Rabu, 25 November 2015

Remitologisasi Kepahlawanan Guru

Remitologisasi Kepahlawanan Guru

Ari Kristianawati  ;  Guru SMAN 1 Sragen
                                                    JAWA POS, 23 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

GURU berperan penting dalam peningkatan kualitas pendidikan nasional. Guru merupakan aktor pembelajaran yang memiliki tanggung jawab dalam mandat pencerdasan kehidupan masyarakat, khususnya generasi muda. Guru sekaligus juga memikul beban sejarah terkait dengan tugas meningkatkan standar kualitas pembangunan manusia.

Jelang Hari Guru pada 25 November, patut direnungkan eksistensi guru saat ini yang diletakkan dalam eksperimen kebijakan negara yang selalu dikaitkan dengan pemenuhan kesejahteraan ekonomis. Bukan kebijakan yang memuliakan martabat guru.

Pelaksanaan Undang-Undang Guru, dengan titik tekan pada hasrat pengembangan profesionalitas, menimbulkan beban psikosisal bagi guru. Jumlah guru di Indonesia mencapai 2,5 juta orang dan 60 persen sudah menikmati tunjangan profesi guru (TPG) dengan menyandang label profesional yang otomatis mendatangkan sorotan dari masyarakat. Sorotan yang selalu berfokus pada aspek standar kinerja dan kualitas yang unggul dari para guru.
Beban psikososial yang dirasakan para guru, yang dianggap sudah makmur karena insentif tunjangan profesi guru, menjadikan guru keluar dari imajinasi kepahlawanan dalam dunia pendidikan.

Guru saat ini tak ubahnya seperti tenaga kerja yang digaji mahal dengan tuntutan profesionalitas mengajar. Guru bukan sebagai pendidik, namun pekerja di dunia pembelajaran.

Mitologi guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dengan ciri khas kebersahajaan, keunggulan penguasaan ilmu, dan ketekunan menanamkan nilai budi pekerti telah tergerus oleh citra subjektif guru yang modern, makmur, dan cakap dengan penguasaan peranti teknologi pendukung kegiatan belajar dan mengajar. Publik dan siswa memandang guru tidak lagi sebagai personifikasi sosial tentang kejujuran, kepintaran, dan keteladanan.

Blunder proyek sertifikasi guru dengan muara kepentingan mengucurkan alokasi tunjangan profesi guru telah mereduksi legitimasi sosial guru. Tidak lagi dipandang sebagai insan cendekia yang bertugas mendidik generasi muda.
Sertifikasi guru sebagai proyek labelisasi profesionalitas guru telah menghancurkan ”mitologi” yang memiliki basis legitimasi kultural guru. Beberapa implikasi sosiologis yang dirasakan guru, antara lain, pertama, guru adalah tenaga kerja (”kuli”) dalam panggung pekerjaan sebagai pengajar.

Guru tidak lagi menjadi sosok yang memiliki keagungan moral sebagai pendidik dengan segudang tugas mencerdaskan dan mencerahkan karakter anak didik. Namun, semata sebagai komponen pekerja dalam aktivasi kegiatan belajar-mengajar yang diatur dalam alokasi jam mengajar minimal 24 jam dan maksimal 40 jam per pekan.

Kedua, guru naik status ekonomis. Guru kini dipersepsikan sebagai kelas borjuis kecil dengan gaya hidup yang konsumtif dan lalai akan tanggung jawab untuk memperdalam ketajaman wawasan pengetahuan.

Guru tidak lagi dipersepsikan sebagai ”Oemar Bakri” yang ke sekolah naik sepeda kumbang dengan ketulusan hati untuk mengajar dan mendidik siswa-siswanya. Guru ke sekolah dengan naik mobil keluaran terbaru, menjinjing laptop terbaru, dan mengajar gaya eksekutif dengan bergantung pada materi dalam dokumen yang ditayangkan tanpa harus diingat.

Ketiga, guru pragmatis. Pascaproyek sertifikasi, banyak guru yang tergerus menjadi sekadar pengajar yang menyampaikan materi pelajaran untuk memenuhi alokasi jam mengajar, tanpa proses kreatif dalam metodologi pengajaran. Hanya sedikit guru yang bekerja keras dalam upaya membangkitkan minat belajar siswa dengan aneka metodologi pembelajaran.

Kehormatan guru di masa lalu terbungkus dalam mitologi kepahlawanan tanpa tanda jasa. Guru mendidik tanpa pamrih dan aktif dalam menggali khazanah keilmuan dengan melengkapi diri dengan berbagai pustakaloka yang terkait disiplin keilmuan.

Guru mengajar bukan lagi untuk kepuasan batiniah. Namun, tereduksi untuk mengejar target mendapatkan kesejahteraan ekonomis dengan menyandang label profesionalitas.

Marwah guru sebagai pejuang pendidikan menjadi pekerja pendidikan. Guru seolah tidak memiliki akuntabilitas sosial untuk mengimplementasikan falsafah pendidikan yang transformatif kepada siswa dengan membangun apa yang disebut tahapan pendidikan yang membebaskan.

Padahal, guru adalah pejuang yang bekerja atas kesadaran organik untuk mencerdaskan generasi muda dengan keunggulan ilmu, karakter humaniora, dan visi kemanusiaan yang demokratis.

Untuk itulah, diperlukan remitologisasi kepahlawanan guru. Remitologisasi kepahlawanan guru tidak menjadikan guru sebagai mitos dalam dunia pendidikan nasional.

Namun, mengembalikan jiwa keteladanan, sikap hidup kebersahajaan, dan komitmen mengembangkan cakrawala keilmuan. Guru tidak boleh tersandera oleh kepentingan ”ekonomis” yang menempatkan tugas mengajar sekadar mencari upah yang mahal melalui tunjangan profesi guru.

Tunjangan profesi guru harus diperlakukan sebagai pengungkit kesadaran untuk menjadi pendidik yang haus ilmu pengetahuan dan tulus mengabdi bagi masyarakat dan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar