Rabu, 25 November 2015

Konspirasi Kasus Setya Novanto

Konspirasi Kasus Setya Novanto

Sumaryoto Padmodiningrat  ;  Anggota DPR periode 1999- 2004, 2004-2009
dan 2009-2014
                                            SUARA MERDEKA, 23 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MENARIK untuk memunculkan teori konspirasi di balik pencatutan nama Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla yang diduga melibatkan Ketua DPR Setya Novanto, seperti dilaporkan Menteri ESDM Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan DPR (MKD), Senin (16/11).

Nama Jokowi-JK diduga ‘’dijual’’ Setnov, panggilan Setya Novanto, ke PT Freeport Indonesia untuk meminta saham ‘’bodong’’ yang katanya buat Jokowi 11% dan JK 9% dari total 20%.

Setnov juga diduga meminta jatah saham bodong 49% proyek PLTA Urumuka, Papua, dan meminta Freeport menjadi investor sekaligus pembeli (off taker) energi listrik proyek tersebut. Mengapa teori konspirasi perlu dimunculkan? Pasalnya, masingmasing pihak membantah dan sekaligus menuduh.

Setnov, yang juga wakil ketua umum Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie, dalam pertemuan dengan JK sesaat setelah dilaporkan ke MKD, membantah mencatut nama Jokowi-JK. Kolega Setnov, yakni dua Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah dan Fadli Zon, bahkan tidak hanya membantah, melainkan pasang badan sekaligus menyerang balik Sudirman.

Menurut keduanya, Sudirman bisa dilaporkan balik ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Transkrip rekaman yang diserahkan Sudirman ke MKD, dinilai Fadli sebagai bukti yang bisa rekayasa. Ancaman bagi pelaku pencemaran nama baik adalah sembilan bulan penjara, seperti diatur Pasal 310 KUHP.

Fadli yang juga wakil ketua umum Partai Gerindra mengaku akan ikut mempelajari materi hingga bukti-bukti yang dilaporkan Sudirman ke MKD. Jika tuduhan Sudirman tak terbukti, Fadli pun mendorong Setnov melaporkan balik Sudirman ke polisi.

Fahri, politikus PKS, pun memunculkan teori konspirasi baru dengan menuding balik Sudirman yang katanya menginginkan perpanjangan kontrak Freeport dilakukan segera, meski kontraknya baru habis pada 2021.

Sudirman, kata Fahri, merasa diserang karena ingin mempercepat perpanjangan kontrak Freeport namun ada yang meminta diperlambat. Ada kecurigaan serangan Sudirman ke Setnov demi ‘’melumpuhkan’’DPR yang lebih dikuasai Koalisi Merah Putih (KMP), penentang Jokowi-JK.

Bantahan yang menguntungkan kubu Setnov juga datang dari juru bicara Freeport, Riza Pratama. Ia membantah ada lobi tak resmi terkait perpanjangan kontrak di Indonesia, termasuk soal adanya anggota DPR mencatut nama Jokowi-JK dalam lobi itu.

Namun ketika disebut laporan Sudirman berasal dari dokumen tertulis yang disampaikan petinggi Freeport, Riza berdalih mungkin saja, dan ia mengaku tak tahu-menahu. Dalam konteks ini, bisa saja Freeport terlibat konspirasi dengan dua kubu sekaligus; dengan kubu pemerintah diwakili petinggi Freeport, dan dengan kubu DPR diwakili juru bicaranya.

Bila terjadi konspirasi di DPR, di mana para pimpinan DPR saling melindungi satu sama lain, dan di sisi lain bersama- sama mengunci pihak lawan, maka hasil penyelidikan MKD sudah bisa diduga; Setnov tak melanggar Kode Etik DPR atau melakukan perbuatan tak terpuji sebagaimana dituduhkan Sudirman.

Lihat saja hasil penyelidikan MKD terhadap pertemuan Setnov dan Fadli Zon dengan kandidat capres AS Donald Trump yang ternyata keduanya hanya ditegur. Kali ini MKD pun ditengarai akan ‘’masuk angin’’.

Sebab itu, bila bukti yang dimiliki Menteri ESDM kuat maka biarkan saja Setnov melaporkan balik ke polisi. Bahkan Sudirman mestinya senang karena kasus ini dibawa ke arena hukum, bukan arena politik yang kemungkinan besar dimenangi para politikus itu.

Perburuk Citra

Terlepas dari apakah nanti pertarungan Sudirman-Setnov bergeser ke arena hukum atau tidak, dan siapa pemenangnya, yang jelas isu pencatutan nama Jokowi-JK yang diduga melibatkan Setnov memperburuk citra DPR.

Kendati posisi Koalisi Indonesia Hebat (KIH), kini berganti nama menjadi P4 (Parpol-Parpol Pendukung Pemerintah), di parlemen bakal menguat, dan sebaliknya posisi KMP melemah, dengan adanya kasus Setnov secara umum tingkat kepercayaan publik terhadap parpol dan DPR akan menurun.

Padahal tanpa kasus ini pun kepercayaan publik terhadap parpol dan DPR cukup rendah, yakni berkisar 23%-29%. Artinya, sekitar 60% publik tidak percaya. Begitu pun tingkat kepuasan publik terhadap parpol dan DPR. Hasil survei Poltracking Indonesia yang dirilis pada 18 Mei 2015, persentase kepuasan publik terhadap DPR hanya 23,8% dan kepada parpol 24%.

Kita justru khawatir pada Pemilu 2019 akan lebih banyak golput (golongan putih) ketimbang pemilu-pemilu sebelumnya. Apalagi bila keputusan MKD nanti kembali mengecewakan publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar