Sabtu, 28 November 2015

Geger Mutasi Jaksa Yudi Kristiana

Geger Mutasi Jaksa Yudi Kristiana

Didik Farhan  ;  Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya
                                                    JAWA POS, 25 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BELUM pernah ada mutasi jaksa seheboh mutasi jaksa Yudi Kristiana. Belum pernah ada dalam sejarah kejaksaan, sekelas mutasi eselon III, semua pihak ikut ’’bersuara’’. Ikut mengkritisi. Mulai politisi, akademisi, hingga berbagai LSM pegiat antikorupsi. Semua heboh mengomentari kepindahan jaksa KPK Yudi Kristiana yang kembali ke ’’habibat’’ di Kejaksaan Agung.

Adalah Surat Keputusan (SK) Jaksa Agung Nomor KEP-IV-796/ C//11/2015 tanggal 12 November 2015 yang dianggap memicu kontroversi. Meski dalam SK kolektif mutasi eselon III itu jabatan Yudi tergolong promosi, yakni dari jabatan fungsional (nonstruktural) naik menjadi kepala bidang (Kabid) di Badan Diklat Kejaksaan (sebuah jabatan eselon III-A), tetap saja promosi tersebut dianggap tidak wajar.

Ketidakwajaran itu disorot karena Yudi baru memperpanjang masa tugas di KPK untuk empat tahun mendatang. Sebelumnya, dia bertugas selama empat tahun di lembaga antirasuah tersebut. Selama itu, dia terlibat dalam penanganan sejumlah perkara besar. Mulai kasus Bank Century, bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), korupsi Anas Urbaningrum, hingga suap yang melibatkan politikus Partai Nasdem O.C. Kaligis dan Patrice Rio Capella (Jawa Pos, 18/11/2015).

Banyak publik yang menduga-duga penarikan Yudi berkaitan dengan perkara yang ditanganinya. Bahkan, para pegiat antikorupsi, ICW misalnya, mengaitkan SK itu sebagai bentuk upaya memperlemah KPK. Benarkah?

Seorang pegiat antikorupsi di Jakarta yang saya kenal sejak sesama menjadi aktivis mahasiswa di Malang pada 1990-an menanyakan hal yang sama. ’’Apakah SK mutasi jaksa Yudi itu wajar dilihat dari aspek kepegawaian dan apakah benar SK itu untuk mengebiri jaksa Yudi?’’ tanya dia.

Dari aspek kepegawaian, bisa saya pastikan mutasi Yudi sebenarnya justru menjadi berkah buat yang bersangkutan. Bisa dikatakan rezeki nomplok. Mengapa? Berdasar catatan dalam sejarah penugasan jaksa ke KPK sejak 2003, belum pernah ada satu pun jaksa yang kembali ’’pulkam’’ ke kejaksaan yang langsung promosi menduduki eselon III-A seperti jabatan yang akan disandang Yudi sekarang. Jadi, dialah satu-satunya jaksa dari KPK yang langsung lompat menduduki jabatan eselon III-A. Pangkat tertinggi jabatan eselon III-A itu adalah jaksa utama pratama (IV/b).

Selama ini, ketika kembali atau ditarik ke kejaksaan, semua jaksa KPK nonstruktural paling tinggi dipromosikan menjadi kepala kejaksaan negeri (Kajari) tipe B. Sebuah jabatan eselon III-B yang pangkat maksimalnya jaksa madya (IV/a). Itu pun kebanyakan menjadi Kajari di luar Jawa.

Mereka yang mendapat promosi tersebut, antara lain, Tumpak Simanjuntak (2012). Dari KPK, dia menjadi Kajari Balige. Lalu, jaksa Firdaus menjadi Kajari Sijunjung (2009). Jaksa Suwarji promosi menjadi Kajari Wonosobo (2011). Sarjono Turin dari KPK dipromosikan jadi Kajari Kendal (2010).

Ada pula yang mendapat promosi dari KPK, tetapi harus lebih dulu ’’mampir’’ menjadi koordinator di kejati. Koordinator adalah jabatan eselon III-B. Sebuah jabatan ’’batu loncatan’’ sebelum menjadi Kajari tipe B. Sebut saja Ketut Semedana (2011) yang menjadi koordinator di Kejati Jatim dan baru menjadi Kajari Gianyar. Atau, Dwi Aries dari KPK (2011) yang menjadi koordinator dulu di Kejati Sumut dan baru menjadi Kajari Takengon.

Ada pula yang balik kandang dari KPK dan mendapat jabatan struktural Kasi atau Kasubbag. Sebuah jabatan eselon IV di kejaksaan. Tercatat, jaksa Handarbeni dan Rahmat menduduki Kasubbag Kepangkatan di Biro Kepegawaian. Juga, jaksa Jaya P. Sitompul dan Hadiyanto yang kembali menduduki jabatan Kasi di jajaran Kejati Kaltim.

Sementara itu, ada beberapa jaksa KPK yang ketika kembali ke kejaksaan bernasib nonjob alias jaksa fungsional. Padahal, mereka tidak kalah top dari jaksa Yudi. Siapa yang tidak kenal srikandi KPK jaksa Chaterina Girsang yang tampil memesona saat sidang praperadilan Budi Gunawan (Wakapolri sekarang).

Mantan kepala Biro Hukum KPK itu malah dimutasi dari jabatan eselon II di KPK dan harus menerima nasib nonjob lima bulan di JAM Pembinaan Kejagung. Baru pada September 2015 dia dilantik menjadi Kajari Bekasi, eselon III-A. Sama dengan eselon Yudi saat ini. Namun, sekarang Chaterina Girsang ’’dipinang’’ dan menjadi staf ahli di Kemendikbud. Menduduki jabatan eselon 1B.
Berdasar pola mutasi di kejaksaan secara hitung-hitungan kasar, Yudi mendapat akselerasi dan diskon waktu 5–6 tahun. Bahkan bisa dikatakan telah melewati tiga jabatan bila mengikuti pola mutasi reguler.

Ibarat petinju, promosi Yudi itu ’’lompat’’ tiga kelas. Dari semula bermain di kelas ringan (bobot maksimal 61,2 kg), kemudian melompat tanpa bertanding ke kelas ringan super (63,5 kg) dan kelas welter (66,7 kg), dan langsung lompat bermain di kelas welter super (69,9 kg).

Itu bila dilihat dari aspek kepegawaian. Lain halnya bila ada pandangan dan pertanyaan publik bahwa SK Yudi termasuk memperlemah KPK dan gerakan antikorupsi. Menurut saya, itu belum tentu benar. Hanya asumsi. Jaksa yang dikirim ke KPK merupakan jaksa pilihan. Hanya jaksa-jaksa terbaik yang dikirim. 
Apalagi standar kualitasnya dites sendiri oleh KPK.

Dengan demikian, seperti kata pepatah: mati satu tumbuh seribu. Bisa jadi, hilang satu Yudi, tumbuh ratusan jaksa sekualitas Yudi lain di KPK. Saya yakin KPK tidak akan lemah hanya karena satu jaksa ditarik. Apalagi di kejaksaan dikenal prinsip een en ondeelbaar. Satu yang tidak terpisahkan. Artinya, jaksa lain bisa dengan segera menyelesaikan tugas-tugas Yudi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar