Minggu, 22 November 2015

Pesan kepada Kecoa

Pesan kepada Kecoa

Bre Redana  ;  Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 22 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Satu menit setelah ledakan terakhir, separuh umat manusia habis, debu dan asap yang muncul dari kobaran api benua menutupi matahari. Dunia kembali dikuasai kegelapan. Musim hujan warna oranye serta badai es menjungkirkan samudra, membalikkan aliran sungai, ikan-ikan mati di sungai yang terbakar, burung-burung kehilangan angkasa. Salju menyelimuti sahara, Amazon yang lebar menghilang dari muka bumi, hancur oleh butiran hujan es. Abad musik rock dan transplantasi jantung balik ke zaman es. Segelintir manusia yang mungkin selamat dari kiamat hari Senin pukul tiga siang itu hanya sanggup hidup beberapa waktu, sebelum mati dikarenakan cekaman kenangan mengerikan. Pada kekacauan terakhir dari hujan dan gelap abadi, satu-satunya yang tersisa adalah kecoa.

Gabriel Garcia Marquez, penulis Amerika Latin, menggambarkan situasi kiamat, mengawali pidatonya pada forum perdamaian dan pelucutan senjata di Meksiko, 6 Agustus 1986, di depan pejabat paling tinggi, terdiri dari presiden dan perdana menteri dari enam negara, yakni Argentina, Meksiko, Tanzania, Yunani, India, dan Swedia. Dengan ringkas dan menarik, novelis ini melukiskan ancaman investasi dunia untuk persenjataan pada masa itu.

Ia sebut, persis saat ia bicara, terdapat 50.000 kepala nuklir di berbagai penjuru dunia, tidur dengan satu mata terbuka. Dibandingkan dengan investasi untuk kelangsungan hidup manusia, investasi dunia persenjataan menampilkan ironi luar biasa. Mengutip data UNICEF, untuk menyelamatkan 500 juta anak miskin di dunia (waktu itu) dengan pendidikan, pelayanan kesehatan, sanitasi, makanan, dibutuhkan biaya 100 miliar dollar. Meski kelihatan besar, angka itu sejatinya hanya seharga 100 pengebom strategis B-1B. Atau, lebih murah dibandingkan dengan harga 7.000 jet tempur.

Masih banyak lagi perbandingan ia paparkan sebelum dengan setengah ilusif ia mengemukakan pentingnya umat manusia menjaga kelangsungan peradaban, di mana dari proses evolusi, manusia kini bernyanyi lebih indah dari burung, bisa menjalani mati demi cinta. Kiamat bisa dicegah kalau kita semua menyerukan dunia tanpa persenjataan berikut perdamaian yang berkeadilan.

Kalau tidak, setidaknya dibutuhkan instrumen, entah apa, untuk menyelamatkan memori kita seandainya dunia benar-benar kiamat. Bahwa pernah ada makhluk hidup bernama manusia yang paham tentang cinta dan mampu membayangkan makna kebahagiaan.

Kepada siapa memori itu diwariskan? Kepada kecoa.

Yang mau ditekankan di sini, penulis One Hundred Years of Solitude tadi mengemukakan hal itu tahun 1986, sekitar 30 tahun lampau. Saat itu dunia dalam situasi detente. Persenjataan pemusnah hanya dikuasai terutama oleh dua negara adidaya, Amerika dan Rusia.

Kini, kita berada dalam situasi jauh berbeda. Teknologi telah mampu memberdayakan manusia sedemikian rupa, mengguncang supremasi negara, bahkan yang punya sebutan adidaya sekalipun. Amerika kocar-kacir oleh individu yang menabrakkan pesawat ke World Trade Center pada peristiwa Nine Eleven. Begitu pula yang terjadi baru-baru ini, penyerbuan individu dengan hati penuh kebencian pada pusat keramaian kota yang menjadi otak kanan dunia, Paris.

Bom menjadi amat murah. Senjata untuk melenyapkan manusia dan peradaban tidak lagi tersimpan di instalasi-instalasi militer, tetapi di rumah-rumah kontrakan di Ciputat, Wonosobo, Sukoharjo, atau mana saja seperti terbukti dari hasil penggerebekan aparat selama ini.

Pertahanan macam apa pun, intelijen secanggih apa pun, sikap politik sebenar apa pun, antisipasi teoritik secerdas apa pun, basa-basi pemuka agama sebijak apa pun, tak akan mampu menghilangkan perasaan waswas banyak orang bahwa bom bisa meledak kapan saja, di mana saja. Mungkin di mal saat kita ngopi atau di pantai saat kita bersantai dengan selingkuhan.

Meski ilusif, yang diperlukan saat ini memang investasi cinta kasih. Agar tak ada yang keblinger berpikir tiji tibeh, mati siji mati kabehmati satu mati semua. Kalau tidak, selagi kita di kafe mungkin kiamat tiba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar