Rabu, 21 Oktober 2015

Reformasi KPK melalui Revisi UU KPK

Reformasi KPK melalui Revisi UU KPK

Romli Atmasasmita  ;  Profesor Emeritus Unpad
                                                  KORAN SINDO, 17 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Peristiwa pro dan kontra revisi UU KPK telah terjadi dua kali. Pertama, Presiden menolak. Kedua, kemarin, Presiden tidak menolak, tetapi menunda pembahasan revisi UU KPK.

Tafsir saya mudah-mudahan benar, pemerintah cc Presiden tidak menolak lagi, tetapi setuju revisi. Terlepas dari masalah tersebut, yang penting ke depan masalahnya bukan memperkuat atau memperlemah KPK, melainkan bagaimana mereformasi KPK baik struktural maupun aspek substansial ketentuan UU KPK 2002.

Ada beberapa alasan. Pertama, usia UU KPK telah mencapai 13 tahun, cukup dan layak dievaluasi efektivitasnya dari aspek output dan juga tidak kalah pentingnya, outcome atau dampak signifikan dari capaian tujuan awal pembentukan UU KPK 2002. Kedua, praktik KPK tidak lagi berfungsi sebagai counter-partner kepolisian dan kejaksaan. Sebaliknya, KPK telah berfungsi sebagai ”competitor” dan menyimpang dari fungsi ”trigger mechanism ” melalui koordinasi dan supervisi.

Ketiga, tujuan utama sesuai UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 yaitu mengembalikan/menyelamatkan kerugian keuangan negara tidak berhasil signifikan. Selama 2009-2013, hasil kajian LPIKP, KPK hanya berhasil secara riil mengembalikan/menyelamatkan keuangan sebesar Rp728 miliar dibandingkan dengan kejaksaan (Rp6 triliun) dan kepolisian (Rp2 triliun).

Keempat, multitafsir atas ketentuan-ketentuan UU KPK 2002 mengisyaratkan bahwa UU KPK 2002 belum mencerminkan asas lex certa yang merupakan jaminan kepastian hukum, ketertiban beracara, keadilan dan kemanfaatan yang memadai untuk tujuan menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Kelima, manajemen KPK di dalam implementasi UU KPK khusus fungsi pencegahan tidak maksimal karena keterbatasan kewenangan KPK di dalam mengungkap tuntas kondisi K/L dan efek hasil monitoring dan evaluasi atas kinerja K/L yang tidak tampak sama sekali.

Keenam, manajemen penanganan perkara tipikor terutama pada kepemimpinan KPK Jilid III tidak mencerminkan perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa secara konsisten dan benar sesuai dengan prinsip due process of law khusus prinsip praduga tak bersalah terutama di dalam melaksanakan tugas dan wewenang penyadapan.

Ketujuh, manajemen pelaksanaan tugas penyitaan dan perampasan aset tersangka/ terdakwa korupsi belum juga memperhatikan prinsip ”limited and selective confiscation”, melainkan telah dipraktikkan ”total confiscation” yang berujung pada ”total injustice” dalam pembatasan hak kepemilikan kekayaan setiap orang termasuk tersangka/terdakwa.

Kedelapan, fakta putusan praperadilan hakim Sarpin dan Haswandi serta Putusan MK RI menunjukkan terdapat mismanajemen penanganan perkara tipikor di KPK selama kurun waktu 2009 sampai 2014. Kesembilan, putusan praperadilan tersebut telah membuktikan bahwa pimpinan dan pegawai KPK bukanlah ”manusia tanpa kesalahan”, melainkan menguatkan keyakinan kita bahwa tidak ada satu pun kekuasaan tanpa batas karena rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan sehingga diperlukan pengawasan sesuai dengan prinsip ”checks and balances” yang sejalan dengan standar perlindungan hak asasi di dalam UUD 1945 dan ICCPR 1996.

Kesepuluh, deterrent effect terhadap pimpinan dan pegawai KPK yang menyimpang dari prinsip ”checks and balances”, praduga tak bersalah, dan prinsip due process of law belum tercermin dalam UU KPK 2002 sehingga tampak telah terjadi ”imunitas” (impunity) terselubung di dalam manajemen penanganan perkara di KPK.

Sampai saat ini masyarakat tidak mengetahui berapa kasus pimpinan atau pegawai KPK yang telah berhasil secara tuntas diungkap, dan terbuka kepada masyarakat sesuai dengan akuntabilitas kinerja yang diperintahkan dalam Pasal 20 UU KPK.

Kesebelas, justifikasi strategi pemberantasan korupsi sejak era reformasi 1998 telah tidak relevan lagi dengan perjuangan pemerintah untuk memperbaiki kondisi perekonomian nasional dalam menghadapi persaingan global karena terbukti kiprah penegakan hukum oleh aparatur hukum termasuk KPK sebagai lembaga ”trigger mechanism” dan titik sentral pemberantasan korupsi, tidak berhasil memperkuat dan menciptakan sistem perekonomian nasional dalam kurun waktu 2009-2014.

Kedua belas, penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi hanya berdasarkan prinsip hukum normatif yaitu pada ”benar (right) atau salah (wrong)” yang selama ini sudah dianggap benar untuk setiap masa dan pada semua kasus pidana termasuk korupsi, telah terbukti tidak lagi relevan dengan perkembangan global abad ke-21 ini. Masih perlu relaksasi dan fleksibilitas proses penanganan perkara pidana termasuk perkara korupsi untuk kepentingan masyarakat dan bangsa yang lebih besar.

Ketiga belas, keyakinan awal perjuangan antikorupsi dengan prinsip ”zero tolerance” terbukti utopia semata, bahkan menjadi kontraproduktif bagi bangsa dan negara. Contoh, KPK di Korea Selatan dibubarkan dan diganti oleh peranan Ombudsan; pembunuhan pimpinan KPK di Malaysia baru-baru ini; pimpinan KPK Nigeria, Nihi Ribadu yang terlunta-lunta di negeri orang sebagai ”stateless”; dan penculikan dan pembunuhan dua orang pimpinan KPK di Ukraina. Kita tidak mengharapkan contoh nyata dan ekstrem tersebut terjadi di Indonesia.

Keempat belas, reformasi KPK bertujuan menguatkan KPK dan menempatkan KPK pada tempat yang tepat dan layak sebagai mitra kerja kepolisian dan kejaksaan di dalam naungan NKRI, bukan untuk dan atas nama kepentingan bangsa lain (asing).

Tindak lanjut dari alasan-alasan di atas bagaimana seharusnya mereformasi KPK melalui revisi UU KPK? Ada beberapa langkah konkret yang harus dilakukan. Pertama, revisi UU KPK merupakan keniscayaan agar kinerja dan akuntabilitas KPK terhadap masyarakat dapat dilaksanakan secara benar dan sejalan dengan bukan hanya sebanyak-banyaknya memenjarakan pelaku korupsi, melainkan juga semaksimal mungkin menyelamatkan kekayaan negara yang telah dirampok oleh para koruptor.

Kedua, sejalan dengan langkah pertama, diperlukan perubahan paradigma dari ”penghukuman”-represif menuju ”restoratif-preventif” yaitu pemulihan penerimaan pemasukan negara dari KPK dan penegak hukum lain. Ketiga, seluruh ketentuan UU KPK diperkuat dengan rincian tugas dan wewenang yang lebih jelas, tidak multitafsir dan memenuhi asas lex certa.

Keempat, status pimpinan dan pegawai KPK diberikan status khusus berbeda dengan jaminan perlindungan hukum yang memadai untuk mencegah kriminalisasi di satu sisi, dan di sisi lain untuk mencegah ”abuse of power” oleh pimpinan dan pegawai KPK. Kelima, perlu dibentuk Dewan Pengawas di luar struktur organisasi KPK diangkat dan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden.

Keenam, perlu dibentuk tenaga ahli KPK yang memiliki latar belakang pengetahuan dalam bidang hukum dan penegakan hukum, keuangan, dan perbankan. Ketujuh, peningkatan kinerja KPK dengan penambahan personel KPK diperkuat peningkatan anggaran KPK yang rasional dibandingkan dengan kepolisian dan kejaksaan.

Kedelapan, tugas dan wewenang penindakan KPK dibatasi, hanya untuk kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara baik pejabat negara, pimpinan proyek negara yang vital dan strategis, termasuk juga pegawai kepolisian dan kejaksaan yang melaksanakan fungsi penindakan. Selain itu, dibatasi untuk perkara korupsi dengan nilai di atas Rp30 miliar dengan pertimbangan, kebocoran APBN kurang lebih 30% per tahun sejak 1960 sampai sekarang (rumusan harus bersifat kumulatif dan atau alternatif).

Kesembilan, tidak diperlukan batas waktu keberadaan KPK, contoh ICAC Hong Kong, sampai saat ini masih tetap eksis sekalipun Hong Kong menunjukkan sukses dan terbilang nomor satu dibandingkan negara lain.

Kesepuluh, untuk mencegah ”abuse of power” karena pengaruh kepentingan kekuasaan, perlu sanksi pidana dan sanksi administratif dan untuk tujuan tersebut, perbuatan memperdagangkan pengaruh harus merupakan tindak pidana korupsi dengan segera mengubah UU Nomor 31 Tahun 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar