Minggu, 18 Oktober 2015

Singkil

Singkil

M Subhan SD  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                       KOMPAS, 17 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ketika Aceh diguncang perang pemikiran agama antara paham Syekh Hamzah Al-Fansuri dan Syekh Nuruddin Ar-Raniri hingga membawa korban pada abad ke-17, Syekh Abdurrauf As-Singkili (1615-1694) justru berpandangan menyejukkan. Ulama besar ini lebih moderat, tidak berada di antara dua kutub ekstrem itu. Maka, saat Aceh Singkil membara pada Selasa (13/10), pikiran langsung tertuju pada Syekh Abdurrauf, yang nama daerah tempat ia dibesarkan dinisbahkan kepada dirinya.

Singkil membara ketika terjadi bentrokan antar-umat beragama di Desa Sukamakmur, Kecamatan Gunung Meriah, itu. Seorang warga tewas dan beberapa lainnya terluka. Gereja dibakar dan ribuan warga mengungsi sampai Sumatera Utara. Peristiwa terkait masalah gereja tak berizin itu menambah noktah hitam bangsa heterogen ini. Padahal, pada Juli 2015, baru saja kita menghapus noktah hitam lain yang terjadi di ujung timur negeri ini saat kerusuhan terjadi di Tolikara, Papua, yang juga menghanguskan masjid. Pekan ini, noktah hitam itu berpindah ke wilayah paling barat di Aceh. Rasanya energi bangsa ini habis dikuras untuk memadamkan konflik berlatar agama.

Agama memang memiliki dua wajah. Satu wajah tampak sangat lembut penuh damai, tetapi wajah lainnya terlihat bengis dan penuh kekerasan. Di sejumlah negara, konflik agama tampak kronis. Konflik Hindu-Muslim di India, misalnya, sudah akut. Konflik Muslim-Kristen di Nigeria juga telah membuat negara tersebut terpuruk. Di negeri kita ini, pasca reformasi, konflik sosial berlatar agama juga terlalu banyak. Dekade belakangan ini, kekerasan agama telah merusak kohesi sosial bangsa, baik di dalam lingkungan seagama (intra-agama) maupun dengan agama lain (antar-agama). Kebencian, kemarahan, dan balas dendam tampak mencolok, menutupi wajah sejuk dan damai agama.

Konflik antar-agama memang sangat ideologis, yang secara historis merupakan perjalanan melelahkan penduduk Bumi ini. Sementara konflik intra-agama umumnya terkait sektarianisme dan aliran sesat (heresy). Konflik intra-agama paling mencolok antara lain Sunni-Syiah dan juga kasus Ahmadiyah. Bahkan, lebih mikro lagi adalah konflik antarintra-agama pun sekarang begitu bergemuruh, misalnya negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dengan sesama Sunni.

Bagaimana agama bisa subur berkontribusi dalam konflik, menarik untuk menyimak Jonathan Fox (1999), bahwa tampaknya tak lepas dari fungsi-fungsi dasar agama dalam politik dan masyarakat, yakni sistem kepercayaan; standardisasi yang membentuk kriteria pelaku dalam sistem kepercayaan; pengorganisasian umat; dan legitimasi aktor atau lembaga. Maka, relasi agama dengan kekerasan dapat dilihat dalam beberapa kategori. Pertama, agama menyangkut ideologi. Agama memiliki sejarah, akar, dan misi kekerasan. Tafsir keras agama sering menjadi dasar untuk perang suci. Walaupun sesungguhnya lebih banyak lagi tafsir damai yang disebarkan. Agama pun berwajah ganda: keras sekaligus damai.

Kedua, konflik agama muncul ketika terhubung dengan politik, ekonomi, dan sosial. Pasca Perang Dingin, Barat yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat tidak lagi tertandingi oleh komunisme. Konstelasi dunia berubah ketika Barat berhadapan dengan Islam. Barangkali inilah yang dikatakan Samuel Huntington (1992) sebagai pertentangan antarperadaban (the clash of civilization). Namun, Tariq Ali (2003) membantah Huntington. Apa yang terjadi sekarang bukanlah perang antarperadaban, melainkan perang antarfundamentalisme (the clash of fundamentalisms).

Ketiga, konflik dalam perspektif struktural. Maksudnya, melihat relasi antara pemimpin agama dan lembaga agama dengan institusi pemerintah, elite, dan oposisi. Struktur hubungan antara agama dan elite dapat menentukan agama dalam konflik. Jika kedua belah pihak sangat kooperatif dan akomodatif, institusi agama semakin mendukung rezim tertentu.

Konflik pun dapat terpicu tatkala agama dimanipulasi untuk tujuan politik. Terlebih lagi penderitaan sosial, seperti kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan, sangat potensial menjadi faktor pemicu. Memang, pada zaman Orde Baru, konflik cepat diredam. Begitu ada situasi yang eskalatif memanas, aparat langsung bertindak. Namun, bukan berarti cara-cara Orde Baru itu dapat ditiru karena demokrasi menolak tindakan represif.

Sayangnya, antisipasi pun tampak selalu terlambat. Padahal, Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti saja mengakui, polisi telah mengetahui soal keberadaan tempat ibadah yang diduga tidak berizin di Aceh Singkil itu sejak empat bulan lalu. Mengapa kasus rawan itu tidak ditangani super cepat? Apalagi, kasus Aceh Singkil sesungguhnya menyangkut aspek hukum (legalitas), bukan ideologi. Jika negara lamban, masyarakat bisa brutal karena rasa percaya kepada negara hilang (distrust).

Jika penegakan hukum di ranah agama ragu-ragu, berbagai upaya dialog, toleransi, saling menghormati, dan tidak memaksakan kehendak tampaknya bisa melelahkan. Pendek kata, jangan lagi api di Singkil membara di tempat lain. Bukankah lebih dari tiga abad silam, Syekh Abdurrauf As-Singkili atau Syiah Kuala telah menebar kesejukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar