Minggu, 29 November 2015

Setya Harus Diberhentikan

Setya Harus Diberhentikan

Agus Riewanto  ;  Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana
Ilmu Hukum UNS
                                             KORAN JAKARTA, 23 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hari-hari ini DPR disorot tajam atas konspirasi Ketua DPR Setya Novanto dan dirut  PT Freeport Indonesia minta saham 20% dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo  dan Wakil Presiden Jusuf Kalla agar perpanjangan kontrak tambang yang akan berakhir 2021 diperpanjang sampai  2041(Koran Jakarta, 20 Nov 2015). Ini ramai setelah Menteri Energi Sumber Daya Mineral  Sudirman Said melaporkannya  ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Laporan juga disertai  alat bukti transkrip rekaman pembicaraan Ketua DPR, Dirut Freeport Indonesia dan pengusaha migas.

Ini kian menunjukkan,  mendekati  akses kekuasaan politik menjadi kunci  membangun kerajaan bisnis. Begitu pula kekuasaan politik akan dapat langgeng dalam genggaman bila berjalinan erat  pebisnis yang  diuntungkan secara politik karena terproteksi. Sedang politikus mendapat limpahan dana fee pebisnis untuk penguatan kekuasaan politik.

Inilah yang disebut sebagai relasi  simbiosis mutualisma dalam jejaring ekonomi-politik. Ini  juga bisa disebut relasi patron-client dalam pola akses  keuntungan ekonomi-politik. Kekuasaan politik menjadi patron dan pebisnisnya sebagai client. Keduanya tak terpisahkan karena sama-sama diunntungkan.

Menurut Vedi R Hadiz dan Richard Robinson (2013) dalam The Political Economy of Oligarchy and the Reorganization of Power in Indonesia, sesungguhnya sejak lama negara-negara  yang tengah mengayuh jalan menuju  demokrasi  selalu menghasilkan produk pebisnis yang dekat dengan  kekuasaan politik. Sedang  politisi  berhasil mempertahankan kekuasaan dengan pembiyaan pebisnis. Memang hampir semua pebisnis besar selalu terlibat dalam “permainan kekuasaan.” Begitu pula kekuasaan politik dapat “dimainkan”  para politikus.

Temali  keduanya akan menghasilkan produk bisnis hanya untuk mengekplorasi alam, tanpa meretaskan kesejahteraan rakyat  karena keuntungan  hanya buat  melayani kekuasaan yang memproteksi bisnis mulai dari izin, perpanjangan kontrak, konsesi pajak, perluasaan usaha, tenaga kerja, hingga kewajiban divestasi.

Demikianlah yang dapat disaksikan dari sejumlah bisnis besar yang melibatkan investasi asing di bidang minerba, salah satunya PT Freeport yang berbasis di Timika Papua, yang hingga hari ini belum mampu membawa kemakmuran rakyat setempat.

Pelanggaran Berat

Pencatutan nama presiden dan wakil presiden untuk mendapatkan saham PT Freeport yang diperankan Ketua DPR ini  bagian penjelmaan watak kekuasaan politik yang tak akan diam. Dia  menjadikan kekuasaan politik  alat  meraih dan menggeruk pundi-pundi  pebisnis kakap yang haus proteksi.

Maka  perilaku ini merupakan pelanggaran etika yang sangat berat karena telah memposisikan DPR sebagai negosiator ekonomi, yang merupakan tugas eksekutif. DPR penjaga konstitusi  dengan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran.  Itulah sebabnya MKD  tak perlu ragu untuk tegas  memberi sanksi berat kepada Setya. Dia harus diberhentikan dari ketua  dan keanggotaan DPR. Sebab perilakunya bukan saja melanggar Kode Etik DPR, tetapi secara politik telah menurunkan wibawa wakil rakyat. DPR dijadikan  alat pemburu rente.

Dari aspek hukum pidana perilaku Setya  dikategorikan sebagai penipuan dan pemerasan, sehingga  berpotensi tindak pidana korupsi. Dia harus  dijerat dengan UU Antikorupsi dan delik pidana umum KUHP. Mabes Polri dapat bertindak secara langsung tanpa harus menunggu laporan karena peristiwa ini masuk delik pidana mutlak (absolute crimes), bukan delik pidana relatif (relative crimes) yang memerlukan aduan dari pihak yang dirugikan.

Bahkan atas dasar penetapan tersangka Polri ini dapat dijadikan alat  MKD  untuk kian mempercepat  sanksi berat pelanggaran kode etik  karena telah dijadikan tersangka oleh polisi, maka Setya  dapat disanksi pelanggaran kode etik kategori berat. Dia harus  diberhentikan dari posisi Ketua DPR. MKD  dapat segera membentuk panel ahli  dari unsur masyarakat dan dewan  untuk merekomendasikan sanksi  segera dibawa dalam  paripurna.

Sanksi berat kode etik DPR ini perlu dilakukan MKD pada Setya  bukan semata-mata disertai kebencian atau sentimen terhadap partai tertentu, tapi  menegaskan bahwa  DPR perlu dijaga wibawanya. Dengan begitu  tak dijadikan alat  mengeruk keuntungan. Selain itu, juga  untuk menunjukkan, kejahatan konsiprasi politik di DPR, siapa pun pelakunya  harus dihukum.

Jauh lebih terhormat jika Golkar  menariknya (merecall)  menggunakan UU No 2/2011 tentang Partai Politik sebagai bentuk akuntabilitas parpol yang mampu bertindak secara tepat dalam suasana genting dan memaksa. Publik  akan  hormat dan percaya pada parpol tersebut.

Cara lain, paling  elegan Setya berani  mengundurkan diri karena telah  menimbulkan kontroversi dan kegaduhan politik nasional. Mundur dari ketua DPR bukan hanya  menguntungkan diri secara politik,  tetapi  juga lembaga  DPR dijaga martabata dan wibawanya.

Selama ini DPR periode 2014-2019 yang belum dua tahun  telah berada dalam titik nadir. Ketidakpercayaan publik atas perilaku dan sikap-sikap politisinya meninggi. Apalagi kinerjanya rendah. Yang dipentingkan hanya menaikkan tunjangan jabatan, peningkatan pembangunan fisik gedung, permintaan pengelolaan dana aspirasi, hingga perilaku Ketua DPR dan Wakil Ketua DPR yang pelesiran ke Amerika Serikat yang juga tercela secara etis.

Salah satu usaha positif untuk memulihkan wibawa DPR  MKD harus bernai  sidang  terbuka kasus ini lalu memberi sanksi  tegas. Ini kalau MKD bisa diharapkan menegakkan kode etik. Sebaliknya, jika MKD  tak bernyali menjatuhkan sanksi tegas, menggambarkan negeri ini penuh  permainan “orang kuat” dalam lembaga DPR. Publik hanya bisa  mencaci maki DPR sebagai sarang para penyamun.

Di sinilah ujian sensitivitas MKD. Mampukah  mahkamah ini  mengakhiri kasus ini secara elegan berdasarkan  mandat moralitas publik. Apalagi  di dunia maya  publik terus menyuarakan kegeraman atas kasus ini untuk segera diselesaikan dengan tuntas. Bahkan dalam situs layanan analisis media sosial Topsy saja terdapat 10.332 cuitan dengan tagar #Papamintasaham.

Cuitan geram pada kata Setya Novanto ada 45.373 kali dan Freeport  81.584. Fakta ini menunjukkan beta besar harapan publik pada MKD  agar tidak tuna sensitif. Mahkamah haraus berani, tegas, dan beradab.

Dunia yang Terkoyak

Dunia yang Terkoyak

Komaruddin Hidayat  ;  Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
                                                KORAN SINDO, 27 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ketika saya menelusuri beberapa negara Eropa, baik Eropa Barat maupun Eropa Timur, melalui jalan darat (2014 dan 2015), ingatan saya melayang saat jalan-jalan ke Timur Tengah. Situasinya sangat berbeda. Kita cukup memiliki visa satu negara Eropa yang tergabung dalam Schengen, kecuali Inggris, kalau mau jalan-jalan. Bus dengan leluasa keluar-masuk tanpa pemeriksaan paspor. Ini sangat berbeda dengan pengalaman saya ketika tahun 1986 ke Arab Saudi dengan bus berangkat dari Turki.

Sedikitnya ini saya lakukan tiga kali ketika saya kuliah di Turki (1985-1990), yaitu untuk beribadah haji dan kerja musiman di KBRI. Begitu masuk wilayah Suriah, petugas keamanan memeriksa paspor semua penumpang dengan gayanya yang sok wibawa. Namun sopir sudah paham, ujung-ujungnya minta uang dan makanan khas Turki yang sudah disiapkan sopir.

Begitu pun ketika kendaraan masuk perbatasan Yordania dan Arab Saudi, peristiwa serupa terjadi. Kesimpulannya, mereka tidak punya tradisi melayani tamu yang datang agar tamu memiliki kenangan indah dan simpatik. Di sepanjang jalan pun kita sulit menemukan WC yang bersih. Apakah simpulan saya ini bersifat subjektif dan tidak fair, silakan bandingkan dengan pengalaman Anda sendiri ketika berurusan dengan petugas imigrasi negaranegara Timur Tengah, misalnya sewaktu ibadah umrah atau haji.

Kini situasinya semakin buruk. Ketika berkunjung ke Yerusalem, situasinya berbeda lagi. Di sana-sini terlihat tentara Israel bersenjata lengkap layaknya mau perang. Padahal sejak kecil saya diceramahi bahwa kota itu merupakan home base penyebaran agama Yahudi yang dibawa Nabi Musa dan agama Nasrani yang dibawa Nabi Isa, juga tempat Nabi Muhammad melakukan isra’ dan mi’raj.

Tapi yang kita tahu wilayah ini justru menjadi medan konflik dan perang yang dampak negatifnya dirasakan seluruh penduduk bumi. Bagi mereka yang menelusuri wilayah Arab dengan jalan darat, dibutuhkan bekal kesabaran tinggi. 

Di daratan Afrika juga mirip kondisinya. Batas antarnegara yang merupakan gurun pasir tidak jelas dan tidak permanen memisahkan antarnegara sehingga potensial memancing konflik. Belum lagi konflik politik dan ideologi antarmereka. Sudan, Nigeria, Aljazair, Libya, dan beberapa negara lain tak sepi dari konflik. 

Meski perjalanan ke negara- negara Eropa cukup lancar dan menyenangkan, semua pemandu wisata Indonesia selalu mengingatkan, hati-hati dengan copet yang beroperasi dengan sangat canggih. Penampilan perlente, sangat di luar dugaan bagi turis Indonesia yang mudah tertarik pada penampilan luar. Turis Asia saat ini jadi sasaran empuk bagi copet karena lebih senang membawa uang tunai dalam jumlah besar, bukannya mengandalkan kartu kredit. Jumlah turis China bisa mencapai 100 juta dalam setahun. Turis Indonesia pun ikut naik citranya di Eropa. Dianggap negara kaya. Sasaran empuk bagi copet dan penipuan.

Meminjam istilah JJ Rousseau, sejak manusia mengenal ungkapan ceci est a moi, ini milikku, this is mine, sumber kekayaan alam lalu jadi objek perebutan. Maka bumi pun dikaveling-kaveling. Pada awalnya mungkin saja kepemilikan itu berdasarkan hubungan darah dan warna kulit yang telah lama mendiami sebuah wilayah.

Tapi lama-lama perebutan dan pengavelingan itu atas nama bangsa dan negara yang ditopang senjata dengan motif akumulasi materi dan kekuasaan politik. Tidak hanya bumi, lautan dan udara pun dikaveling-kaveling. Dalam drama perkelahian antara Kabil dan Habil, nafsu kepemilikan ini dibumbui kedengkian dan kecemburuan seperti dalam kisah Alquran.

Akhir-akhir ini bahkan ditambah lagi dengan klaim atas nama Tuhan oleh sekelompok gerakan keagamaan yang mengusung nama tentara dan wakil Tuhan di muka bumi. Tak ada kepemilikan sejati kecuali semua ini milik Tuhan. Jadi merekalah yang punya hak, di luar mereka adalah kafir, perampok yang halal darahnya. Memang benar dikatakan bahwa damai itu merupakan dambaan fitri setiap manusia.

Namun kenyataannya sejarah manusia tak pernah sepi dari bahasa kebencian yang mengarah pada konflik dan perang. Langit canopy senantiasa terkoyak oleh perang simbolik, sementara perang fisik juga terjadi di mana-mana. Pakistan pisah dari India dengan kemarahan.

Menyusul kemudian Bangladesh memisahkan diri dari Pakistan. Ketegangan antara Pemerintah Korea Utara dan Korea Selatan masih berlangsung sekalipun warganya rindu untuk rekonsiliasi. Sisa-sisa kemarahan pecahnya Uni Soviet dan Yugoslavia juga masih jauh dari redam. Kadang kala apa yang disebut negara memang tak ubahnya penjara. Biangnya para elite penguasanya.

Meretas Integrasi Berbasis Koperasi

Meretas Integrasi Berbasis Koperasi

Dodi Mantra  ;  Pegiat Koperasi Riset Purusha;
Dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina
                                                     KOMPAS, 28 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sekalipun selalu bernaung di bawah tajuk "komunitas" dan "masyarakat", peran komunitas, terlebih masyarakat, absen dalam integrasi kawasan ASEAN. Ketidakhadiran masyarakat justru tampak nyata dalam agenda integrasi di pilar besar dan utama, yakni Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Ironis memang, agenda integrasi yang bertujuan untuk mewujudkan ASEAN sebagai komunitas ekonomi justru tidak berpijak pada kekuatan ekonomi komunitas.

Ekonomi komunitas, dalam rupa-rupa entitas, praktik, dan pengorganisasian ekonomi yang berbasis kekuatan kolektif masyarakat, belum menjadi pilar geliat integrasi ekonomi kawasan. Kenyataannya, integrasi ekonomi ASEAN justru digerakkan oleh entitas ekonomi yang berjarak dan tidak berakar pada kehidupan masyarakat, yakni entitas ekonomi korporasi.

Rapuhnya pilar integrasi

Tak ada yang salah dari peran besar entitas korporasi sebagai penggerak integrasi ekonomi kawasan.  Bahkan, performa positif perekonomian ASEAN berupa peningkatan signifikan nilai investasi dan perdagangan-baik ekstra maupun intra-kawasan di sepanjang langkah menuju terwujudnya MEA-adalah buah dari aktivitas entitas korporasi transnasional di kawasan.

Namun, pendorong ekspansi adalah motivasi korporasi transnasional meraup keuntungan dengan menekan biaya produksi: tingkat upah buruh murah dan kemudahan akses sumber daya alam.  Kondisi ini tecermin dari posisi dan partisipasi ASEAN dalam rantai nilai global, yang didominasi oleh aktivitas produksi pada tingkat nilai rendah.

Hasil kajian ASEAN bersama UNCTAD dalam ASEAN Investment Report 2013-2014: FDI Development and Regional Value Chains menunjukkan, performa positif perekonomian ASEAN 2013-2014 adalah hasil aktivitas korporasi transnasional memperluas rantai nilai dan jejaring produksi di Asia Tenggara.

Ekspansi terutama berlangsung dalam wujud perluasan kapasitas produksi, pembangunan pabrik-pabrik baru, penambahan lini dan cabang-cabang produksi, serta penciptaan fungsi-fungsi bisnis baru dari yang selama ini telah beroperasi di ASEAN. Pemikatnya adalah tingkat upah murah, potensi pasar luas, dan peluang besar pada sektor industri ekstraktif (ASEAN Secretariat & UNCTAD, 2014).

Laju integrasi ekonomi ASEAN juga berhasil mendorong ekspansi aktivitas korporasi transnasional intra-kawasan. Namun, pola ekspansi ini lagi-lagi digerakkan oleh upah murah dan ekstraksi sumber daya alam. Terbukti, pola ekspansi intra-ASEAN bergerak menuju kelompok negara CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam), di mana tingkat upah jauh lebih murah dan akses terhadap sumber daya alam sangat besar.

Namun, kemiskinan, ketimpangan, perampasan lahan, dan kerusakan lingkungan terus terjadi. Alih-alih memberdayakan dan memperkuat basis ekonomi masyarakat, ekspansi rantai nilai korporasi transnasional di Asia Tenggara justru meminggirkan ragam praktik ekonomi kolektif yang sudah berlangsung dalam kehidupan masyarakat.

Koperasi sebagai pilar

Suatu entitas dan sistem pengorganisasian ekonomi berbasis kekuatan kolektif komunitas sebenarnya telah berjalan di seluruh ASEAN, yaitu koperasi.

Prinsip koperasi, baik dari sisi tujuan, sumber kekuatan, pola kerja, maupun mekanisme pembagian nilai di dalamnya, jauh berbeda dengan korporasi.  Jika tujuan dari entitas korporasi adalah meraup keuntungan melalui kegiatan produksi barang dan jasa, koperasi mengorganisasikan kegiatan produksi untuk memenuhi kebutuhan anggotanya.

Korporasi memutuskan produk yang akan dihasilkan berdasarkan permintaan pasar, koperasi menentukan produksi mereka atas dasar kebutuhan dan kepentingan anggotanya.

Berbeda dengan korporasi yang digerakkan oleh kekuatan dan kepemilikan kapital, koperasi bergerak melalui penggalangan kekuatan dan sumber daya kolektif anggota. Tidak ada pemisahan di antara pemilik modal dan pekerja di dalamnya.

Kerja koperasi berbasis pada kesepakatan serta komitmen bersama. Sebaliknya, pengorganisasian kerja korporasi berjalan hierarkis dan instruksional.

Perbedaan semakin tajam dalam aspek pembagian nilai dari aktivitas produksi. Keuntungan korporasi sepenuhnya dikuasai oleh pemilik modal karena relasi dengan pekerja bersifat transaksional berbasis upah.  Sebaliknya, hasil kerja kolektif koperasi didistribusikan sesuai dengan kontribusi masing-masing anggota.

Kenyataannya, ketika krisis melanda perekonomian dunia, koperasi mampu bertahan dan berkembang pesat.  Tidak heran jika negara-negara maju pun menjadikan koperasi sebagai salah satu pilar ekonomi.

Merujuk pada cara kerja dan prinsipnya yang berbeda dengan korporasi, juga kekuatan dan kontribusinya bagi pembangunan ekonomi kawasan, apalagi meningkatkan peran perempuan dan membuka lapangan pekerjaan, Uni Eropa memancangkan koperasi sebagai salah satu pilar dalam integrasi ekonominya.

Dalam Council Regulation (EC) No 1435/2003 of 22 July 2003 on the Statute for an European Cooperative Society (SCE), negara-negara Uni Eropa meletakkan koperasi sebagai entitas tersendiri yang berbeda dengan entitas ekonomi lainnya.  Lebih dari itu, Uni Eropa menyediakan landasan hukum bagi koperasi agar leluasa menjalankan aktivitas ekonomi kolektifnya.

Uni Eropa memfasilitasi aktivitas koperasi lintas batas negara dalam skema koperasi transnasional. Secara teknis, diatur di dalamnya mulai dari legalitas, prosedur keanggotaan, sampai mekanisme pembentukan dan penggabungan koperasi lintas negara di Eropa.

Mengacu pada prinsip, cara kerja, dan pola pengorganisasian ekonomi, koperasi dapat menjadi pilar integrasi kawasan dengan kekuatan kolektif dan semangat komunitas sebagai pijakannya.

Sayang, semangat ASEAN mengintegrasikan ekonomi melalui agenda MEA tidak memberi ruang bagi koperasi sebagai kekuatan potensial. Padahal, di ASEAN jutaan anggota koperasi tersebar di hampir setiap negara anggota. Masing-masing negara mengakui dan memiliki landasan regulasi koperasi sebagai entitas ekonomi.  Namun, hampir tidak dapat ditemukan di dalam agenda MEA suatu skema, program, atau regulasi yang memberi ruang bagi koperasi sebagai penggerak integrasi.

Ketika Uni Eropa berupaya mengenali dan mendorong koperasi, agenda integrasi ekonomi ASEAN justru mengabaikannya.  Terlepas dari dinamika koperasi yang beragam di tiap negara ASEAN, agenda integrasi ekonomi ASEAN harus memberi ruang gerak bagi koperasi di dalamnya. Ruang yang berpijak dan digerakkan oleh kekuatan ekonomi kolektif masyarakat.

Kerangka aturan yang memberi ruang dan memfasilitasi koperasi agar dapat memainkan peran dalam integrasi ekonomi kawasan perlu segera diformulasikan dan diberlakukan. Dengan demikian, koperasi transnasional ASEAN dapat menjadi pilar bagi terwujudnya integrasi ekonomi kawasan yang berlandaskan pada prinsip kolektivitas, demokrasi, dan semangat komunitas yang sesungguhnya.

Terorisme dan Negara Gagal

Terorisme dan Negara Gagal

Komaruddin Hidayat  ;  Guru Besar Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta
                                                     KOMPAS, 28 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam suatu obrolan bersama Pak Jusuf Kalla belum lama berselang, ada beberapa pernyataan yang menarik dielaborasi. Di antaranya korelasi antara negara gagal, failed state, dan terorisme.

Dunia Arab yang semasa abad tengah dikenal sebagai pusat peradaban dunia dan belakangan sebagai sumber minyak hari-hari ini justru menjadi wilayah konflik berdarah-darah. Rakyatnya menderita dan sebagian besar mengungsi ke Eropa. Karier politik tokoh-tokoh fenomenal yang dikagumi dan sekaligus ditakuti, seperti Saddam Hussein di Irak, Moammar Khadafy di Libya, dan Hosni Mubarak di Mesir, berakhir mengenaskan. Kekacauan tiada henti juga terjadi di Afganistan, Suriah, dan beberapa negara Arab lain sehingga masuk jebakan negara gagal.

Negara-negara itu pada dasarnya kaya, tetapi pemerintah dan rakyatnya jatuh miskin dan saling bunuh. Dari situasi politis, ekonomis, dan psikologis seperti ini, terasa logis jika bermunculan tokoh-tokoh radikal dengan aura dendam dan amarah. Mereka marah kepada pemerintah dan pihak-pihak asing yang mereka anggap ikut andil bagi kegagalan negaranya.

Belajar dari pengalaman menyelesaikan konflik di Tanah Air dan mengamati terorisme global, Pak JK menyebut beberapa nama tokoh teroris, baik dalam maupun luar negeri, yang awalnya masuk kelompok preman. Jadi, akibat negaranya kacau, banyak pemuda yang hidupnya juga kacau. Ketika mereka bertemu dengan gagasan dan paham keagamaan yang menawarkan "jihad" melawan "orang kafir" sebagai jalan menebus dosa dan sekaligus ke surga, mereka melihat peluang untuk mengubah nasib, dari posisi tidak jelas dan tidak berguna menjadi pahlawan pembela umat dengan imbalan surga.

Mereka ingin dirinya berarti bagi agama dan negara. Mereka mendermakan pikiran dan nyawa pada paham agama yang mereka yakini sehingga jalan terorisme menjadi pilihan untuk membalas musuh yang membuat hidup dan negaranya gagal berantakan.

Kelompok teroris adalah mereka yang ingin mengubah kegagalan dan kelemahan membangun kehidupan di dunia menjadi kemenangan di balik kematian. Kematian adalah pintu terdekat untuk meraih kemenangan dan bisa membalikkan posisi sosial yang semula gagal menjadi pahlawan. Tentu sebuah penalaran yang absurd ketika merumuskan kategori musuh. Jika mereka membela negaranya yang gagal, mereka akan mencari sasaran negara lain yang membuatnya gagal.

Mereka tidak berbicara individu, tetapi menyerang kelompok-kelompok yang secara simbolik dianggap mewakili negara atau kelompok yang mereka benci. Dengan demikian, terorisme bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan ajaran agama yang melarang menyakiti dan membunuh orang tidak bersalah.

"Holocaust"

Pikiran gila kelompok teroris ini pernah menjangkiti Adolf Hitler yang sangat kecewa dan marah atas kegagalan Jerman pada Perang Dunia I. Demi membela bangsa dan negaranya, dia tampil dengan slogan mengembalikan martabat Jerman sebagai bangsa unggul dunia. Dia membuat semua anggota Nazi bersumpah setia dan menaati komando apa pun darinya demi supremasi Jerman.

Dia mencuci otak (brainwash) anak buahnya, berpuncak pada arahan membersihkan etnis (ethnic cleansing) di seluruh Jerman, terutama Yahudi. Ketika berkunjung ke Auschwitz, Polandia, saya melihat dari dekat gedung-gedung tahanan dipagari kawat listrik, kamp pembakaran dengan gas, bahkan ruang-ruang penyimpan tumpukan kaleng gas untuk kremasi, tumpukan sepatu, kacamata, alat dapur. Foto dokumentasi berderet di tembok, membangkitkan imajinasi kekejaman Nazi.

Museum pembersihan etnis era Hitler yang dikenal dengan sebutan holocaust menarik minat pengunjung. Saya melihat serombongan pemuda membawa bendera Israel meneteskan air mata. Bagi pemuda Yahudi yang ziarah ke Auschwitz, sangat mungkin terpatri sebuah pesan ideologis yang bernama power atau kekuatan. Hanya dengan kekuatan teknologi, ekonomi, dan politik, sebuah bangsa-kecil sekalipun-tak akan dihinakan oleh bangsa lain. Mungkin sekali bagi generasi muda Yahudi, ziarah ke Auschwitz bagaikan recharging motivasi untuk survive. Sayang, bangsa Yahudi yang berulang kali merasakan pahitnya ditindas penguasa tidak bisa berempati dengan penderitaan bangsa Palestina yang mereka kuasai.

Hitler akhirnya bunuh diri pada 30 April 1945 setelah terkepung musuh. Saya tidak yakin ia membayangkan surga dan bidadari. Sangat berbeda dengan psikologi terorisme yang menjual simbol agama. Mereka meyakini kehidupan lain di balik kematian, lebih indah dan abadi, yang dengan mudah memikat remaja yang merasa gagal membangun kehidupan yang mereka idealkan.

Kita bisa bayangkan, Timur Tengah yang semasa abad tengah merupakan pusat peradaban dunia dengan simbol keislaman sekarang babak belur bertikai, berebut hegemoni kekuasaan dan sumber minyak. Timur Tengah bak papan catur. Yang jadi raja atau dalangnya adalah elite dalam negeri, berkolaborasi dengan kekuatan luar. Bidak-bidak yang jadi korban sudah pasti rakyat kecil, sesama bangsa Arab dan sesama Muslim.

Perang yang tidak jelas awal-akhirnya ini telah mengantar negara-negara Arab menjadi negara gagal, menyengsarakan rakyat, dan membuat masa depan tidak jelas. Tokoh-tokoh yang semula mereka kagumi dan takuti satu demi satu tumbang. Dalam keputusasaan ini, ideologi "jihadisme" merupakan tawaran menarik, yaitu menyerang pihak-pihak yang mereka yakini sebagai penyebab kegagalan dan kesengsaraan hidup.

Pihak-pihak yang terlibat dalam perang saudara di Timur Tengah merasa berada di jalan Tuhan. Yang mereka hadapi adalah musuh Tuhan sekalipun secara sosiologis-demografis sama-sama Muslim. Perang di jalan Tuhan lebih menjanjikan karena jika mati langsung ke surga, dibandingkan insentif jabatan dunia yang  tidak mungkin diraih karena kondisi negaranya sudah kacau.

Maka, bagi mantan-mantan preman itu, bergabung dalam jaringan terorisme diyakini sebagai jalan penebusan dosa dan bahkan naik status sosial sebagai tokoh yang disegani. Semula hanya preman jalanan musuh polisi, sekarang berbalik menjadi pasukan suci di medan juang global. Nyawa orang lain dan dirinya sangat murah, ditukar dengan kematian sebagai tiket ke surga. Kompensasi kegagalannya di dunia.

Tentu ini sangat bertentangan dengan ajaran agama. Namun, logika gila beracun inilah yang mereka jual melalui berbagai cara dan telah menarik pembeli dari kelompok-kelompok yang terpinggirkan secara sosial-politik di sejumlah negara.

Kapan berakhir?

Sulit menjawabnya selama negara-negara Arab-khususnya-masih terus berkonflik sehingga tidak berhasil menciptakan kemakmuran, keadilan, dan menjaga identitas bangsanya. Saya sendiri sulit membayangkan munculnya tokoh Arab yang mampu menyatukan mereka untuk mengakhiri nestapa dunia Arab. Bak papan catur berdarah, setiap penguasa ingin menggulingkan yang lain.

Semua pihak memang harus introspeksi, baik kekuatan politik di lingkungan Arab maupun kekuatan asing. Bagi negara Arab yang secara ekonomi sudah terpenuhi, kebutuhan mereka meningkat pada pemenuhan kebutuhan nonfisik, misalnya kebebasan berserikat dan pendapat, yang pasti tidak disukai para monarki. Itu sebabnya, Iran dan Turki tidak disenangi para sultan karena mempromosikan demokrasi yang dipelintir menjadi isu Sunni-Syiah dan sekularisme.

Begitu juga negara asing yang terlibat permainan catur politik Timur Tengah karena ingin menguasai sumber minyak mesti berkomitmen membantu menciptakan kedamaian dan kesejahteraan. Kalau tidak, anak-anak muda yang frustrasi melihat negerinya kacau akan menumpahkan kemarahan kepada pihak asing yang empuk dan mudah ditembus.

Maka, Indonesia jangan sampai masuk perangkap negara gagal karena akan menyuburkan terorisme. Sebaliknya, sebagai masyarakat majemuk dengan mayoritas warganya beragama Islam, inilah peluang dan panggilan kemanusiaan untuk menunjukkan bahwa Islam Indonesia pro kedamaian dan pro peradaban.

Renegosiasi Kontrak dan Akal Sehat

Renegosiasi Kontrak dan Akal Sehat

Siti Maimunah  ;  Peneliti Sajogyo Institute; Ketua Tim Kerja Perempuan dan Tambang
                                                     KOMPAS, 28 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setelah hampir setengah abad meng-eksploitasi Papua, PT Freeport Indonesia/Rio Tinto tak hanya berhasil mengeruk kekayaan alam Indonesia. Lebih jauh, ia juga membuat pengurus negara kehilangan akal sehat.

Setidaknya hal itu terlihat dari drama tak bermutu petinggi DPR dengan para menteri Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla yang memperkarakan skandal renegosiasi kontrak karya (KK) PT FI. Mereka lupa, substansi utama KK tak hanya saham dan royalti, tetapi juga keselamatan rakyat dan alam Papua.

Di luar kontribusi pada devisa negara yang angkanya harus dipertanyakan-karena tak memasukkan biaya kerusakan lingkungan dan sosial dalam jangka panjang-operasi tambang PT FI lebih banyak merepotkan.

Ibarat pisau bedah

KK pertambangan dengan cadangan emas terbesar dunia ini menjadi kiblat kebijakan pertambangan Orde Baru. Kebijakan itu ditandai dengan keluarnya Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, KK PT FI, dan UU No 11/1967 tentang Pertambangan Umum. Soeharto menandatangani KK PT FI sebelum UU Pertambangan disahkan, bahkan sebelum Penentuan Pendapat Rakyat Papua berlangsung. KK PT FI ditandatangani April 1967, delapan bulan kemudian keluar UU Pertambangan Umum.

Model KK PT FI lantas diadopsi UU Pertambangan. Sejak itu, bumi pertiwi makin banyak melayani korporasi asing, seperti Vale/Inco, Rio Tinto, dan Newmont. Pelanggaran HAM, perusakan lingkungan, dan pemiskinan kerap menyertai operasi pertambangan di Indonesia. Sayangnya, peraturan baru, UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara, juga tak mengkaji ulang izin-izin itu.

Bagi orang Papua, operasi tambang PT FI bagai pisau bedah yang memutus ikatan manusia dengan alamnya. Ikatan antara suku-suku pegunungan tengah Papua yang memandang alam sebagai ibu. Puncak gunung adalah Ninggok, tempat meletakkan kepala ibu, wilayah spiritual tertinggi, tempat berhubungan dengan Sang Pencipta. Sementara dada hingga perut ibu adalah lahan lebih landai, tempat sungai, kebun, dan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat.

Ninggok telah dihancurkan PT Freeport. Itulah puncak Gunung Etzberg, kini menjadi lubang raksasa sedalam 360 meter. Sementara dada dan perut sang ibu juga berubah. Dataran rendah Sungai Ajkwa kini menjadi tempat buangan limbah tailing PT FI yang mencapai 300.000 ton per hari.

Papua tak lagi damai

Kekerasan, penyiksaan, dan pembunuhan di sekitar pertambangan terus terjadi sejak Freeport di sana. Di awal-awal operasinya, pada 1972 dan 1977, lebih dari 1.000 orang Amungme meninggal karena kekerasan (Elsham Papua, 2003).

Australian Council for Overseas Aid (1995) juga mengeluarkan laporan kasus-kasus pembunuhan dan penghilangan paksa oleh militer terhadap puluhan warga asli Papua di sekitar tambang PT FI sepanjang 1994-1995. Kucuran dana PT FI membuat kawasan itu menjadi ajang kekerasan, melibatkan bisnis militer dan tak tersentuh hukum.

Pemulihan luka spiritual dan fisik semestinya menjadi bagian tak terpisahkan dalam memutuskan nasib tambang emas terbesar di Indonesia ini. Konsultasi dengan rakyat Papua seharusnya menjadi prasyarat sebelum Presiden dan para menteri mengeluarkan keputusan terus atau putus.

Sudah waktunya para pengurus negeri mengubah cara memperlakukan tanah Papua sebatas penghasil devisa. Tambang PT FI mengubah lanskap fisik dan sosial warga Papua. Sungguh menghina akal sehat memaknai ruang hidup tersebut sekadar pembesaran royalti atau divestasi saham. Syarat renegosiasi kontrak-royalti, konten lokal, pembangunan smelter, dan divestasi  saham-tak banyak gunanya untuk keselamatan orang Papua.

Februari 2015, Menteri LHK menyatakan, audit lingkungan terakhir pemerintah terhadap PT FI adalah 25 tahun lalu, sementara pengawasan tahunan dihentikan pada 2011. Padahal, selama menambang, PT FI telah membuang lebih dari 7 miliar ton limbah ke lingkungan, 2,4 miliar ton di antaranya berbentuk lumpur tailing ke Sungai Ajkwa.

Skandal renegosiasi kontrak Freeport yang melibatkan wakil rakyat dan kabinet penting diungkap. Namun, jangan lupakan rakyat Papua dan lingkungannya sebagai substansi pokok.

Saatnya Presiden Jokowi melakukan "penyelamatan terpimpin" demi kemaslahatan orang Papua dan kedaulatan negara.

Ssst, Ini Politisi Kuat Lho...

Ssst, Ini Politisi Kuat Lho...

M Subhan SD  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 28 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Lengkap sudah cerita muram politisi DPR. Lebih dari sepekan ini publik terperangah sekaligus geram menyaksikan rekaman pertemuan Ketua DPR Setya Novanto—bersama pengusaha minyak Riza Chalid—dan bos PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, yang kemudian menjadi topik panas ”papa minta saham”. Nama Presiden dan Wakil Presiden diduga dicatut dan juga beberapa nama pejabat, termasuk Menkopolhukam Luhut B Pandjaitan. Dan, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), penjaga martabat anggota DPR itu, sempat gamang. Memilukan dan memalukan!

Lebih setahun menduduki kursi empuk di Senayan, DPR cuma bikin gaduh dan mempertontonkan perangai tidak terpuji: mulai dari ribut-ribut rebutan jabatan, berkelahi di ruang sidang, minta gedung baru berfasilitas lengkap, menjadi pialang/makelar proyek, bertemu kandidat calon presiden Amerika Serikat, hingga rekaman ”papa minta saham” PT Freeport. Sebaliknya, kinerjanya jeblok. Politisi yang seharusnya hidup bertiang etika dan akhlak cuma ”manis di bibir”, tetapi terasa pahit di sekujur tubuh kehidupan nyata.

Pengaduan Menteri ESDM Sudirman Said ke MKD adalah bagian dari upaya mencegah praktik gelap perdagangan pengaruh (trading in influence) pemilik kekuasaan. MKD seharusnya proaktif sebagai penjaga marwah DPR. Bukan malah mempersoalkan legal standing. Ini persoalan etika, bukan soal hukum. Polemik awal hampir saja persoalan teknis mengalahkan substansi pengaduan Sudirman yang pejabat negara.

Terbongkarnya rekaman itu mengonfirmasi masih banyak kegiatan aneh-aneh yang dilakukan politisi DPR. Reformasi yang menentang korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) telah dikhianati dalam dua windu ini. Jika kutipan dialog ”Freeport jalan, Bapak itu happy, kita ikut happy, kumpul-kumpul, kita golf, kita beli private jet yang bagus dan representatif” dianggap cuma becanda, sungguh keterlaluan. Jadi, ini persoalan praktik percaloan yang dilakukan politisi, bukan sekadar pencatutan nama Presiden dan Wapres. Praktik percaloan tampaknya ibarat gunung es, sedikit saja yang diketahui publik. Sisanya tersembunyi di kedalaman lautan.

Pencatutan nama hanya mereduksi praktik kolusi yang hingga kini masih merajalela. Dengan kekuasaan yang besar, mereka tetap saja memainkan agenda tersembunyi demi kepentingan sendiri. Dan, rakyat sudah muak menyaksikan perilaku para pejabat yang tak terpuji dan tak punya malu. Kasihan politisi lain di DPR yang berusaha benar-benar bekerja untuk rakyat.

Menurut Machiavelli (The Prince, 1513), penguasa itu dua tipe: singa (lion) yang keras, berbahaya, tetapi mudah terperangkap; dan rubah (fox) yang licik dan rakus, tetapi sulit menghadapi serigala. Jadilah rubah untuk jeli melihat jeratan dan jadilah singa untuk menakut-nakuti serigala. Singa dan rubah sama-sama buas. Singa dan rubah hidupnya berkelompok. Ciri-ciri kehidupan berkelompok adalah kerja sama (tepatnya persekongkolan), saling menjaga, saling melindungi.

Tak heran jika ada anggota kelompoknya terancam, kawan-kawannya pasang badan membela mati-matian. Tak peduli lagi masuk akal atau tidak. Mereka sangat defensif. Tipe makhluk seperti ini sangat egois. Andaikata mereka politisi, mereka suka berwacana, tidak fokus pada persoalan. Mereka menggiring ke persoalan lain, menjauh dari persoalan yang tengah diperbincangkan. Padahal, adagium hukum terkenal menyatakan ”bukti atau fakta itu lebih kuat, tak ada gunanya lagi kata-kata (cum adsunt testimonia rerum, quid opus est verbist).

Inilah babak belurnya politisi yang mengelola negeri ini. Partai politik gagal menjadi ”rumah penyadaran” yang menyemai benih-benih watak altruistik. Transparency International (Money, Politics, Power: Corruption Risk in Europe, 2012) mengevaluasi tiga serangkai pemain terlemah dalam pemberantasan korupsi di Eropa, yaitu parpol, lembaga administrasi publik, dan kor- porasi. Integritas politisi, khususnya di parlemen, sangat rendah. Lobi-lobi menjadi permainan rahasia antara pengusaha, politisi, dan pejabat. Di sekitar markas Uni Eropa di Brussels, Belgia, diperkirakan ada 3.000 entitas pelobi yang targetnya memengaruhi proses legislasi. Maka, di sejumlah negara, lobi pun diatur dan harus terdaftar: nama, nomor pajak, alamat, nama kantor, dan lain-lain.

Negara-negara yang politisi dan partainya menjaga marwah mereka, sebagian besar menjadi negara maju yang rakyatnya sejahtera, seperti di wilayah Skandinavia. Namun, di negara-negara korup, tidak efisien, dan salah kelola, seperti di Eropa selatan, menjadi beban negara lain karena hidup dari utang.

Di negeri ini, jangankan pelobi, pejabat resmi saja lebih memilih mengendap-endap seperti siluman. Merekalah yang buas seperti singa, licik seperti rubah, dan juga licin seperti belut. Mumpung sedang panas kasus ”papa minta saham”, saatnya membongkar semua gerak-gerik rahasia politisi kita. Siapa saja geng yang bermain-main di saham Freeport atau saham lainnya. Sekalian juga membersihkan politisi yang ngaco-ngaco. MKD pun jangan sampai masuk angin. Tetapi, ssst ini para politisi kuat lho.... Ah, dalam sejarah, politisi sekuat apa pun, apabila busuk dan tak amanah, telah ditumbangkan oleh rakyat.

MKD, Mahkamah Kehormatan atau Ketidakhormatan?

MKD, Mahkamah Kehormatan atau Ketidakhormatan?

Iman Rozani  ;  Dosen Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik,
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia
                                           MEDIA INDONESIA, 27 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

ENTAH mana yang lebih pas untuk kepanjangan dari singkatan MKD, yang merupakan salah satu alat kelengkapan DPR, apakah Mahkamah Kehormatan Dewan ataukah Mahkamah Ketidakhormatan Dewan? Meski UU No 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyebutkan bahwa kepanjangan dari singkatan MKD ialah Mahkamah Kehormatan Dewan, hal itu hanya tulisan di atas kertas. Kebenaran dari tulisan itu hanya menjadi kenyataan bila alat kelengkapan de wan itu mampu membuktikan dirinya demikian (terhormat).

Terhormat dalam arti benar-benar memikul tanggung jawab sejalan dengan yang digariskan UU No 17 Tahun 2014 tersebut. Menurut UU No 17 Tahun 2014 itu, tanggung jawab MKD ialah menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat dewan sebagai lembaga perwakilan rakyat. Dewan (DPR) itu sendiri ialah lembaga terhormat, maka MKD semestinya lebih terhormat dari yang terhormat. MKD harus terisi oleh orang-orang yang memiliki integritas tinggi terhadap kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan.

MKD harus terisi oleh orang-orang yang tidak mudah disimpangkan ke pentingan kelompok/golongan atau partai politik mana pun. MKD ialah ‘resi’ (dalam istilah pewayangan) dari DPR, yang demikian bijak menilai setiap perilaku anggota dewan. Perilaku baik dari anggota dewan patut dipuji, sedangkan perilaku buruk perlu diperingatkan atau bahkan dicaci.

Untuk mencapai tujuan ini, UU No 17 Tahun 2014 membuka pintu lebar bagi siapa pun (masyarakat secara individual atau kelompok--yang terikat pada suatu organisasi ataupun tidak) untuk mengadukan keluhannya ke MKD jika masyarakat merasa ada anggota dewan yang tidak memuaskan, seperti (a) mengabaikan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat, (b) melakukan perbuatan tercela, (c) melakukan perbuatan yang akan meruntuhkan sendi-sendi positif kehidupan bangsa dan negara.

Setiap anggota dewan terikat oleh kewajiban untuk benar-benar memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat, negara, dan bangsa. Ia sangat dilarang untuk mendahulukan kepentingan pribadi, kelompok/ golongan di atas kepentingan seluruh rakyat, negara, dan bangsa. Hal yang disebut ini, terutama yang terakhir, secara jelas diucapkan setiap anggota dewan dalam sumpahnya kepada Tuhan di saat dirinya dilantik menjadi anggota dewan.

Masyarakat yang disebut dalam UU ini, yang diberi hak untuk mengadukan keluhannya ke MKD, tentu saja memiliki makna luas. Masyarakat yang dimaksud itu bukan hanya para jelata yang hidup pas-pasan, tetapi juga yang hidup berkelebihan, yang bekerja di institusi swasta ataupun pemerintahan, termasuk pejabat pejabat negara di luar institusi dewan itu sendiri. Kelompok atau golongan (organisasi) yang dimaksud UU ini juga bermakna luas, tidak hanya organisasi nonpemerintah tetapi juga pemerintah (eksekutif, yudikatif ). Alangkah naifnya jika makna masyarakat tadi dibuat begitu sempit, semisal hanya jelata atau organisasi nonpemerintah.

Belakangan ini nama ‘kehormatan’ dari MKD sedang dipertaruhkan, bahkan lebih mendekati ‘dipertanyakan’. Kasus pengaduan Menteri ESDM (Sudirman Said) atas perilaku Ketua DPR yang tidak pantas, yaitu mencatut nama Presiden, Wakil Presiden, dan Menko Polhukam untuk mendapatkan 20% saham bodong PT Freeport, membuat limbung MKD. Anggota-anggota MKD terpecah menyikapi kasus ini. Sebagian, yai tu terutama yang berasal dari KMP, menilai pengaduan Menteri ESDM itu tidak absah. Alasannya bukan karena kasus pencatutan nama Presiden, Wakil Presiden, dan Menko Polhukam tadi tidak benar (karena rekamannya telah terpublikasi luas), melainkan lebih kepada kepantasan atau legalitas menteri sebagai pela por. Keabsahan menteri sebagai pelapor, menurut kelompok tersebut, tidak memiliki basis legalitas (UU). Yang legal, seperti dikemukakan di atas (menurut UU), ialah masyarakat dan/atau kelompok/golongan atau organisasi. Kelompok lain dalam MKD adalah KIH. Kelompok ini pendukung pemerintah yang sekarang. Oleh karena itu, mereka menilai pengaduan menteri ESDM adalah legal.

KMP, dalam konteks ini, dapat dikategorikan sebagai penerjemah UU No 17 Tahun 2014 yang naif. Arti masyarakat, kelompok/golongan atau organisasi diterjemahkan begitu sempit. Kelompok ini tidak menganggap bahwa menteri maupun para pejabat negara lainnya termasuk presiden dan wakil presiden adalah wakil rakyat juga. Mereka diangkat menjadi pejabat negara dengan tanggung jawab untuk mengelola negara/pemerintahan sebaik mungkin guna mencapai kesejahteraan rakyat yang maksimal. Mereka menjadi pejabat negara bukan dengan cara ‘mengudeta’ kekuasaan rakyat. Mereka menjadi pejabat negara karena ditunjuk presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Jadi, posisi menteri dalam mewakili rakyat cukup kuat. Dalam pada itu, kementerian ialah sebuah organisasi, maka pengaduan oleh menteri atas nama kementerian adalah legal menurut UU No 17 Tahun 2014 (pasal 62).

Hal yang paling memprihatinkan dari kasus pengaduan Menteri ESDM ini, yang bisa berujung pada hilangnya identitas ‘kehormatan’ pada MKD, ialah perdebatan anggota MKD atas kasus itu ke luar dari substansinya. Mereka perdebatkan soal siapa pelapor, bukan apa isi laporan/pengaduan. Padahal, kasus ini menyangkut nama baik NKRI karena presiden dan wakilnya dicemari nama baiknya. Mestinya, bukan perdebatan yang terjadi, melainkan penyelidikan intensif atas kebenaran isi laporan itu.

Bila memang isi laporan itu terbukti benar, Ketua DPR sekarang diminta untuk mengundurkan diri atau bila ia menolak sanksinya adalah dipecat. Jika isi laporan hanya hoax, presiden RI diminta untuk mengganti/memecat Menteri ESDM Sudirman Said. Inilah yang pantas dilakukan MKD agar ‘kehormatannya’ tetap terjaga. Akan menggelikan MKD, yang tugas utamanya menjaga dan menegakkan kehormatan DPR RI, ternyata malah hilang kehormatannya.