Selasa, 27 Oktober 2015

Terik

Terik

Samuel Mulia  ;  Penulis Kolom “Parodi” Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 25 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saya sedang menikmati pemandangan laut di atas kapal pinisi. Pemandangan yang menakjubkan itu sering kali diselingi dengan pemandangan bukit kecoklatan yang tak kalah menariknya.

Musim panas yang datang sungguh menyengat dan membuat rumput yang menutupi bukit menjadi kering kecoklatan. Meski demikian, beberapa pohon cukup rindang justru tumbuh dan tetap mempertahankan warna hijaunya, seolah ia tak kalah dengan terik yang menyengat.

Kesal

Di saat saya sedang menikmati kedua pemandangan itu, nurani saya menyambar dengan cepat. ”Apakah hidup yang terik telah membuat kamu seperti rumput kering kecoklatan atau seperti pohon hijau yang tetap rindang?” Pertanyaan itu benar menghunjam kalbu.

Pasalnya, beberapa hari belakangan sebelum saya mengambil cuti liburan selama satu minggu, hari-hari saya dipenuhi dengan kesehatan yang menurun dan tak henti-hentinya menyerang sampai satu hari sebelum saya berlibur.

Ketika teman-teman memenuhi koper mereka dengan pakaian renang, bermuda, sepatu olahraga, dan seluruh perlengkapan liburan, saya mengisi koper tak hanya dengan pakaian, tetapi sejuta obat ini dan itu, serta perlengkapan untuk memeriksa kadar gula dan tekanan darah setiap hari.

Melihat perbedaan isi koper itu saja, saya sudah merasa sebalnya setengah mati. Apalagi, ini adalah kali pertama saya berlibur dengan satu tas khusus yang mirip kotak P3K, dengan sejuta catatan cara tepat untuk mengonsumsi obat.

Yang satu harus dikonsumsi setengah jam sebelum makan, yang satu lagi harus diminum tepat pada waktu makan, dan satu lagi setelah selesai. Pagi, siang, dan malam. Pemeriksaan kadar gula pun cukup mengganggu acara liburan itu.

Mengganggu karena pemeriksaan yang dilakukan setiap hari itu tak hanya setelah bangun pagi, tetapi sebelum makan siang, sebelum makan malam, dan pada pukul 10 malam. Acap kali kegiatan bersenang-senang harus dihentikan sejenak, hanya untuk pemeriksaan yang sungguh mengesalkan itu.

Saya duduk di beranda terbuka di atas kapal besar ketika nurani saya menghunjam dengan pertanyaan yang tak diharap datangnya. Sambil menikmati alam indah itu, saya terdiam dan merenungi pertanyaan itu.

Mengurangi terik

Saya memiliki keinginan yang sangat menjadi manusia yang mampu berdiri tegak seperti pohon hijau yang rindang. Bahkan berkeinginan untuk mampu merindangkan keadaan di sekitarnya ketika hidup begitu teriknya.

Saya ingin tidak kesal ketika hidup itu tidak mau berkompromi melihat saya tersakiti karena teriknya. Bahkan saya tak ingin kecewa kalaupun sesudah saya memoleskan badan dengan krim anti matahari, bahkan krim setelah terkena matahari, badan saya tetap gosong dan kulit jadi mengelupas.

Saya ingin memiliki kemampuan untuk menerima bahwa keadaan tidak akan membaik bahkan saat saya sudah melindungi diri dari sejak awal. Tetapi, sesungguhnya, saya sering kali merasa kesal, karena setelah mengadakan persiapan, saya tetap tertimpa kekeringan seperti rumput yang menutupi bukit-bukit itu. Saya yang pesimistis ini malah berpikir, makin saya berbuat hal yang positif, kok saya jadi makin menjadi sengsara.

Sebagai rumput kering, saya acap kali diserang rasa iri hati yang sangat melihat mengapa pohon hijau itu bisa bertumbuh menantang matahari bahkan menghijau dan menjadi rimbun. Saya tak bisa menerima melihat teman-teman saya yang tidak pernah berolahraga, merokok seperti minum air, bahkan ada yang sama sekali tak suka makan sayur dan buah, sampai ada yang tidak bekerja karena memang tidak mau bekerja, tetapi mereka tumbuh seperti pohon yang rindang di bukit-bukit kering itu. Mereka terlihat lebih sehat, subur, makmur dari saya yang setengah mati harus bekerja keras untuk hidup.

Saya tidak bisa menerima bahwa terik yang menyengat semua permukaan bumi, hanya mengeringkan bagian yang ini, dan tidak bagian yang itu. Saya acap kali berpikir mengapa mereka yang melakukan persiapan dengan cermat sejak awal, memiliki hasil yang jauh lebih kecil daripada yang mempersiapkan sekadarnya saja atau malah sama sekali tidak melakukannya.

Apakah mereka yang sejak awal tidak melakukan persiapan menghadapi terik kehidupan, sejujurnya mereka telah mempersiapkan sesuatu yang tak dilihat kasatmata? Apakah mereka memilih untuk melakoni hidup yang terik tidak dengan persiapan fisik, tetapi dengan hati yang menerima dan jiwa yang bahagia?

Ataukah skenario perjalanan hidup yang berbeda untuk setiap oranglah yang membuat perbedaan reaksi dan hasil dari sengat kehidupan yang terik? Saya lahir dengan IQ jongkok, yang lain dengan IQ kelewat tinggi, sehingga sejujurnya saya tak bisa mencontek skenario hidup orang lain untuk diterapkan pada diri saya sendiri.

Di beranda kapal besar itu, ketika matahari mulai berkemas untuk tenggelam, saya sungguh tak tahu menjawab pertanyaan itu. Yang saya tahu, saya bergumam sendiri. ”Enggak bisa ya intensitas terik mataharinya dikurangin buat yang punya IQ jongkok. Masak intensitas teriknya sama, IQ-nya beda. Kan yaa… enggak adil. Paling enggak kalau dikurangin, kan rumputnya enggak sampai kering-kering amat.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar