis yang melatarbelakangi, menyertai, dan meneguhkan pendirian Nabi untuk hijrah ke Madinah? Bagaimana aktualisasi pesan-pesan hijrah bagi kehidupan kita? Fakta historis menunjukkan bahwa hijrah Nabi SAW ke Madinah terjadi dalam suasana psikologis penuh kesedihan, kecemasan, dan ancaman. Pada tahun kesepuluh kenabian, Nabi diuji oleh Allah dengan wafatnya sang istri tercinta, Khadijah, dan pamannya, Abu Thalib.

Secara personal, Nabi sedang mengalami tahun dukacita dan kesedihan mendalam (‘am alhuzni). Betapa tidak, istri yang menjadi pendukung utama dakwah Islam, baik dukungan moral maupun finansial, dan paman beliau yang selalu membelanya secara sosial kultural telah tiada. Sementara itu, kaum kafir Quraisy yang selama ini menentang dakwah Nabi semakin keras menebar ancaman, agitasi, dan embargo ekonomi terhadap para sahabat Nabi.

Untuk meneguhkan iman dan kesabaran beliau, Allah kemudian “menghiburnya” dengan Isra Mikraj. Melalui spiritual journey ini, Nabi SAW mendapat perintah salat lima waktu sebagai modal spiritual yang dapat memantapkan gerak langkah dakwahnya. Keteguhan iman dan kesabaran tersebut ternyata bukan tanpa alasan. Sebelum hijrah ke Madinah, Nabi SAW telah “melatih” para sahabatnya untuk hijrah yaitu hijrah ke negeri Habsyi (Eritria) dan ke Kota Thaif.

Pada hijrah pertama, Nabi tidak menyertai para sahabatnya, sedangkan pada hijrah kedua, Nabi memimpin hijrah langsung. Hijrah pertama mengemban misi “dialog lintas iman”. Nabi meyakinkan para sahabatnya bahwa pemimpin Habsyi saat itu, Raja Najasyi yang beragama Nasrani, bisa menerima dan berdialog dengan mereka. Hijrah kali ini cukup sukses. Hijrah kedua, ke Thaif, boleh dikatakan tidak berhasil karena Nabi SAW dan para sahabatnya sudah mendapat sambutan kurang bersahabat dari penduduk Thaif. Saat berada dipintu gerbang Thaif, Nabi bahkan dilempari batu oleh sebagian penduduk setempat sampai kaki beliau berdarah.

Eksperimen dan pengalaman dua hijrah tersebut merupakan modal psikologis dan modal mental spiritual yang sangat berarti. Terlebih lagi, dalam tiga tahun menjelang hijrah, Nabi SAW mulai mengalihkan target dakwahnya kepada penduduk Yatsrib (Madinah) yang melakukan ziarah dan misi dagang ke sekitar Mekkah seperti pasar Ukaz.

Sejarah mencatat bahwa dengan pendekatan komunikasi persuasif, Nabi berhasil meyakinkan kepala suku Aus dan Khazraj yang berziarah ke Mekkah sehingga mereka masuk Islam dan membaiat (berjanji setia) Nabi untuk mau membantu dakwah Nabi. Strategi yang tidak tercium oleh pemimpin kafir Quraisy ini membuahkan hasil positif.

Kepala dua suku bahkan meminta Nabi untuk mengutus seorang muqri’ (guru agama Islam) ke Madinah agar keberislaman mereka terbina dengan baik. Setelah Baiat Aqabah pertama yang berhasil mengislamkan 12 orang (9 orang dari suku Khazraj dan 3 orang dari suku Aus), Nabi SAW mengirim Mush’ab bin Umair untuk menjadi pendidik bagi warga Yatsrib.

Selama setahun bertugas di Yatsrib, Mush’ab berhasil mengislamkan tidak kurang dari 80 warga Madinah sehingga pada tahun berikutnya para kepala suku itu datang kembali ke Mekkah dan melakukan Baiat Aqabah kedua, sekaligus “mengundang” Nabi untuk hijrah ke Yatsrib. Mereka sangat membutuhkan figur Nabi sebagai pemimpin yang dapat menengahi konflik berkepanjangan antara dua suku tersebut.

Fakta-fakta historis tersebut menunjukkan bahwa sebelum hijrah ke Madinah, Nabi SAW telah menciptakan kondisi psikologis dan strategi yang sangat taktis untuk menentukan destinasi hijrah yang tepat dan efektif. Setelah baiat kedua, secara berangsur-angsur dan berkelompok, para sahabat diminta oleh Nabi secara diamdiam untuk hijrah ke Madinah.

Melihat jumlah kaum muslimin di Mekkah semakin berkurang, orang-orang kafir Quraisy mulai curiga dan berpraduga bahwa Nabi dan para sahabat ternama seperti Abu Bakar, Umar bin al- Khaththab, dan Ali bin Abi Thalib tidak lama lagi juga akan meninggalkan Mekkah. Pada malam hijrah, Nabi SAW berhasil menciptakan kondisi psikologis penuh kepanikan yang luar biasa di kalangan pemimpin kafir Quraisy.

Betapa tidak, para pasukan “berani mati” yang dikerahkan oleh Abu Jahal dan Abu Lahab untuk mengepung rumah Nabi ternyata gagal menangkap atau membunuh Nabi. Dengan mukjizat dan izin Allah, mereka dibuat tidur pulas sehingga tidak mengetahui ke mana Nabi pergi. Setelah mereka terbangun dan para pembesar Quraisy mengetahui bahwa yang menggantikan tempat tidur Nabi adalah Ali bin Abi Thalib, mereka semakin meradang dan marah besar.

Karena panik dan kalap, Abu Jahal dkk mengerahkan semua pasukan yang ada dan disebar ke seluruh penjuru Mekkah dan sekitarnya dengan tugas utama: menangkap Nabi SAW, hidup atau mati. Mereka diberi imingiming hadiah berupa 100 unta bagi siapa saja yang berhasil menangkap atau membunuh Nabi. Strategi hijrah yang ditempuh Nabi SAW luar biasa taktis.

Pada malam hijrah itu, Nabi tidak langsung ke Yatsrib, tapi memilih transit terlebih dahulu di Gua Tsur yang berlokasi di sebelah selatan Mekkah, padahal Yatsrib itu berlokasi di sebelah utara Mekkah. Strategi ini berhasil mengecoh dan membuat para pemimpin kafir Quraisy kehilangan jejak Nabi. Dalam waktu bersamaan, Nabi SAW sukses melakukan konsolidasi dengan Abdullah bin Abu Bakar, Asma’ binti Abu Bakar, dan Amin bin Fuhairah (pembantu Abu Bakar).

Abdullah ditugasi “memata-matai” gerak-gerik musuh, Amir bin Fuhairah ditugasi menggembala kambing untuk mengecoh bekas jejak perjalanan Nabi dan menyediakan susu perahan kambing untuk Nabi dan Abu Bakar. Sedangkan Asma’ ditugasi menyiapkan perbekalan logistik untuk perjalanan hijrah dari Gua Tsur menuju Yatsrib.

Selain itu, menarik dicatat, Nabi SAW juga berhasil menjalin kerja sama strategis dengan seorang Yahudi, Abdullah bin Uraiqit, dibayar untuk menjadi penunjuk jalan dari Gua Tsur ke Yatsrib. Jadi, hijrah Nabi sarat dengan pelajaran strategi militer dan dakwah yang taktis dan efektif. Selain itu, hijrah Nabi secara psikologis disuasanai spiritualitas yang tinggi sehingga dapat mengenyahkan segala bentuk ketakutan.

Ketika Abu Bakar merasa ketakutan luar biasa saat berada dalam Gua Tsur, Nabi berhasil menenangkan dan menghilangkan kegelisahannya. “La Tahzan” (Jangan bersedih hati), karena Allah selalu bersama kita, adalah kata kunci kekuatan yang mengantarkan kepada kemenangan.

Dari kondisi psikologis pra dan pasca hijrah, dapat ditegaskan bahwa psikologi hijrah Nabi SAW adalah psikologi perjuangan dengan spirit meraih kemenangan melalui perubahan dan perbaikan segala aspek kehidupan. Iman yang kuat, keikhlasan, dan kesabaran yang ekstratinggi, optimisme, dan keyakinan terhadap pertolongan Allah merupakan modal psikologis yang tangguh dan sangat berharga dalam menghadapi aneka persoalan, kesulitan, krisis, dan tantangan.

Psikologi hijrah Nabi SAW adalah psikologi kemenangan berbasis perencanaan strategis yang matang dan efektif. Prinsipnya adalah “Jika engkau menolong agama Allah, pasti Allah akan menolongmu dan meneguhkan pendirianmu.” (QS Muhammad 47: 7).

Mereka rela meninggalkan tanah kelahiran dan harta benda mereka karena membela keyakinan, memilih dan mencintai Tuhan, karena cinta Tuhan adalah kekuatan tak terbatas untuk mengalahkan semua lawan dan rintangan kehidupan.

Karena itu, hijrah dalam konteks kekinian harus dimaknai sebagai proses perubahan mindset dan inovasi tiada henti yang didasari oleh iman yang benar dan kuat, keikhlasan, dan kesabaran yang tinggi dalam memperjuangkan cita-cita bangsa, sinergi mutualisme dan optimisme yang tinggi dalam mengatasi segala persoalan yang mendera bangsa ini. Selamat Tahun Baru Hijriah 1437 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar