Kamis, 26 November 2015

Menegakkan Citra DPR

Menegakkan Citra DPR

Reza Syawawi  ;  Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
                                           MEDIA INDONESIA, 19 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

LAPORAN Menteri ESDM ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terkait dengan pencatutan nama presiden dan wakil presiden yang dilakukan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto (SN) semakin menambah suram wajah parlemen. Peristiwa ini seakan mengonfirmasi bahwa praktik penyalahgunaan wewenang/jabatan oleh anggota parlemen masih saja men jadi kebiasaan.

Sebagai pemimpin, tindakan ini tentu tidak hanya dilihat sebagai pelanggaran individu anggota DPR, tetapi juga tindakan yang merusak institusi DPR. Dimensi pelanggaran yang dilakukan pejabat publik dengan kewenangan dan pengaruh yang besar, tentu saja akan berdampak besar pula.

Oleh karena itu, proses di MKD ha rus dilihat sebagai awalan dan bukan sebagai yang terakhir. Proses hukum lain sangat layak ditempuh untuk memberikan pembelajaran bagi semua anggota DPR.

Internal DPR

Jika diselisik ke belakang, SN sebelumnya juga telah diputuskan bersalah bersama Fadli Zon (FZ) oleh MKD terkait dengan pelanggaran etik ringan. Selain prosesnya yang tertutup, sanksi yang dijatuhkan juga hanya teguran kepada yang bersangkutan.

Jika menggunakan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR, putusan atas pelanggaran etik kali ini akan bernasib sama dengan kasus sebelumnya. Akibatnya, perbuat an tersebut hanya dinilai sebagai bentuk pengulangan atas pelanggaran ringan yang berujung pada pemberian sanksi sedang. Menurut kode etik, sanksi sedang hanya memuat dua jenis sanksi, yaitu pemindahan keanggotaan di alat kelengkapan, dan pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan.

Sanksi itu akan tidak sepadan jika kita membaca dan memahami perbuatan yang dilakukan Ketua DPR. Pemberitaan di banyak media setidaknya menyebutkan ada dua esensi pelanggaran yang diduga telah dilakukan, yaitu pencatutan dan permintaan saham.

Dari segi hukum, kedua perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, yaitu penipuan dan korupsi. Namun, sayangnya di dalam kode etik DPR, dugaan pidana tidak dapat dijadikan alasan untuk dikategorikan sebagai pelanggaran berat kecuali dalam hal tertangkap tangan atau telah diputus oleh pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) atas tindak pidana, dengan ancaman hukuman paling singkat lima tahun.

Proses di MKD akan sangat berpotensi melokalisasi kasus ini hanya sebatas pelanggaran etik. Politisasi penegakan etik sangat mungkin terjadi jika kesepakatan politik mendahuluinya, termasuk dalam hal ini soal pergantian pimpinan DPR.

Di luar penegakan etik tersebut, partai politik sebetulnya memiliki ruang yang lebih leluasa untuk mem berikan sanksi kepada anggotanya yang diduga melakukan pelanggaran. Jika saja partai politik memberhentikan yang bersangkutan sebagai anggota partai politik atau diminta mengundurkan diri, MKD tidak perlu bersusah payah memutuskan perkara ini sebab dengan sendirinya yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPR. Seperti halnya yang pernah dilakukan Partai NasDem dalam dugaan kasus korupsi yang dilakukan PRC.

Proses hukum

Proses penegakan etik pada prin sipnya ialah proses yang terpisah dari penegakan hukum. Dimensi pidana dalam pelanggaran etik secara otomatis berjalan tanpa harus menunggu putusan atas pelanggaran etik.

Oleh karena itu, penegak hukum seyogianya segera mengambil langkah hukum untuk menyelidiki apakah kasus tersebut, setidaknya dugaan permintaan `jatah' saham, sudah dapat dicurigai sebagai bagian dari tindak pidana korupsi.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang ada padanya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara ialah korupsi. Termasuk kemungkinan adanya tindak pidana lain yang mengikutinya, misalnya penipuan (pencatutan).

Dengan semua proses ini, baik dalam konteks penegakan etik, proses di internal partai politik, maupun proses penegakan hukum, ialah bagian dari ikhtiar untuk mem bersihkan DPR dari praktik korupsi. Jika ini dilakukan secara serius, penulis meyakini bahwa citra DPR yang selama ini dinilai korup oleh publik, perlahan akan mulai bisa dipulihkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar