Selasa, 27 Oktober 2015

Semoga Belum Terlambat

Semoga Belum Terlambat

Jean Couteau  ;  Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 25 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Maestro seni lukis Joko Pekik tak ayal adalah jago metafor politik. Salah satu karya terakhirnya menggambarkan seekor buaya raksasa tengah melahap sebuah gunung, sementara goyangan ekornya mengobrak-abrik penduduk sebuah desa. Pesannya jelas: di mata Joko Pekik sang buaya adalah Freeport dan korbannya masyarakat Papua. Yang dikecam adalah ”imperialisme asing”. 

Terlampau sederhana? Bisa jadi demikian. Namun, lain halnya jika tafsir Joko Pekik diperluas. Kini tak tersangkal lagi bahwa kapitalisme adalah bak seekor buaya raksasa. Tidak pernah kenyang dan senantiasa perlu memperluas wilayah buruannya, apa pun akibatnya. Bagi kita yang cenderung memandang segi-segi positif dari modernitas—buah kapitalisme itu—sang buaya mengingatkan kita akan mudaratnya. Mari kita mengevaluasinya sekilas.

Pada tahun 1439, Gutenberg (1453) menciptakan mesin cetak. Terbukalah pintu pada tafsir pribadi atas Al Kitab dan dengan sendirinya pada individualisme modern. Namun, belum lama berselang percekcokan tafsir memicu wacana kebencian antara Katolik dan Protestan. Konflik agama terbuka menyusul (abad 16-17). Lalu, pada akhir abad ke-18, benih revolusi industri melabrak tatanan politik dan kultural Eropa Barat. Feodalisme roboh. Tafsir universalis yang tercerahkan dikira bakal unggul sebagaimana ditandai oleh pengumuman HAM di Perancis (1789). Namun, bersamaan waktu dengan itu, ”rasisme” diam-diam diteorikan, selaras dengan kolonialisme dan ekspansi kapital di luar Eropa. 

Alhasil, alih-alih menciptakan persaudaraan universal, Pencerahan dan Revolusi Perancis (1789-1798) justru sebaliknya bermuara pada ultranasionalisme dan imperialisme yang kemudian bakal memuncak dalam pembantaian Perang Dunia I (1914-1918) dan II (1939-1945). Jadi, pada fase itu fokus wacana kebencian beralih dari agama ke bangsa dan ras.

Situasi tambah kompleks pada abad ke-19 ketika industrialisasi melahirkan kaum buruh sebagai pelaku politik yang mengimbangi kaum modal/borjuasi. Situasi baru ini diteorikan oleh kaum sosialis dan terutama oleh Karl Marx. Berpegang pada keunggulan determinasi tekno-ekonomi di dalam evolusi sistem sosial, Marx menjanjikan bakal tibanya era sosialis yang serba indah ketika revolusi akan berhasil diimplementasikan di bawah panji ”kaum buruh/proletariat”. Namun, oleh karena menekankan peran konflik kelas sebagai syarat tercapainya sosialisme, teori Marxis ini tak ayal melahirkan suatu wacana kebencian yang baru—buruh lawan kapitalis, petani kecil lawan ”tuan tanah”. Jadi, jauh dari mewujudkan keadilan sosial, impian akan robohnya kapitalisme berakhir dalam darah, baik di dalam revolusi (Uni Soviet, Tiongkok, Kamboja) maupun di dalam kontrarevolusi (Indonesia, Malaysia, Cile).

Kini guncangan berkelanjutan selaras dengan jubah teknologi terbarunya dari modernitas. Hidup di lingkungan yang kian urban, di dalam ruang ekonomi dan kultural yang semakin terbatas, labil dan kompleks, manusia kontemporer cenderung bereaksi dengan dua cara yang bertolak belakang satu terhadap lainnya. Sebagian, pada umumnya elite sosial dan intelektual —para pemenangnya—sepenuhnya merangkul sistem baru. Mereka menjadi ”warga dunia” dan dedengkot HAM. Namun, mereka berhadapan dengan massa rakyat biasa yang oleh karena kian ”terombang-ambing” secara ekonomi dan kultural cenderung berpaling pada identitas primernya—etnisitas serta, lebih-lebih, agama.

Di dalam hal ini agama kehilangan dimensi spiritual-universalnya untuk menjadi badan sosial saja, yang kian terobsesi dengan ”kelianan” (otherness) kelompok-kelompok yang berbeda. Wacana kebencian kerap menyusul, berikut patologi kekerasannya. Dan itu terjadi di seluruh dunia. Sementara kaum radikal Timur Tengah mentakfirkan, lalu membantai musuhnya, kaum radikal India memimpikan India sebagai Hindutwa, dan Israel terlihat terus memperluas wilayahnya, konon untuk memenuhi janji Tuhan pada kaumnya, sebagaimana diyakini pula oleh kaum radikal Kristen Amerika. Gila!

Maka jelas, kan? Adalah suatu kekeliruan berasumsi bahwa modernitas serta-merta bermuara pada pencerahan dan toleransi. Terdorong guncangan struktural yang dalam, balikannya bahkan kerap terjadi, termasuk di negeri ini. Itulah sebabnya adalah penting mengambil tindakan penanggulangan yang efektif. 

Selain reformasi hukum dan peningkatan keadilan sosial, agaknya instrumen yang paling baik adalah Pancasila. Asal tafsirnya dan pengajaran agama yang menyertainya terbuka dan asal acuan pada agama dirumuskan sebagai ”pertemuan spiritual di dalam perbedaan” dan bukan sebagai sarana ”pengokohan identitas religius” umat/jemaat yang bersangkutan. Jadi, tantangan utama adalah pada modus pengajaran agama. Semoga belum terlambat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar