Jumat, 27 November 2015

Menguji Independensi MKD

Menguji Independensi MKD

Gugun El Guyanie  ;  Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
                                                     KOMPAS, 26 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Harapan publik nyaris pupus ketika Mahkamah Kehormatan Dewan DPR tidak mengedepankan substansi keadilan dalam memproses dugaan pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan Ketua DPR Setya Novanto.

Dorongan publik yang bergema ditujukan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) karena kasus ini menjual nama Presiden dan Wakil Presiden untuk keuntungan pribadi Setya Novanto dengan meminta saham dari PT Freeport Indonesia.

Sidang MKD kemarin terjebak pada persoalan teknis prosedural tentang alat bukti rekaman dan kedudukan hukum Sudirman Said selaku pengadu. Perdebatan artifisial ini muncul dari anggota MKD yang berasal dari fraksi-fraksi Koalisi Merah Putih. Ada beberapa titik lemah MKD, seperti diatur di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Di manakah titik lemahnya, sehingga MKD berpotensi tersandera kepentingan politik fraksi dan koalisi di parlemen?

Sejak masih di bawah rezim UU No 27/2009 (UU MD3), yang saat itu bernama Badan Kehormatan, persoalan yang paling mendasar adalah mengenai susunan dan keanggotaan. Termasuk juga dalam UU MD3 saat ini (UU No 17/2014), yang menyatakan bahwa susunan dan keanggotaan MKD terdiri atas semua fraksi dengan memerhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi (Pasal 120).

Ternyata perubahan UU MD3 dari UU No 27/2009 menjadi UU No 17/2014 yang mengatur tentang Badan Kehormatan, yang berubah menjadi MKD materi muatannya sama. Padahal, perubahan UU MD3 yang menyangkut MKD sangat strategis dalam rangka menegakkan kehormatan dan martabat DPR sebagai wakil rakyat. Yang membedakan antara Badan Kehormatan dalam rezim UU No 27/2009 dengan MKD dalam rezim UU No 17/2014 hanya jumlah keanggotaannya.

Padahal, akar dari tidak independennya MKD bukan terletak pada jumlahnya, tetapi persoalan unsur fraksi yang selalu menyandera obyektivitas dan independensi. Penguatan kelembagaan MKD akan tercapai jika keanggotaannya independen. MKD yang memiliki fungsi sebagai penegak etik anggota parlemen, akan menghadapi konflik kepentingan ketika harus menghadapi pengaduan pelanggaran etik yang dilakukan oleh koleganya satu fraksi atau satu koalisi.Maka, MKD berpotensi mengambil keputusan yang tidak obyektif terkait dengan banyaknya pengaduan pelanggaran etik dari masyarakat atau konstituen maupun sesama anggota DPR.

Idealnya keanggotaan MKD selain dari unsur fraksi di DPR, unsur masyarakat harus dilibatkan dalam struktur anggota dan pimpinan MKD. Hal itu dimaksudkan untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan antara MKD dengan anggota DPR yang terlibat dalam pelanggaran etik. Untuk mencegah terjadinya rezim MKD, maka setiap setahun sekali diadakan pergantian keanggotaan dan pimpinan dalam rangka memperkuat independensi MKD.

Harus transparan

Penguatan kelembagaan MKD selain memasukkan unsur masyarakat dalam keanggotaannya, juga melalui transparansi atas pengaduan dari publik. Transparansi dimaknai dengan memberikan akses publik atas pelaporan atau pengaduan yang masuk secara periodik setiap tahun, transparan dalam proses penyelidikan dan verifikasi, sampai pada pengambilan keputusan yang diserahkan pada rapat paripurna DPR.

Melalui proses yang transparan harapannya publik mendapatkan gambaran perihal pelanggaran kode etik yang dilakukan wakilnya di parlemen, sehingga publik dapat mengambil keputusan untuk menghukum wakil- wakilnya di parlemen dengan cara tak memilihnya kembali pada pemilu berikutnya. Selain itu, transparansi MKD juga memberikan edukasi kepada publik agar secara aktif melaporkan pelanggaran etik yang dilakukan oleh wakilnya di parlemen.

Tentunya dengan proses yang transparan, laporan atau pengaduan dari publik terdapat jaminan kepastian hukumnya. Maka, juga diperlukan limitasi waktu yang tegas sejak proses penerimaan laporan atau pengaduan, penyelidikan dan verifikasi, sampai proses pengambilan keputusan. Jadi, bukan hanya sidang MKD yang harus terbuka, seperti yang disuarakan publik untuk kasus Setya Novanto. Karena dalam Pasal 132 UU No 17/2014 disebutkan bahwa sidang MKD bersifat tertutup, dengan pertimbangan untuk menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dalam sidang MKD.

Sidang MKD boleh tertutup, tetapi bukan berarti itu tidak transparan. Transparansi proses MKD bukan hanya dalam sidangnya, tetapi seluruh prosesnya harus dipertanggungjawabkan dan diakses oleh masyarakat secara terbuka. Dengan demikian, masyarakat dapat menilai apakah layak sanksi yang diberikan MKD terhadap anggota DPR yang diduga melakukan pelanggaran. Tentu jika Setya Novanto terbukti melakukan transaksi gelap dengan pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, dengan indikasi penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri, maka tidak adil jika sanksi yang diberikan hanya teguran lisan atau tertulis.

MKD harus tegas bahwa sanksi yang adil untuk wakil rakyat yang memperjualbelikan kekuasaannya demi memperkaya diri sendiri tidak lain adalah pemberhentian tetap sebagai anggota DPR, tentu dengan mendapat persetujuan rapat paripurna. Ketegasan MKD akan menunjukkan martabat MKD sendiri di mata para wakil rakyat, dan menjaga martabat serta kehormatan para wakil rakyat dari etika politik yang rakus.

Sebaliknya jika ternyata pengaduan dari Sudirman hanya politik pencitraan dari Menteri ESDM agar publik menganggap kinerja sang menteri sangat bagus, tetapi alat bukti untuk menyeret Ketua DPR lemah, maka MKD harus tegas bahwa teradu terbukti tidak melanggar dan merehabilitasi nama baik dan kehormatan teradu. Hari ini kita menguji marwah MKD, sekaligus menguji martabat dan kehormatan para wakil rakyat kita yang baru setahun menduduki singgasananya. Sebagaimana diungkapkan oleh Julius Paulus ”Non ex regula ius sumatur, sed ex iure quod est regula fiat”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar