Kamis, 19 November 2015

Rupiah, The Fed, dan Teror Finansial

Rupiah, The Fed, dan Teror Finansial

Ronny P Sasmita  ;  Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia
                                           MEDIA INDONESIA, 18 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

RUPIAH tersungkur di transaksi awal pekan. Serangan teroris di Paris, Prancis, menambah daftar gaduh di pasar. Dan seperti biasa, imbasnya para pemodal pun kasak-kusuk cari aman. Salah satu caranya ialah dengan segera beralih ke instrumen investasi yang aman atau memindahkan aset ke mata uang yang berotot kekar seperti dolar Amerika Serikat atau yen Jepang.Hasilnya, mata uang rival dolar atau selain dolar dan yen mendadak terkapar, termasuk rupiah dan mata uang Asia lainnya.

Di pasar spot Senin, valuasi rupiah terbukti tertekan 0,47% ke level Rp13.749 per dolar AS. Sejurus dengan itu, kurs tengah Bank Indonesia pun ikut menyusut 0,72% ke level Rp 13.732 per dolar AS. Tak bisa dimungkiri, pelemahan rupiah memang dipicu aksi teror di Prancis dan data inflasi serta data penjualan ritel Amerika pada Jumat (13/11) lalu.

Semakin tak menentunya kondisi Timur Tengah, dianggap memenuhi syarat oleh para pemilik modal untuk tanpa ragu-ragu memindahkan aset ke instrumen-instrumen investasi yang berkategori aman. Bahkan neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2015 yang masih tercatat surplus ternyata gagal mengerek rupiah. Menjelang akhir sesi perdagangan Jumat lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan untuk Oktober 2015 tercatat surplus US$1,01 miliar sehingga secara year to date, Januari-Oktober 2015, surplus perdagangan sudah menduduki angka US$8,16 miliar. Namun, secara spesifik surplus terjadi bukan karena peningkatan volume perdagangan, tapi karena penurunan angka impor yang ternyata cukup dalam alias bukan karena kondisi ekspor yang membaik.

Sudah hampir bisa dipastikan, kondisi surplus yang agak kurang membahagiakan ini akan mendorong BI untuk tetap mem pertahankan suku bunga di level 7,5%. Justru dalam kondisi yang kian tak pasti, termasuk gonjang ganjing rencana kenaikan tingkat suku bunga The Fed, kebijakan memangkas suku bunga akan menjadi kebijakan yang berba haya serta penuh risiko karena BI dipastikan akan fokus pada pengaruh eksternal yang akan memengaruhi pergerakan rupiah di satu sisi dan ancaman peralihan dana investor di sisi yang lain.

Bagaimanapun, fokus perhatian pasar masih akan tertuju pada rapat FOMC mendatang, setelah mendapat guncangan tiba-tiba dari aksi teror di Paris. Secara teknis, terlepas apakah suku bunga The Fed akan dinaikkan atau kembali ditunda, rupiah diperkirakan terayun di kisaran Rp13.650-Rp14.000 per dolar AS.

Jika misalnya The Fed menaik kan suku bunga, yield atau imbal hasil instrumen investasi yang berdenominasi dolar akan ter kerek naik dan akan menyedot banyak modal global ke mata uang dolar. Ancaman capital outflow akan merebak kemudian menekan mata uang rupiah, mengganggu eksposur impor dan mengerek naik harga-harga barang modal impor, dan mengendurkan fundamental ekonomi nasional.

Selanjutnya, BI pun diperkirakan akan menaikkan tingkat suku bunga acuan domestik mengikuti aksi The Fed untuk memperkecil kemungkinan capital outflow dan menguras devisa negara untuk melakukan pembelian aset di pasar sekunder untuk menahan penurunan permintaan mata uang rupiah sehingga dalam konteks ekonomi riil, oli untuk sektor kredit akan semakin mengering, pertumbuhan ekonomi akan semakin seret karena dinamika ekonomi riil akan semakin tak bertenaga.

Tidak bisa tidak, guncangan akan terjadi, baik karena efek negatif dari rupiah yang terseretseret maupun karena semakin melebarnya NPI (neraca pembayaran Indonesia) akibat capital inflow, meningkatnya sovereign risk yang akan mengikis tingkat credit default swap (CDS) Indonesia, dan semakin dekatnya dunia korporasi dengan ancaman gagal bayar (default) utang luar negeri.

Jika kenaikan suku bunga The Fed ditunda pada pertemuan FOMC Desember mendatang, ketidakpastian baru akan muncul. Volatibilitas mata uang akan sangat terpengaruh oleh aksiaksi spekulasi dan perilaku investor yang melakukan aksi hit and run, baik untuk mata uang maupun untuk dunia pasar modal. Capital inflow akan tertahan karena pemodal akan memperpanjang agenda wait and see sampai ada kepastian kenaikan tingkat suku bunga The Fed.

Secara analogis, toh pada akhirnya apa pun keputusan The Fed akan tetap memiliki imbas teroristik bagi dunia, terutama emerging market seperti Indonesia. Dolar akan tetap perkasa, harga komoditas akan tertekan karena standar pembayaran dilakukan dalam mata uang dolar yang kemudian akan memangkas pemasukan negara-negara eksportir komoditas.

Sejak isu kenaikan suku bunga kredit AS dihembuskan awal tahun lalu, terutama menjelang Juni sebagai bulan awal yang dijanjikan Janet Yellen untuk mulai menggarap isu pengetatan moneter, rupiah hampir saja mendobrak level Rp15.000 per dolar AS.

Paket kebijakan ekonomi jilid tiga diluncurkan, rupiah mulai menjinak, tetapi belum bisa menggeliatkan ekonomi riil. Hal itu terbukti dengan makin menurunnya porsi impor yang kemudian membuat surplus neraca perdagangan, walau sebenarnya diakibatkan melandainya sisi impor alias bukan karena kenaikan bombastis porsi ekspor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar