Sabtu, 21 November 2015

Mengawasi Amnesti Pajak

Mengawasi Amnesti Pajak

Adrianto Dwi Nugroho  ;  Ketua Departemen Hukum Pajak
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
                                                     KOMPAS, 20 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Rencana amnesti bagi para terduga pelaku kejahatan pajak hampir pasti akan diberlakukan tahun ini. Imaji melenggangnya para pengelak pajak di depan publik tanpa jerat pemidanaan akan mengisi lembaran kelam penegakan hukum di Tanah Air. Pada saat yang sama, masalah keterpurukan kondisi perekonomian nasional memerlukan solusi konkret. Pemerintah juga akan memanfaatkan program ini untuk menutup defisit penerimaan pajak melalui uang tebusan yang wajib dibayarkan oleh penerima amnesti, dan memperluas basis pajak melalui perputaran dana di dalam negeri.

Keputusan politik bersama antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk meneruskan pembahasan rancangan undang-undang tentang pengampunan pajak merupakan upaya untuk meyakinkan publik bahwa kebijakan amnesti pajak memiliki peluang keberhasilan besar. Artinya, pemikiran saat ini sebaiknya tidak lagi didedikasikan mendukung atau tidak mendukung kebijakan, melainkan untuk mengawasi atau tidak mengawasi pelaksanaannya.

Justifikasi ekonomi

Apabila dilakukan, tujuan pengawasan ini adalah untuk memastikan bahwa perbedaan perlakuan di depan hukum yang timbul akibat penghapusan pidana terhadap penerima amnesti pajak akan terjustifikasi oleh manfaat ekonomi yang nyata bagi segenap anggota masyarakat. Untuk mencapai tujuan itu, ada tiga aspek kebijakan amnesti pajak yang perlu diawasi.

Pertama, pelaksanaan pemeriksaan permohonan amnesti pajak. Perlu dicatat bahwa kebijakan amnesti pajak melembagakan keterbukaan sukarela (voluntary disclosure, Larking: 2005) dari wajib pajak dalam negeri untuk melaporkan harta kekayaan yang dimiliki di luar negeri. Artinya, kejujuran wajib pajak menjadi tumpuan pelaksanaan amnesti pajak. Untuk menguji kesesuaian antara data dan informasi yang dilaporkan pemohon amnesti dengan keadaan sebenarnya, perlu pemeriksaan oleh suatu tim pemeriksa permohonan amnesti pajak.

Berbeda dengan pemeriksaan pajak yang diatur pada Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), hasil pemeriksaan oleh tim pemeriksa permohonan amnesti pajak bersifat final, dan menjadi dasar keputusan pemberian atau penolakan amnesti pajak. Artinya, ada wewenang besar yang perlu diawasi agar praktik-praktik pemerasan dan korupsi dapat diberantas.

Pengawasan yang dapat dilakukan oleh masyarakat terhadap pelaksanaan prosedur ini adalah melalui pelaporan dan pengaduan terhadap penyimpangan yang diketahui olehnya. Kemunculan para whistle blower dari dalam tim pemeriksa dan pemohon amnesti pajak juga bersifat instrumental dalam melawan aksi pemerasan dan korupsi. Peran pengawasan juga dapat dijalankan oleh komite pengawas perpajakan melalui pengamatan, pengumpulan informasi, dan pengaduan masyarakat.

Kedua, kerahasiaan data dan informasi hasil amnesti pajak. Perlu diakui bahwa aspek kerahasiaan ini memiliki daya tarik yang kuat untuk meningkatkan jumlah permohonan amnesti pajak. Untuk itu, pemohon amnesti pajak harus mendapat kepastian bahwa laporan harta yang dibuatnya tidak akan diteruskan kepada penegak hukum lainnya untuk penuntutan pidana terhadap kejahatan yang berbeda.

Larangan pembocoran

Aspek come clean yang menjadi fasilitas utama dalam kebijakan amnesti pajak harus dikaitkan dengan larangan membocorkan data dan informasi wajib pajak sebagaimana diatur dalam UU KUP. Sesuai ketentuan Pasal 41 Ayat (3) UU KUP, pengaduan terhadap dugaan pelanggaran kewajiban merahasiakan data dan informasi oleh petugas pajak hanya dapat dilakukan oleh orang yang kerahasiaannya dilanggar. Mutatis mutandis, pemohon amnesti pajak juga dapat mengadukan pembocoran rahasia oleh tim pemeriksa dan atau petugas pajak lainnya.

Ketiga, tujuan peningkatan kepatuhan wajib pajak. Perlu disadari bahwa amnesti pajak merupakan kebijakan taktis dengan biaya sosial tinggi berupa kepercayaan publik terhadap integritas sistem pemungutan pajak. Artinya, kebijakan ini harus diterapkan dengan mengasumsikan ada penurunan tingkat kepatuhan dari wajib pajak lainnya. Penolakan terhadap pemeriksaan pajak dan pengabaian terhadap sanksi administrasi dapat menjadi fenomena baru. Oleh karena itu, relaksasi penegakan hukum terhadap wajib pajak yang bukan menjadi target amnesti pajak juga perlu untuk memperkecil celah diskriminasi.

Perlu disadari pula bahwa amnesti pajak merupakan kebijakan jangka pendek, sehingga tidak dapat menyelesaikan permasalahan laten penghindaran pajak, pengelakan pajak, dan transfer pricing. Antisipasi terhadap ketiga modus perlawanan wajib pajak tersebut hanya dapat dilakukan dengan mengubah peraturan perundang-undangan, terutama Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).

Maka, masyarakat dapat mengawasi pencapaian tujuan peningkatan kepatuhan wajib pajak dengan mengusulkan perubahan UU PPh melalui representasinya di DPR. Dalam konteks amnesti pajak, penciptaan rezim PPh yang kondusif dapat memastikan uang yang sudah masuk ke dalam negeri tidak dikeluarkan kembali ke luar negeri.

Akhirnya, amnesti pajak merupakan kebijakan realistis yang harus dipilih pemerintah untuk keluar sepenuhnya dari keterpurukan ekonomi nasional. Pengawasan masyarakat mutlak diperlukan untuk memastikan agar tujuan dapat tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar