Kamis, 26 November 2015

Menjaga Integritas Kelembagaan DPR

Menjaga Integritas Kelembagaan DPR

Hendardi  ;  Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Jakarta
                                           MEDIA INDONESIA, 20 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KONTROVERSI PT Freeport Indonesia yang menge muka belakangan ini bu kanlah yang pertama.Kehadiran Freeport bahkan sejak awal telah membawa kontroversi permanen karena keberadaannya dianggap sangat merugikan bangsa Indonesia, akibat rezim kontrak karya eksklusif yang tidak lazim, yang mengikat pemerintah Indonesia dengan Freeport sejak 1967.Terkait dengan negosiasi perpanjangan dan hubungan kontraktual yang adil, pemerintah di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono telah memulai. Meski masih terbatas membangun komunikasi, proses itu pun dikabarkan tersengat oleh negosiasi panas yang menggiurkan.

Kontroversi terbaru dalam negosiasi kontrak karya ini muncul semakin serius karena melibatkan Ketua DPR Setya Novanto, yang diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla. Belakangan nama Menko Polhukam Luhut B Panjaitan juga disebut. Jika Jokowi-JK merasa terganggu dengan pencatutan, Menteri Luhut justru merasa tidak perlu mempersoalkannya. Segera, setelah Menteri ESDM Sudirman Said melaporkan kasus itu kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), kasus pencatutan menjadi isu politik yang serius.

Membuka tabir

Kasus pencatutan dalam konteks hukum pidana bisa dikualifikasi sebagai tindak pidana. Tergantung unsur pidana yang dipenuhinya, pencatutan bisa dikualifikasi sebagai penipuan atau pemerasan. Tindakan pencatutan juga merupakan tindakan tidak bermoral karena dilakukan Ketua DPR, pemimpin lembaga tinggi negara yang sangat strategis dalam sistem kenegaraan Indonesia. Ujung peristiwa itu belum diketahui, tetapi yang pasti, peristiwa itu telah memunculkan pengetahuan baru bagi publik bahwa soal Freeport ialah soal yang pelik, misterius, dan menuntut transparansi tinggi apa pun penanganan yang akan dilakukan atas negosiasi itu.

Ketua lembaga tinggi negara ialah wajah dan representasi dari suatu lembaga. Karena posisinya yang sangat strategis, penerapan standar etik dan integritas pribadi pejabat tinggi negara untuk mengukur tingkat ketidakpatuhannya pada etika politik juga harus berstandar tinggi. Demikian juga dalam hal mengukur kontroversi tindakan seorang pejabat tinggi. Kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla oleh Ketua DPR Setya Novanto dalam negosiasi perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia merupakan tindakan tidak bermoral dan pelanggaran hukum serius yang dapat mengikis integritas dan muruah kelembagaan DPR.

Pelanggaran tersebut sudah cukup menjadi alasan bagi MKD untuk memberikan sanksi berat dalam bentuk pemberhentian Setya Novanto dari kursi Ketua DPR. Transparansi dan kecepatan kerja MKD akan menjadi penentu bagi kelanjutan penyelesaian kasus ini. Semua pihak harus memastikan agar MKD dapat bekerja tanpa intervensi.

Harus diakhiri

Kontroversi itu harus diakhiri dengan mengusut sampai tuntas peristiwa pencatutan. Dalam menyikapi kasus ini perlu ada sejumlah langkah paralel yang ditempuh. Pertama, proses pemeriksaan etik akan dilakukan MKD dan menjadi dasar pemberhentian Setya Novanto. MKD harus bekerja tanpa intervensi dan kepentingan kelompok. MKD harus dipastikan bekerja hanya untuk menyelamatkan integritas kelembagaan DPR yang tercoreng oleh ulah ketuanya. MKD dituntut transparan dan secara reguler melaporkan kinerjanya secara terbuka sehingga proses di MKD bukan malah menimbulkan keraguan baru.

Kedua, proses pidana, jika kasus ini diteruskan ke proses hukum, juga dapat menjadi dasar pengakhiran kontroversi ini. Selain akan berujung pada pemberhentian Setya Novanto, jika terbukti melakukan tindak pidana, juga harus dihukum. Status terdakwa yang nanti disandang, akan menjadi dasar pemberhentian dirinya sebagai Ketua DPR dan seba gai anggota DPR.

Ketiga, demi menjaga integ ritas kelem bagaan DPR, Setya Novanto disarankan untuk mengundurkan diri. Jika yang bersangkutan tidak mau mengundurkan diri, Ketua Umum Partai Golkar versi Munas Bali, Aburizal Bakri, harus mengambil prakarsa untuk menarik dukungan atas Setya Novanto di parlemen. Aburizal, sebagai ketua umum partai, memiliki kewenangan untuk menarik kader partai dari kursi pimpinan. Langkah ketiga itu ialah langkah yang paling mudah dan tidak menimbulkan kegaduhan politik. Partai Golkar juga dapat menunjukkan keberpihakannya pada upaya penyelamatan integritas kelembagaan DPR dengan menarik status keanggotaan Setya Novanto di parlemen.

Jika ketiga langkah tersebut sulit diambil, fraksi-fraksi di DPR juga dapat menempuh jalan politik untuk mengajukan mosi tidak percaya atas Setya Novanto. Mosi ini akan meyakinkan pimpinan Partai Golkar, tempat Novanto berasal, untuk mengambil tindakan segera. Meskipun mosi ini berpotensi menimbulkan kegaduhan politik, bisa menjadi langkah cepat untuk memulihkan martabat kelembagaan DPR. Jalan terakhir ini ialah yang paling berisiko karena mengundang kegaduhan politik meluas meski tetap dalam kerangka perundang-undangan dan dilindungi konstitusi. Fraksi-fraksi harus melihat upaya pengakhiran kontroversi ini sebagai upaya pemulihan martabat kelembagaan DPR bukan dalam konteks melengserkan Setya Novanto secara personal.

Sebagai gambaran, pada posisi MKD telah menerima pengaduan, langkah yang akan ditempuh ialah (a) MKD akan membentuk panel khusus yang memeriksa kasus yang diadukan, yang terdiri dari 3 anggota MKD dan 4 orang dari unsur masyarakat; (b) panel akan bekerja (melakukan penyelidikan) selama 30 hari, setelah itu hasil kerja panel MKD akan diserahkan ke MKD; (c) MKD membutuhkan waktu 10 hari untuk kemudian membawa hasil pemeriksaan tersebut ke Rapat Paripurna DPR.

Jika Rapat Paripurna DPR menyetujui hasil MKD, pimpinan DPR diberhentikan setelah mendapat keputusan dari MKD dan diumumkan dalam rapat paripurna. Selanjutnya, Keputusan disampaikan pimpinan DPR kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan paling lama tujuh hari sejak diumumkan dalam rapat paripurna. Dalam waktu 30 hari pimpinan partai politik memberikan keputusan atas pemberhentian pimpinan DPR tersebut.

Memang jalan menuju pengakhiran kontroversi ini berliku, tetapi tanpa upaya ini, tindakan tidak bermoral pejabat tinggi negara tidak akan pernah bisa dihukum, sebagaimana kasus-kasus pelanggaran etika lainnya yang hanya berhenti pada teguran lisan dan tertulis. Selain yang utama menyelamatkan martabat DPR, kasus ini juga membuka pengetahuan publik tentang pentingnya semua mata mengawasi bagaimana sumber daya alam Indonesia dikelola.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar